LAPORAN PENDAHULUAN
I. DEFINISIFraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (Black, 2005). Menurut Price & Wilson (2006) fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
II. ETIOLOGI
1. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut.
2. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
3. Proses penyakit: kanker dan riketsia.
4. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
5. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).
III. KLASIFIKASI
1. Menurut Garis Fraktur
a. Fraktur komplit
Garis patahnya melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
b. Fraktur inkomplit
Garis patahnya tidak melalui seluruh penampang tulang
- Greenstick fracture: bila menegenai satu korteks dimana korteks tulangnya sebagian masih utuh juga periosteum, akan segera sembuh dan segera mengalami remodelling ke bentuk normal.
c. Hair line fraktur
Garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang.
2. Menurut Jumlah Dan Garis Patah/Bentuk/Konfigurasi
a. Fraktur kominutif: Lebih dari satu garis fraktur, fragmen tulang pecah, terpisah-pisah dalam berbagai serpihan.
b. Fraktur segmental: Bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh dan keadaan ini perlu terapi bedah
c. Fraktur multipel: Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya. Seperti fraktur femur, cruris dan vertebra.
3. Menurut Posisi Fragmen
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser): garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh.
b. Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang disebut juga dislokasi fragmen.
4. Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar
a. Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit), terbagi 3 :
I. Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan sedikit, kontaminasi ringan, luka <1 cm.
II. Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar, luka >1 cm, tusukan mengenai massa otot.
III. Luka besar sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kontaminasi besar, kerusakan pada pembuluh darah, syaraf, otot dan kulit.
b. Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar): Fraktur sederhana dengan kondisi kulit fraktur tetap utuh, tulang tidak menusuk kulit.
5. Menurut bentuk fragmen dan hubungan dengan mekanisme trauma
a. Fraktur transversal (melintang), trauma langsung
Garis fraktur tegak lurus, segmen tulang yang patah direposisi/direduksi kembali ketempat semula, segmen akan stabil dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips.
b. Fraktur oblique; trauma angulasi
Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil dan sulit diperbaiki.
c. Fraktur spiral; trauma rotasi
Fraktur ini timbul akibat torsi pada ekstrimitas, menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
d. Fraktur kompresi; trauma axial flexi pada tulang spongiosa
Fraktur terjadi karena ketika dua tulang menumpuk tulang ketiga yang berada diantaranya seperti satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
e. Fraktur avulsi; taruma akibat tarikan (fraktur patela)
Fraktur memisahkan suatu fragmen tulang tempat insersi tendon atau ligamen.
f. Fraktur depresi: Fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g. Fraktur epifiseal: Fraktur melalui epifisis
h. Fraktur impaksi: Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.
6. Menurut lokasi fraktur
Colles’ fraktur : jarak bagian distal fraktur ±1 cm dari permukaan sendi.
Articular fraktur : meliputi permukaan sendi.
Extracapsular : fraktur dekat sendi tetapi tidak termasuk ke dalam kapsul sendi.
Intracapsular : fraktur didalam kapsul sendi.
Apiphyseal : fraktur terjadi kerusakan pada pusat ossifikasi.
7. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit Paget, metastasis tulang, tumor).
IV. PATOFISIOLOGI
Ketika fraktur terjadi, otot-otot yang melekat di tulang menjadi terganggu. Otot tersebut dapat menjadi spasme dan menarik fragmen fraktur keluar dari posisi. Kumpulan otot yang besar dapat menyebabkan spasme otot yang masiv seperti pada otot femur. Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di tulang yang mengalami fraktur juga terganggu. Kerusakan jaringan lunak dapat juga terjadi. Perdarahan terjadi jika terjadi gangguan pada pembuluh darah dan tulang yang mengalami fraktur. Kemudian terjadi pembentukan hematoma diantara fragmen fraktur dan peristeum. Jaringan tulang di sekitar luka fraktur mati, sehingga menimbulkan respon inflamasi. Kemudian terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, keluarnya plasma dan leukosit. Proses ini mengawalai tahap penyembuhan tulang.
V. TAHAP PENYEMBUHAN TULANG
1. Tahap pembentukan hematoma
Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur. Suplai darah meningkat, terbentuklah hematoma yang berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.
2. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.
3. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Perlu waktu 3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus.
4. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-4 bulan.
5. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodeling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang. Dengan aktifitas osteoblas dan osteoklas, kalus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.
VI. PRINSIP PENATALAKSANAAN
1. Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di rumah sakit.
a. Riwayat kecelakaan
b. Parah tidaknya luka
c. Diskripsi kejadian oleh pasien
d. Menentukan kemungkinan tulang yang patah
e. Krepitus
2. Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
a. Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan traksi atau gips
b. Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui pembedahan, biasanya melalui internal fiksasi dengan alat misalnya; pin, plat yang langsung kedalam medula tulang.
3. Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan (gips/traksi)
4. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh cedera dan program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan gerak dengan kruck).
VII. TINDAKAN PEMBEDAHAN
1. ORIF (OPEN REDUCTION AND INTERNAL FIXATION)
a. Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami ceidera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur
b. Fraktur diperiksa dan diteliti
c. Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
d. Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali
e. Saesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat ortopedik berupa; pin, sekrup, plate, dan paku
Keuntungan:
a. Reduksi akurat
b. Stabilitas reduksi tinggi
c. Pemeriksaan struktur neurovaskuler
d. Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
e. Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih cepat
f. Rawat inap lebih singkat
g. Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal
Kerugian
a. Kemungkinan terjadi infeksi
b. Osteomielitis
2. EKSTERNAL FIKSASI
Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama
Post eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips.
Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan untuk implantasi pen ke tulang
Lubang kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan dikuatkan pennya.
Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain:
Observasi letak pen dan area
Observasi kemerahan, basah dan rembes
Observasi status neurovaskuler distal fraktur
Fiksasi eksternal Fiksasi Internal Pembidaian
VIII. KOMPLIKASI
1. Komplikasi awal
a. Shock Hipovolemik/traumatik
Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, femur) → perdarahan & kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak → shock hipovolemi.
b. Emboli lemak
c. Tromboemboli vena
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest.
d. Infeksi
Fraktur terbuka: kontaminasi infeksi sehingga perlu monitor tanda infeksi dan terapi antibiotik.
e. Sindrom kompartemen
2. Komplikasi lambat
a. Delayed union
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses infeksi. Distraksi/tarikan bagian fragmen tulang.
b. Non union
Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis.
c. Mal union
Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan bentuk).
d. Nekrosis avaskuler di tulang
Karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi tulang.
IX. PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
2. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
3. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal setelah trauma.
X. TRAUMA ABDOMEN
Trauma abdomen, baik trauma tumpul maupun penetrasi akibat kecelakaan atau intensional menyebabkan injuri internal. Mayoritas trauma tumpul abdomen disebabkan oleh kecelakaan lalu linta akibat terbentur stir mobil atau kecelakaan pejalan kaki. Sedangkan trauma penetrasi disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
1. Patofisiologi
Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan rupture perineum dan struktur abdomen lain. Luka tembak dapat mengakibatkan perforasi abdomen sehhingga menyebabkan terjadinya peritonitis dan sepsis.
2. Manifestasi klinis dan pemeriksaan diagnostik
Pengkajian awal yang perlu dilakukan adalah riwayat kecelakaan sehingga luasnya trauma tumpul dapat diperkirakan. Sedangkan untuk trauma penetrasi, pengkajian yang perlu dilakukan adalah posisi masuknya dan kedalaman. Klien dapat menunjukkan trauma abdomen akut. Pada kedua tipe trauma terjadi hemoragi baik baik internal maupun eksternal. Jika terjadi rupture perineum, manifestasi peritonitis berisiko muncul, seluruh drainase abdomen perlu dikaji untuk mengetahui isi drainase tersebut.
Bilas abdomen umumnya dilakukan untuk mengkaji adanya perdarahan di seluruh abdomen yang mengalami luka, dengan cara memasukkan cairan kristaloid ke dalam rongga peritoneum diikuti dengan paracentesis (rainase isi abdomen). Catat dan dokumentasikan warna dan jumlah drainase.
CT scan merupakan pemeriksaan diagnostic yang perlu dilakukan untuk mengkaji injuri intrra abdomen. Angiografi, pielografi intravena dan pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk mengkaji derajat trauma pada organ yang berbeda.
3. Penanganan
o Manajemen farmakologi
Nyeri dapat ditangani secara konservatif sampai derajat trauma dapat ditentukan. Jika terjadi rupture perineum, dosis besar antibiotic diberikan untuk mengontrol infeksi. Jika muncul hemoragi dan syok, diperlukan cairan IV, koloid dan vasopressor.
o Manajemen bedah
Penanganan trauma abdomen dengan injuri organ abdomen adalah laparotomi eksplorasi, tergantung pada derajat injuri, pembedahan dapat bersifat sangat sederhana seperti penutupan luka atau yang bersifat kompleks seperti reseksi bowel atau bahkan kolostomi temporer
XI. FRAKTUR PELVIS
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak + 4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih.
Penanganan fraktur pelvis tergantung pada tingkat keparahan fraktur. Fraktur pelvis yang tidak stabil, weight bearing ditangani dengan fiksasi eksternal dan ORIF. Pada fraktur yang tidak terlalu parah, non weight bearing dapat ditangani dengan bedrest.
Manajemen keperawatan adalah dengan mempertahankan sirkulasi kulit yang adekuat. Klien juga memerlukan control nyeri yang adekuat, pengkajian status neurovaskuler dan pengkajian terhadap komplikasi seperti tromboflebitis dan emboli lemak.
XII. FRAKTUR SHAFT FEMUR
Umumnya menyebabkan adanya displacement dan deformitas serta kerusakan jaringan lunak yang luas dengan disertai edema. Kehilangan darah saat injuri kemungkinan terjadi dan berkembang menjadi syok. Perlu diperhatikan bahwa tungkai harus diimobilisasi selama transportasi. Jika fraktur relative sederhanadan klien dlam kondisi umum baik tanpa kerusakan kulit, penanganan yang tepat adalah ORIF dengan menggunakan insersi rod intramedular. Jika fraktur pada femur distal, penanganannya adalah melalui fiksasi eksternal dan manipulasi atau melalui fiksasi internal dengan rod, nail, plate, screw.
XIII. PATOFLOW KASUS
Klien Tertabrak Forklift Dari Belakang
Bokong Penis dan skrotum Kaki kanan
Fraktur pelvis edema skrotum Ruptur perineum gr.3 Luka di daerah inguinal Fraktur midshaft femur
Fiksasi eksternal
Repair perineum Kolostomi traksi skeletal (balanced traction)
Pus pd pinsite bedrest nyeri (bila bergerak) Gangguan integritas kulit
Risiko Penyebaran Kerusakan mobilitas fisik Risiko disfungsi
Infeksi neurovaskuler perifer
REFERENSI
Black and Hawks. (2005). Medical surgical nursing: clinical management for positive outcomes. 7th edition. United States: Elsevier
Doenges, M.E et al.(1993). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan danpendokumentasian perawatan pasien Edisi 3. Penerjemah I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC
----. klikdokter.com. Diambil pada tanggal 13 Desember 2008.
----. http: yayankhyar.files.wordpress.com. Diambil pada tanggal 13 Desember 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar