I. PENGERTIAN
a). Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada saat suhu meningkat disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
b). Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba (marillyn, doengoes. 1999 : 252)
II. ETIOLOGI
Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu :
1. Obat – obatan
racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan
2. Ketidak seimbangan kimiawi
hiperkalemia. Hipoglikemia dan asidosis
3. Demam
paling sering terjadi pada anak balita
4. Patologis otak
akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik
5. Eklampsia
hipertensi prenatal, toksemia gravidarum
6. Idiopatik
penyebab tidak diketahui
III. PATOFISIOLOGI
IV. MANIFESTASI KLINIK
Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu :
1. Kejang demam sementara
• Umur antara 6 bulan – 4 tahun
• Lama kejang <15 menit
• Kejang bersifat umum
• Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam
• Tidak ada kelainan neurologis, baik klinis maupun laboratorium
• Eeg normal 1 minggu setelah bangkitan kejang
2. Kejang demam komplikata
• Diluar kriteria tersebut diatas
V. KOMPLIKASI DARI KEJANG DEMAM
1. hipoksia
2. hiperpireksia
3. asidosis
4. ernjatan atau sembab otak
VI. FASE – FASE KEJANG DEMAM
1. Fase prodromal
Perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang mungkin mengawali kejang beberapa jam/ hari
2. Fase iktal
Merupakan aktivitas kejang yag biasanya terjadi gangguan muskulosketal.
3. Fase postiktal
Periode waktu dari kekacauan mental atau somnolen, peka rangsang yang terjadi setelah kejang tersebut.
4. Fase aura
Merupakan awal dari munculnya aktivitas kejang, yang biasanya berupa gangguan penglihatan dan pendengaran.
VII. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Pemberian diazepam
• dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/ kg bb/ dosis iv (perlahan )
• bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosisi ulangan setelah 20 menit
2. Turunkan demam
• anti piretik : para setamol atau salisilat 10 mg/ kg bb/ dosis
• kompres air biasa
3. Penanganan suportif
• bebaskan jalan nafas
• beri zat asam
• jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
• pertahankan tekanan darah
VIII. PENCEGAHAN KEJANG DEMAM
1. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam dan anti piretika pada penyakit yang disetai demam.
2. Pencegahan kontinu untuk kejang komplikata
• fenobarbital : 5 – 7 mg/ kg BB/ 24 jam dibagi 3 dosis
• fenotoin : 2- 8 mg/ kg BB/ 24 jam 2 – 3 dosis
• klonazepam : indikasi khusus
3. Diberikan sampai 2 tahun bebas kejang atau sampai umur 6 tahun
IX. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Elektrolit : tidak seimbang dapat berpengaruh pada aktivitas kejang
2. Glukosa : hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang.
3. Ureum/ kreatinin : dapat maningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang
4. Kadar obat dalam serum : untuk membuktikan batas obat anti konvulsi yang terapeutik.
5. Elektroensepalogram (eeg) : dapat melokalisir daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur aktivitas otak.
X. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Data Dasar Pasien
1. Aktivitas/ istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktivitas
Tanda : perubahan tonus dan kekuatan
2. Sirkulasi
Gejala : iktal : hiertensi, peningkatan nadi, sianosis
Postiktal : depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan
3. Elimnasi
Gejala : inkontinensia episodik
Tanda : iktal : peningkatan tekanan kandung kemih
Posiktal : inkontenensia urine
4. Makanan dan cairan
Gejala : sensitivitas terhadap makanan, mual, muntah
Tanda : kerusakan jaringan lunak (cidera selama kejang)
5. Neurosensori/ kenyamanan
Gejala : riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsang, pusing
Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area paralitik
6. Pernafasan
Gejala : iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun/ cepat, peningkatan sekresi mukus
B. Diagnosa Yang Mungkin Muncul
1. Resiko terhadap penghentian pernafasan barhubungan dengan kelemahan dan kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
2. Bersihkan jalan nafas inefektif berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial dan peningkatan sekresi mukus
C. Intervensi Keperawatan
DX 1 : Resiko Terhadap Penghentian Pernafasan Berhubungan Dengan Kelemahan Dan Kehilangan Koordinasi Otot Besar Dan Kecil
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan penghentian pernafasan tidak terjadi
Kriteria hasil :
RR dalam batas normal (16 – 20 x/ menit )
Tak kejang
Klien mengungkapkan perbaikan pernafasannya
Intervensi :
1. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur dengan tempat tidur rendah
R/ : mengurangi trauma saat kejang
2. Masukan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik / biarkan pasien menggigit benda lunak atara gigi.
R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma mulut
3. Observasi TTV
R/ : menentukan kegawatan kejang dan intervensi yang sesuai
4. catat tipe dari aktivitas kejang
R/ : membantu untuk melokalisir daerah otak
5. Lakukan penilaian neurologis, tingkat kesadaran, orientasi
R/ : mencatat keadaan postiktal dan waktu penyembuhan
6. Biarkan tingkah laku “ automatik” tanpa menghalangi
R/ : untuk menghindari cidera atau trauma yang lebih lanjut
7. Kolaborasi dalam pemberian obat anti convulsi
R/ : untuk mencegah kejang ulangan
DX 2 : Bersihan Jalan Nafas Inefektif Berhubungan Dengan Peningkatan Sekresi Mukus, Obstruksi Jalan Nafas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas efektif
Kriteria hasil : sekresi mukus berkurang
tak kejang
gigi tak menggigit
Intervensi :
1. Anjurkan klien mengosongkan mulut dari benda
R/ : menurunkan aspirasi atau masukanya benda asing ke faring
2. Letakan klien pada posisi miring dan permukaan datar
R/ : mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen
R/ : untuk memfasilitasi usaha bernafas
4. Masukan spatel lidah
R/ : untuk membuka rahang dan mencegah tergigitnya lidah
5. Lakukan penghisapan lendir
R/ : menurunkan resiko aspirasi
Catatan Seorang Paramedic ........
Jangan panik .... tetap tenang dalam setiap tindakan .... keselamatan kita yang paling utama ....
Senin, 30 Mei 2011
LAPORAN PENDAHULUANGANGGUAN ANSIETAS/ KECEMASAN
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUAN ANSIETAS/ KECEMASAN
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Ansietas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kondisi dialami secara subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat ansietas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan (Stuart dan Sundeen, 1990, hal 75).
Tingkat ansietas sebagai berikut:
1. Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari- hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan menghasilkan lahan persepsinya. Ansietas dapat memotivasi bekpar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
2. Ansietas sedang, memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
3. Ansietas berat, sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir pada hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada satu area lain.
4. Tingkat panik dari ansietas, berhubungan dengan terperangah, ketakutan dari orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik,menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan juga berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat, bahkan kematian.
B. Rentang Respon Ansietas (Stuart & Sundeen, 1990)
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
C. Faktor Predisposisi
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas :
1. Dalam pandangan psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
2. Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dari hubungan interpersonal. Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan, trauma seperti perpisahan dan kehilangan sehingga menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan ansietas yang berat.
3. Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Daftar tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yng berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas pada kehidupan selanjutnya.
4. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.
5. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas penghambat dalam aminobutirik. Gamma neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya endorfin. Selain itu telah dibuktikan kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.
D. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori :
1. Ancaman terhadapintegritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari- hari.
2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
E. Sumber Koping
Individu dapat mengalami stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping tersebut di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal ekonomok, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
F. Mekanisme Koping
Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Ansietas tingkat ringan sering ditanggulang tanpa yang serius.
Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan 2 jenis mekanisme koping:
1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitis tuntutan situasi stress.
2. Mekanisme pertahanan ego, membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptif terhadap stress.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku. Secara tidaklangsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan ansietas.intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat ansietas.
Masalah yang sering muncul pada gangguan ansietas adalah sebagai berikut:
a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b. Gangguan perilaku; kecemasan
c. Koping individu tak efektif
Pohon Masalah:
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan gangguan perilaku; kecemasan
2. Gangguan perilaku; kecemasan berhubungan dengan koping individu tak efektif ditandai dengan klien tampak gelisah, tegang
C. Perencanaan
1. Diagnosa 1 : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan gangguan perilaku ; kecemasan
TUM: Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
TUK: Klien mampu mengontrol rasa cemasnya
Intervensi:
a. BHSP dengan klien
• Memperkenalkan diri dengan sopan dan ekspresi wajah bersahabat
• Tanyakan nama klien
• Jabat tangan klien
b. Pasien akan terlindung dari bahaya
• Terima dan dukung pertahanan klien
• Kenalkan realita yang berhubungan dengan mekanisme koping klien
• Berikan umpan balik pada klien tentang perilaku, stressor dan sumber koping
c. Ciptakan lingkungan tenang dan jauh dari kegaduhan
d. Jauhkan klien dari benda yang berbahaya seperti benda tajam
2. Diagnosa 2 : Gangguan perilaku; kecemasan berhubungan dengan koping individu tak efektif ditandai dengan klien tampak gelisah, tegang
TUM: Klien dapat mengurangi dan mengontrol kecemasannya
TUK: Klien mengenal cara- cara untuk mengurangi kecemasannya
Intervensi:
a. Libatkan klien dalam aktivitas sehari- hari
Beri aktivitas pada klien dan penguatan perilaku produktif.Berikan beberapa jenis latihan fisik
Rencanakan jadwal atau daftar aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari.
Libatkan keluarga dan sistem pendukung lain sebanyak mungkin
b. Klien dapat mengidentifikasi dan menguraikan perasaan tentang ansietas
Bantu klien mengidentifikasi dan menguraikan perasaan yang mendasar.
Kaitkan perilaku klien dengan perilaku dan perasaan tersebut.
Gunakan pertanyaan terbuka untuk menghindari konflik
c. Klien dapat menguraikan rencana koping maladaptif dan adaptif
Gali cara pasien menurunkan ansietasnya dimasa lalu
Tunjukkan efek maladaptif dan destruktif dari respon koping sekarang.
Dorong klien menggunakan respon adaptif yang efektif dimasa lalu.
D. Pelaksanaan
Pelaksanaan disesuaikan dengan kondisi dan respon klien
E. Evaluasi
1. Sudahkah ancaman terhadap integritas kulit atau sistem dari pasien berkurang dalam sifat, jumlah, asal dan waktunya ?
2. Apakah perilaku klien mencerminkan ansietas tingkat ringan atau lebih ringan ?
3. Sudahkah sumber koping klien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?
4. Apakah klien mengenali ansietasnya sendiri dan mempunyai pandangan terhadap perasaan tersebut?
5. Apakah klien menggunakan respon koping adaptif?
6. Sudahkan klien belajar strategi adaptif baru untuk mengurangi ansietas?
7. Apakah klien menggunakan ansietas ringan untuk meningkatkan pertumbuhan atau perubahan personal?
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUAN ANSIETAS/ KECEMASAN
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Ansietas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kondisi dialami secara subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat ansietas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan (Stuart dan Sundeen, 1990, hal 75).
Tingkat ansietas sebagai berikut:
1. Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari- hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan menghasilkan lahan persepsinya. Ansietas dapat memotivasi bekpar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
2. Ansietas sedang, memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
3. Ansietas berat, sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir pada hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada satu area lain.
4. Tingkat panik dari ansietas, berhubungan dengan terperangah, ketakutan dari orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik,menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan juga berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat, bahkan kematian.
B. Rentang Respon Ansietas (Stuart & Sundeen, 1990)
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
C. Faktor Predisposisi
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas :
1. Dalam pandangan psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
2. Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dari hubungan interpersonal. Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan, trauma seperti perpisahan dan kehilangan sehingga menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan ansietas yang berat.
3. Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Daftar tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yng berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas pada kehidupan selanjutnya.
4. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.
5. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas penghambat dalam aminobutirik. Gamma neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya endorfin. Selain itu telah dibuktikan kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.
D. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori :
1. Ancaman terhadapintegritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari- hari.
2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
E. Sumber Koping
Individu dapat mengalami stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping tersebut di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal ekonomok, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
F. Mekanisme Koping
Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Ansietas tingkat ringan sering ditanggulang tanpa yang serius.
Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan 2 jenis mekanisme koping:
1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitis tuntutan situasi stress.
2. Mekanisme pertahanan ego, membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptif terhadap stress.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku. Secara tidaklangsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan ansietas.intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat ansietas.
Masalah yang sering muncul pada gangguan ansietas adalah sebagai berikut:
a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b. Gangguan perilaku; kecemasan
c. Koping individu tak efektif
Pohon Masalah:
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan gangguan perilaku; kecemasan
2. Gangguan perilaku; kecemasan berhubungan dengan koping individu tak efektif ditandai dengan klien tampak gelisah, tegang
C. Perencanaan
1. Diagnosa 1 : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan gangguan perilaku ; kecemasan
TUM: Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
TUK: Klien mampu mengontrol rasa cemasnya
Intervensi:
a. BHSP dengan klien
• Memperkenalkan diri dengan sopan dan ekspresi wajah bersahabat
• Tanyakan nama klien
• Jabat tangan klien
b. Pasien akan terlindung dari bahaya
• Terima dan dukung pertahanan klien
• Kenalkan realita yang berhubungan dengan mekanisme koping klien
• Berikan umpan balik pada klien tentang perilaku, stressor dan sumber koping
c. Ciptakan lingkungan tenang dan jauh dari kegaduhan
d. Jauhkan klien dari benda yang berbahaya seperti benda tajam
2. Diagnosa 2 : Gangguan perilaku; kecemasan berhubungan dengan koping individu tak efektif ditandai dengan klien tampak gelisah, tegang
TUM: Klien dapat mengurangi dan mengontrol kecemasannya
TUK: Klien mengenal cara- cara untuk mengurangi kecemasannya
Intervensi:
a. Libatkan klien dalam aktivitas sehari- hari
Beri aktivitas pada klien dan penguatan perilaku produktif.Berikan beberapa jenis latihan fisik
Rencanakan jadwal atau daftar aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari.
Libatkan keluarga dan sistem pendukung lain sebanyak mungkin
b. Klien dapat mengidentifikasi dan menguraikan perasaan tentang ansietas
Bantu klien mengidentifikasi dan menguraikan perasaan yang mendasar.
Kaitkan perilaku klien dengan perilaku dan perasaan tersebut.
Gunakan pertanyaan terbuka untuk menghindari konflik
c. Klien dapat menguraikan rencana koping maladaptif dan adaptif
Gali cara pasien menurunkan ansietasnya dimasa lalu
Tunjukkan efek maladaptif dan destruktif dari respon koping sekarang.
Dorong klien menggunakan respon adaptif yang efektif dimasa lalu.
D. Pelaksanaan
Pelaksanaan disesuaikan dengan kondisi dan respon klien
E. Evaluasi
1. Sudahkah ancaman terhadap integritas kulit atau sistem dari pasien berkurang dalam sifat, jumlah, asal dan waktunya ?
2. Apakah perilaku klien mencerminkan ansietas tingkat ringan atau lebih ringan ?
3. Sudahkah sumber koping klien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?
4. Apakah klien mengenali ansietasnya sendiri dan mempunyai pandangan terhadap perasaan tersebut?
5. Apakah klien menggunakan respon koping adaptif?
6. Sudahkan klien belajar strategi adaptif baru untuk mengurangi ansietas?
7. Apakah klien menggunakan ansietas ringan untuk meningkatkan pertumbuhan atau perubahan personal?
Label: emergency case
lp kecemasan/ansietas
Proposal Penelitian Keperawatan Jiwa
USULAN PENELITIAN
I. JUDUL PENELITIAN
PENGARUH TERAPI PSIKORELIGIUS TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRA OPERASI DI RUANG BEDAH RS ISLAM FAISAL MAKASSAR.
II. RUANG LINGKUP PENELITIAN
KEPERAWATAN JIWA
III. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mendapatkan kesehatan mental yang prima, tidaklah mungkin terjadi begitu saja. Selain menyediakan lingkungan yang baik untuk pengembangan potensi, dari individu sendiri dituntut untuk melakukan berbagai usaha menggunakan berbagai kesempatan yang ada untuk mengembangkan dirinya. Individu perlu merefleksikan kembali penyebab dari berbagai perilakunya, mengevaluasi kembali kehidupan beragamanya, menggunakan berbagai sarana yang selama ini telah tersedia, yaitu berbagai macam teknik konseling dan psikoterapi, serta mengembangkan kebiasaan pribadi, dalam hal ini mencoba berlatih dan mendeskripsikan emosi yang dialami.
Secara teori, tidak ada batasan sejauh mana derajat kesehatan, baik mental maupun fisik dapat dicapai. Banyak yang sudah puas bila tidak ada gejala-gejala yang menunjukkan gangguan baik berupa gangguan kebutuhan, mental maupun spiritual. Ini menjadi kriteria kesehatan umum. Gerakan-gerakan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal inilah yang saat ini sedang muncul, tumbuh dan berkembang di mana-mana terutama di kota-kota besar di dunia. Ada banyak cara untuk mendapatkan derajat kesehatan yang memuaskan, sejalan dengan teraktualnya potensi-potensi dalam diri yang belum tergali.
Terapi merupakan salah satu cara untuk semakin mengenal dan menemukan keunikan diri. Sekarang ini terapi banyak digunakan bukan hanya bagi mereka yang merasa memiliki masalah, namun baik juga digunakan sebagai alat pemahaman dan pengenalan diri. Hasilnya mereka akan menemukan mutiara-mutiara lain dalam diri mereka yang selama ini mungkin tidak mereka sadari (Siswanto, 2007)
Di awal abad ke-20, ditandai dengan kemajuan yang pesat dalam ilmu kedokteran modern dengan adanya spesialisasi sebagai respon atas munculnya penyakit-penyakit baru yang mencemaskan. Namun persoalannya ternyata tidak berhenti dipenanganan medis belaka. Penyakit-penyakit psikis ternyata tidak sepenuhnya mampu ditanggulangi oleh bidang medis. Itulah antara lain yang menjadi alasan mengapa banyak orang sekarang ini yang mencari alternatif penyehatan dan penyembuhan terhadap terapi-terapi spiritual. Oleh karena itu, guna memperoleh kesehatan yang holistik, hendaknya kita harus memahami aspek-aspek jasmani, mental dan spiritual sehingga secara terpadu dapat mengetahui cara yang benar untuk menyeimbangkan dan mengobati setiap bidang tersebut. Prinsip keseimbangan ini yang diajarkan Tuhan kepada kita di setiap aspek kehidupan. Tanpa keseimbangan maka tidak akan pernah ada kehidupan yang tertib, aman dan sehat. Demikian juga hanya dengan tubuh manusia yang melakukan keseimbangan aktivitas bioelektrik dan biokimianya sendiri sehingga tetap hidup dan sehat dalam menjalankan aktivitasnya. Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat religius dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakitnyapun lebih cepat (Zainul Z, 2007).
Saat ini perkembangan terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial. World Health Organization (WHO) telah menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah satu dari 4 unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan sehat spiritual. Pendekatan baru ini telah diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat (The American Psychiatric Association atau APA, 1992) yang dikenal dengan pendekatan “bio-psyco-socio-spiritual” (Ilham A, 2008).
Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan lengkap dari kesejahteraan fisik, mental, sosial dan bukan semata-mata katiadaan penyakit atau kesakitan. Definisi kesehatan ini merupakan pemicu dan pemacu penelitian dan praktik di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi kesehatan mulai berkembang pesat sejak saat itu, jika dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kesehatan seseorang yang bertujuan untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang sesuai dengan pengertian WHO di atas (Hasan P, 2008).
Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika, ada sekelompok pasien yang selalu menunda-nunda operasi sehingga jadwal operasi yang sudah dibuat ditunda lagi, kecuali pada operasi yang darurat. Ada masalah apa dengannya? Padahal dalam pemeriksaan semua sudah bagus, tidak ada alasan untuk menunda operasi. Setelah diselidiki ternyata mereka mengalami ketakutan menghadapi operasi (Yosep I, 2009).
Lindenthal (1970) dan Star (1971) melakukan studi epidemiologi yang hasilnya menunjukkan bahwa penduduk yang religius resiko untuk mengalami stres jauh lebih kecil dari pada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-harinya. Clinebell (1981) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual (Basic Spiritual Needs). Kebutuhan dasar spiritual ini adalah kebutuhan kerohanian, keagamaan, dan ke-Tuhan-an yang kerena paham materialisme dan sekularisme menyebabkan kebutuhan dasar spiritual terlupakan tanpa disadari. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar spiritual maka daya tahan dan kekebalan seseorang dalam menghadapi stressor psikososial menjadi melemah, yang kemudian sebagian dari mereka melarikan diri kepada hal-hal yang negatif (Ilham A, 2008).
Saat ini di rumah sakit umum dianjurkan melaksanakan suatu program yang dinamakan Program Integrasi Kesehatan Jiwa. Tentu saja ini telah mulai dijalankan di sejumlah rumah sakit yang berdasarkan agama atau yang dikelola organisasi sosial keagamaan melalui pelaksanaan terapi agama. Di samping dokter yang mengobati, ada juga agamawan yang mendampingi, memberikan dan menuntun doa. Alangkah baiknya bila rohaniawan yang membimbing di rumah sakit juga mempunyai pengetahuan kesehatan atau dokter-dokter yang ada dapat pula memberikan tuntunan agama. Tujuannya agar pasien yang terbaring itu tidak merasa jenuh dan tidak berontak. Karena dalam keadaan berbaring pun ia bisa beribadah, berdzikir atau mengaji serta sholat dengan segala kemampuannya. Dengan demikian pasien tidak merasa ragu karena senantiasa dapat mendapat pahala. Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan agama akan merasa gelisah, ingin pulang, cemas, dan sebagainya, yang justru akan menurunkan respon imunitasnya.
Perasaan takut dioperasi timbul karena takut menghadapi kematian dan tidak bisa bangun lagi setelah dioperasi. Ada pula orang lain yang tidak bermasalah dalam menghadapi operasi, ternyata permasalahannya adalah komitmen agama. Pada kelompok yang lurus-lurus saja, yang komitmen agamanya kuat dan alur pemikiran sebagai berikut : kami percaya pada Tuhan, kami menjalani operasi dengan harapan sembuh, andai kata kami meninggal pun tetap saja harus menghadap Tuhan nantinya karena semua yang bernyawa pasti akan mati. Kami sudah siap mati karena kami sudah memohon dan berdoa (Yosep I, 2009).
Dalam mengembangkan psikologi kesehatan, para ilmuan kemudian melihat bahwa kaitan antara jiwa dan tubuh merupakan hal yang sebetulnya telah lama dikaji. Para filosofi dan tokoh agama, dengan berbagai latar belakang, telah sejak lama membahas hal ini, tak terkecuali ulama Islam. Banyak tokoh Islam yang terkenal yang telah mengembangkan hal ini, baik secara konsep maupun praktik, seperti Nabi Muhammad SAW, kemudian Al Razi (841-926 M), Ibnu Sina (980-1037 M), dan lain-lain. Pendekatan Islam telah lama sejak awal bahkan telah mencakup dimensi biologis, mental dan spiritual serta sosial (Hasan P, 2008).
Masyarakat Indonesia telah mengalami pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat indutri. Hal ini berakibat pergeseran pola kependudukan yang berdampak pada pergeseran pola penyakit. Pola hidup penduduk di kota-kota besar (urban) berbeda dengan di pedesaan (rural). Penduduk di kota-kota besar banyak yang menderita ketegangan jiwa (stres mental atau kecemasan) berubahnya kebiasaanya hidup seperti kurang gerak, berubahnya pola makan ke arah konsumsi tinggi lemak, kebiasaan merokok, minum alkohol dan lain sebagainya. Adanya pergeseran masyarakat ke industri dan ditambah pola hidup masyarakat urban telah mampu menciptakan dimensi baru penyakit, paling tidak dimensi psikoreligi. Pada dimensi psikoreligi, terjadinya penyakit dilihat dari sudut pandang gejolak emosi dan ketenangan beribadah. Dimensi psikoreligi memandang kepribadianlah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya penyakit (Ilham A, 2008).
Apabila faktor psikologi dapat teridentifikasi sebagai faktor pendukung pemunculan atau perburukan kondisi fisik, maka dapat digunakan diagnosis faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis. Sebuah penilaian dibuat tentang komponen emosional yang mempengaruhi kondisi kesehatan fisik seseorang. Sering kali faktor psikologis dapat mengganggu penatalaksanaan masalah medis dan dapat menambah resiko kesehatan klien. Faktor psikologis yang mempengaruhi masalah medis dapat didiagnosis sebagai gangguan mental. Ansietas dan depresi dapat memperburuk berbagai penyakit dan dapat memperpanjang periode penyembuhan. Sering kali, sifat kepribadian atau gaya koping tertentu dapat mengganggu kesehatan atau menimbulkan faktor resiko pada klien untuk terkena penakit tertentu seperti penyakit jantung. Respon fisiologis yang berhubungan dengan kecemasan dapat mencetuskan beberapa masalah seperti nyeri dada dan serangan asma. Pada beberapa klien, faktor-faktor psikologis yang tidak tergolongkan seperti pertimbagan budaya, pertimbangan agama, dapat mempengaruhi rangkaian atau hasil terapi. Para ilmuan telah mengikuti sejak lama bahwa orang berespon terhadap kecemasan baik pada tingkat fisiologis maupun psikologis. Riset selanjutnya menunjukkan bagaimana sistem imun berinteraksi dengan proses neurobiologis. Ketika seseorang mengalami kecemasan dan stres yang berkepanjangan, kadar epinefrin, norepinefrin dan kortisol meningkat. Pelepasan hormon stres yang terus-menerus dapat merusak mekanisme neurobiologis dan pola fisiologis normal yang memfasilitasi adaptasi tubuh. Sebagian besar klien yang memiliki faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis berada pada kondisi medikal-bedah karena mereka memeriksakan kesehatan yang berhubungan dengan kondisi fisiologis mereka. Ketika seseorang klien melaksanakan anjuran untuk terus mengikuti terapi, fokusnya ada pada bagaimana faktor-faktor psikologis seperti ansietas dan depresi mempengaruhi berbagai terapi atau hasilnya (Akemat, 2007).
Dari sejumlah penelitian para ahli, ternyata bisa disimpulkan bahwa komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang dipadukan dengan terapi kedokteran. Agama lebih bersifat protektif daripada problem producing. Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan clinical benefit. Kesimpulan umum adalah masyarakat dan bangsa kita merupakan bangsa yang religius, maka sepatutnyalah pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dapat diamalkan dalam dunia kesehatan, dengan catatan bukan untuk mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritualnya dalam menghadapi penyakit (Yosep I, 2009).
Menghadapi pembedahan adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan karena akan timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah keberadaan pencipta dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting sehingga pasien akan selalu membutuhkan bantuan religius atau spiritual (Alimul A, 2006).
Berdasarkan data rekam medik di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar periode Januari sampai dengan Desember 2010, data kegiatan atau tindakan pembedahan yang telah dilakukan adalah sebanyak 1127 kali tindakan. Data tersebut antara lain bedah umum atau tumor sebanyak 270 kali, bedah KB atau Sectio sebanyak 247 kali, bedah saraf sebanyak 27 kali, bedah THT sebanyak 8 kali, bedah urologi sebanyak 159 kali, bedah mata sebanyak 11 kali, bedah ortopedi sebanyak 208 kali, bedah gigi sebanyak 14 kali, bedah plastik sebanyak 8 kali, bedah thoraks sebanyak 24 kali, dan bedah digestif sebanyak 130 kali tindakan.
Sedangkan pada periode Januari sampai dengan Maret 2011, kegiatan atau tindakan pembedahan yang telah dilakukan sebanyak 312 kali tindakan. Data tersebut antara lain bedah umum atau tumor sebanyak 51 kali, bedah KB atau sectio sebanyak 66 kali, bedah saraf sebanyak 2 kali, bedah THT sebanyak 4 kali, bedah urologi sebanyak 60 kali, bedah mata sebanyak 2 kali, bedah ortopedi sebanyak 47 kali, bedah gigi sebanyak 3 kali, bedah thoraks sebanyak 12 kali dan bedah digestif sebanyak 65 kali.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang “Pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah apakah ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kecemasan pasien sebelum pemberian terapi psikoreligius pada masa pra bedah.
b. Untuk mengetahui kecemasan pasien setelah pemberian terapi psikoreligius pada masa pra bedah.
c. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah pemberian terapi psikoreligius.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan yang bermakna dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi.
2. Bagi Pendidikan
Sebagai sumbangan ilmiah dan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengaruh terapi psikoreligius terhadap pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi, serta dapat digunakan sebagai bahan pustaka atau bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi Keluarga
Sebagai bahan informasi, utamanya bagi keluarga tentang pentingnya terapi psikoreligius untuk mengurangi kecemasan pada pasien praoperasi.
4. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman yang berharga bagi peneliti untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta mengembangkan diri khususnya dalam bidang penelitian.
5. Bagi Profesi Keperawatan
Sebagai pengembangan ilmu khususnya dalam keperawatan jiwa, yang selanjutnya dapat meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya memasyarakatkan terapi psikoreligius kepada pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Terapi Psikoreligius
1. Defenisi
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan dalam praktek keperawatan khususnya keperawatan jiwa yang menggunakan pendekatan keagamaan antara lain doa-doa, dzikir, ceramah keagamaan, dan lain-lain untuk meningkatkan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa (Ilham A, 2008).
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan alternatif dengan cara pendekatan keagamaan melalui doa dan dzikir yang merupakan unsur penyembuh penyakit atau sebagai psikoterapeutik yang mendalam, bertujuan untuk membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang paling penting selain obat dan tindakan medis (Rozalino R, 2009).
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dalam dunia kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep I, 2009).
Yang dimaksud dengan terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan memakai upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan terapi keagamaan, religius, atau psikoreligius, yang berarti terapi dengan menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan, seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dan sebagainya. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya dan tidak selalu dengan agama formal masing-masing individu (Wicaksana I, 2008).
Pengertian terapi spiritual atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh seorang pemuka agama dengan cara memberikan pencerahan, kegiatan ini dilakukan minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan setiap hari untuk pasien. Terapi spiritual berbeda dengan berdoa, doa tersebut ditiupkan disebuah gelas berisi air minum kemudian meminta klien meminum air tersebut, meskipun sama - sama menggunakan sebuah perilaku dalam sebuah agama atau kepercayaan tetapi akan sangat berbeda dengan terapi spiritual (Rosyidi I, 2009).
2. Unsur-Unsur Psikoreligi
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius adalah sebagai berikut (Ilham A, 2008) :
a. Doa – doa
Dalam dimensi psikoreligius, doa berarti permohonan penyembuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Dzikir
Dzikir adalah mengingat Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, mengucapkan baik secara lisan maupun dalam hati segala kuasa-Nya.
Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham A, 2008)
3. Proses Keperawatan pada Terapi Psikoreligius
Adapun proses keperawatan dalam terapi psikoreligius (Ilham A, 2008) antara lain :
a. Pengkajian
Pada dasarnya informasi yang perlu digali secara umum adalah
1) Afiliasi Agama
a) Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau tidak aktif.
b) Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
2) Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi
a) Praktik kesehatan: diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara kegamaan.
b) Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap keyakinan.
c) Strategi koping.
3) Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi
a) Tujuan dan arti hidup
b) Tujuan dan arti kematian
c) Kesehatan dan pemeliharannnya
d) Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain
4) Pengkajian Data Subjektif
Pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh Stoll dalam Craven & Hirnle. Pengkajian mencakup 4 area, yaitu :
a) Konsep tentang Tuhan atau ke-Tuhan-an
b) Sumber harapan dan kekuatan
c) Praktik agama dan ritual
d) Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan
5) Pengkajian Data Objektif
Meliputi :
a) Pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal dan lingkungan
b) Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui observasi.
Pada umumnya karakteristik klien yang potensial mengalami distres spiritual adalah sebagai berikut :
a) Klien tampak kesepian dan sedikit pengunjung
b) Klien yang mengekspresikan rasa takut dan cemas
c) Klien yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem kepercayaan atau agama
d) Klien yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian
e) Klien yang akan dioperasi
f) Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau implikasi sosial dan agama
g) Mengubah gaya hidup
h) Preokupasi tentang hubungan agama dan kesehatan
i) Tidak dapat dikunjungi oleh pemuka agama
j) Tidak mampu atau menolak melakukan ritual spiritual
k) Memverbalisasikan bahwa penyakit yang dideritanya merupakan hukuman dari Tuhan
l) Mengekspresikan kemarahannya kepada Tuhan
m) Mempertanyakan rencana terapi karena bertentangan dengan keyakiann agama
n) Sedang menghadapi sakaratul maut (dying)
b. Diagnosa
Distres spiritual mungkin memengaruhi fungsi manusia lainnya. Berikut ini adalah diagnosis keperawatan, distres spiritual sebagai etiologi atau penyebab masalah lain :
1) Gangguan penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk merekonsiliasi penyakit dengan keyakinan spiritual.
2) Koping individual tidak efektif yang berhubungan dengan kehilangan agama sebagai dukungan utama (merasa ditinggalkan oleh Tuhan).
3) Takut yang berhubungan belum siap untuk menghadapi kematian dan pengalaman kehidupan setelah kematian.
4) Berduka yang disfungsional : keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa agama tidak mempunyai arti.
5) Keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang peduli termasuk Tuhan .
6) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan perasaan menjadi korban.
7) Gangguan harga diri yang berhubungan dengan kegagalan untuk hidup sesuai dengan ajaran agama.
8) Disfungsi seksual yang berhubungan dengan konflik nilai.
9) Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan distres spiritual.
10) Risiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan dengan perasaan bahwa hidup ini tidak berarti.
c. Perencanaan
1) Mengidentifikasi keyakinan spiritual yang memenuhi kebutuhan untuk memperoleh arti dan tujuan, mencintai dan keterikatan serta pengampunan
2) Menggunakan kekuatan, keyakinan, harapan dan rasa nyaman ketika menghadapi tantangan berupa penyakit, cedera atau krisis kehidupan lain.
3) Mengembangkan praktek spiritual yang memupuk komunikasi dengan diri sendiri, dengan Tuhan dan dengan dunia luar.
4) Kepuasan dengan keharmonisan antara keyakinan spiritual dengan kehidupan sehari-hari
d. Implementasi
1) Periksa keyakinan spiritual pribadi perawat
2) Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spiritualnya.
3) Jangan mengasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual.
4) Mengetahui pesan nonverbal tentang kebutuhan spiritual.
5) Beri respon secara singkat, spesifik dan faktual.
6) Mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah klien.
7) Menerapkan teknik komunikasi terapeutik dengan teknik mendukung, menerima, bertanya, memberi informasi, refleksi, menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki klien.
8) Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal klien.
9) Bersikap empati yang berarti memahami perasaan klien.
10) Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak tentu menyetujui klien.
11) Menentukan arti dari situasi klien bagaimana klien berespon terhadap penyakit
12) Apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan hukuman, cobaan, atau anugerah dari Tuhan
13) Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agama
14) Memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit
e. Evaluasi
1) Mampu beristirahat dengan tenang
2) Menyatakan penerimaan keputusan moral atau etika
3) Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan
4) Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama
5) Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas
6) Menunjukkan perilaku lebih positif
7) Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.
B. Tinjauan Umum tentang Kecemasan
1. Defenisi
Kecemasan (anxiety) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai kekuatiran, kegelisahan, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi. Itu juga berarti suatu perasaan takut, kuatir bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan (Salam N, 2009).
Dalam Kamus Konseling (Sudarsono, 2001), kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut yang menonjol. Dalam Kamus Konseling Sudarsono, dikenal 3 (tiga) jenis kecemasan yang senantiasa ada dalam diri kita. Ketiga kecemasan itu adalah :
a. Kecemasan Alamiah (natural anxiety)
Kecemasan alamiah (natural anxiety) merupakan kekuatiran yang spesifik, relaistik, masuk akal, dan berperan membawa pertolongan. Ia berkaitan dengan ketidakpastian alamiah di tengah kehidupan, ketidakpastian tentang bagaimana sesuatu bakal terjadi. Ia juga merangkum konflik antara diri sendiri dengan dunia kehidupan.
b. Kecemasan Melumpuhkan (toxic anxiety)
Kecemasan melumpuhkan (toxic anxiety) merupakan kekuatiran bersifat kabur, non-realistik, tak masuk akal, repetitif namun tak efektif. Ia merangkum konflik diri sendiri dengan diri sendiri. Ia bersumber dari afeksi bawah sadar yaitu keinginan, pikiran dan memori yang disupresikan. Ia pula bisa bersumber dari kecemasan alamiah dan luhur yang ditekan dan tidak diekspresikan. Kecemasan ini dapat meracuni dan melumpuhkan diri kita sehingga ia di sebut kecemasan toksik.
c. Kecemasan Luhur (sacred anxiety)
Kecemasan luhur (sacred anxiety) merupakan keprihatinan-keprihatinan atau kegelisahan-kegelisahan akhirat tentang kematian dan makna serta tujuan kehidupan. Ia adalah hasil interaksi rasionalitas sadar, afeksi bawah sadar dan rahmat Tuhan. Ia lahir dari ketidaktahuan eksistensial yang direpresentasikan oleh pertanyaan seperti: apa makna dan tujuan kehidupan, apa nasibku setelah kematian dan apakah ada Tuhan. Kecemasan ini merangkum konflik diri sendiri terhadap kehidupan. Ia bersifat terus menerus tapi hanya sekali waktu hadir dalam kehidupan.
Menurut Ramlah (2003) kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Sedangkan kecemasan menurut (Stuart G, 2006) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan perasaan tidak pasti dan tidak berbahaya.
2. Etiologi
Karakteristik kecemasan berbeda dengan rasa takut. Ketakutan memiliki obyek yang jelas dimana seseorang dapat mengidentifikasikan dan menggambarkan obyek ketakutan. Ketakutan melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam sedangkan kecemasan merupakan penilaian emosional terhadap penilaian itu. Ketakutan diakibatkan oleh paparan fisik maupun psikologis terhadap situasi yang mengancam. Ketakutan menyebabkan kecemasan. Dua pengalaman emosi ini dibedakan dalam ucapan yaitu kita mengatakan memiliki rasa takut tetapi menjadi cemas. Inti permasalahan dalam suatu bentuk kecemasan adalah pada penjagaan diri. Kecemasan terjadi sebagai akibat adanya ancaman terhadap keberadaan diri (selfhood), self-esteem (harga diri), atau pada identitas diri, kecemasan dapat terjadi pada orang yang takut mendapatkan hukuman, celaan, penolakan cinta, gangguan hubungan, isolasi, atau kehilangan fungsi tubuh. (Stuart, 2006), rasa cemas disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Faktor biologis atau fisiologis, berupa ancaman akan kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan keamanan.
b. Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan orang/benda yang dicintai, perubahan status sosial/ekonomi.
c. Faktor perkembangan, yaitu ancaman pada perkembangan masa bayi, anak, remaja.
3. Gejala
Kecemasan disadari atau tidak selalu hadir dalam hidup ketika kita berinteraksi dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar kita. Gejala kecemasan dalam (Salam N, 2009) ditandai pada tiga aspek :
a. Aspek biologis atau fisiologis, seperti peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, tarikan nafas menjadi pendek dan cepat, berkeringat dingin, termasuk di telapak tangan, nafsu makan hilang, mual/ muntah, sering buang air kecil, nyeri kepala, tak bisa tidur, mengeluh, pembesaran pupil dan gangguan pencernaan.
b. Aspek intelektual atau kognitif; seperti ketidakmampuan berkonsentrasi, penurunan perhatian dan keinginan, tidak bereaksi terhadap rangsangan lingkungan, penurunan produktifitas, pelupa, orientasi lebih ke masa lampau daripada masa kini/masa depan.
c. Aspek emosional dan perilaku; seperti penarikan diri, depresi, mudah tersinggung, mudah menangis, mudah marah dan apatisme.
4. Tingkat Kecemasan
Respon kecemasan terjadi dalam sebuah rentang. Peplau membagi dalam empat tingkat yaitu ringan, moderat, berat, dan panik.
Tingkat Kecemasan yaitu :
a. Rasa cemas ringan: berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Keadaan ini akan meningkatkan persepsi individu, yang mengakibatkan orang akan berhati-hati atau waspada dan mendorong manusia untuk belajar serta kreatif.
b. Rasa cemas sedang: lapangan persepsi terhadap lingkungan menurun. Individu lebih memfokuskan hal yang penting saat itu saja dan mengesampingkan hal lainnya, dan dapat melakukan hal yang terarah
c. Rasa cemas berat: lapangan persepsi sangat menurun. Lapangan persepsi menurun, pemikiran pada hal yang spesifik dan terinci tidak untuk yang lain, tidak mampu berfikir realistis, butuh banyak pengarahan, dia sudah harus diberi pertolongan atau tuntunan.
d. Panik: lapangan persepsi sudah sangat sempit. Individu tidak dapat mengendalikan diri lagi. Bila manusia salah orientasi; ketika menghadapi masalah pelik; rasa dan periksa tidak berfungsi; Disebut orang sedang panik. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Seseorang mungkin menjadi pucat, tekanan darah menurun, hipotensi, koordinasi otot-otot lemah, nyeri, sensasi pendengaran minimal. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Suzanne, S.C, 2002).
Menurut Peplau kecemasan dapat dikomunikasikan secara interpersonal karena itu perawat harus memperhatikan dan sekaligus mengatasi kecemasan personal (Chitty,1997). Kesadaran diri juga penting untuk mencegah perawat larut dalam kecemasan klien (Salam N, 2009).
5. Alat Ukur Kecemasan
Derajat kecemasan dapat diukur dengan berbagai instrumen. Maramis M.E menyatakan ada tes-tes kecemasan dengan pertanyaan langsung, mendengarkan cerita penderita serta mengobservasinya terutama perilaku nonverbalnya. Ini sangat berguna dalam menentukan adanya kecemasan dan untuk menetapkan tingkatnya. Skala kecemasan dapat diukur dengan menggunakan Semantik Differensial Scale maupun Visual Analog dapat dilakukan (Burns & Groove, 1999). Instrumen lain yang dapat digunakan untuk mengukur skala kecemasan adalah Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yaitu mengukur aspek kognitif dan afektif yang meliputi (Hidayat A, 2007):
Cara penilaian :
Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali
Skor 1 : 1 dari gejala yang ada
Skor 2 : separuh dari gejala yang ada
Skor 3 : lebih dari separuh gejala yang ada
Skor 4 : Semua gejala ada
a. Perasaan cemas, ditandai dengan :
1) Cemas
2) Firasat buruk
3) Takut akan pikiran sendiri
4) Mudah tersinggung
b. Ketegangan yang ditandai oleh :
1) Merasa tegang
2) Lesu
3) Tidak dapat istirahat tenang
4) Mudah terkejut
5) Mudah menangis
6) Gemetar
7) Gelisah
c. Ketakutan ditandai oleh :
1) Ketakutan pada gelap
2) Ketakutan ditinggal sendiri
3) Ketakutan pada orang asing
4) Ketakutan pada binatang besar
5) Ketakutan pada keramaian lalu lintas
6) Ketakutan pada kerumunan orang banyak
d. Gangguan tidur ditandai oleh :
1) Sukar masuk tidur
2) Terbangun malam hari
3) Tidur tidak nyenyak
4) Bangun dengan lesu
5) Mimpi-mimpi
6) Mimpi buruk
7) Mimpi yang menakutkan
e. Gangguan kecerdasan ditandai oleh :
1) Sukar konsentrasi
2) Daya ingat buruk
3) Daya ingat menurun
f. Perasaan depresi ditandai oleh :
1) Kehilangan minat
2) Sedih
3) Bangun dini hari
4) Kurangnya kesenangan pada hobi
5) Perasaan berubah sepanjang hari
g. Gejala Somatik/Fisik (otot) ditandai oleh :
1) Nyeri pada otot
2) Kaku
3) Kedutan otot
4) Gigi gemeruntuk
5) Suara tidak stabil
h. Gejala Somatik/Fisik (sensorik) ditandai oleh :
1) Tinitus
2) Penglihatan kabur
3) Muka merah dan pucat
4) Merasa lemas
5) Perasaan ditusuk-tusuk
i. Gejala Kardiovaskuler (Jantung & pembuluh darah) ditandai oleh :
1) Takikardia (denyut hantung cepat)
2) Berdebar-debar
3) Nyeri dada
4) Denyut nadi mengeras
5) Rasa lemas seperti mau pingsan
6) Detak jantung hilang sekejap
j. Gejala Respiratori (pernafasan) ditandai oleh :
1) Rasa tertekan atau sempit di dada
2) Perasaan tercekik
3) Merasa nafas pendek/ sesak
4) Sering menarik nafas panjang
k. Gejala Gastrointestinal (pencernaan) ditandai oleh :
1) Sulit menelan
2) Perut melilit
3) Gangguan pencernaan
4) Nyeri lambung sebelum atau sesudah makan
5) Rasa panas di perut
6) Perut terasa kembung atau penuh
7) Muntah
8) Defekasi lembek (BAB lembek)
9) Konstipasi (sukar buang air besar)
10) Berat badan menurun
l. Gejala Urogenital ditandai oleh :
1) Sering kencing
2) Tidak dapat menahan kencing
3) Tidak datang bulan (tidak ada haid)
4) Darah haid berlebihan
5) Darah amat sedikit
6) Masa haid berkepanjangan
7) Masa haid amat pendek
8) Haid beberapa kali dalam sebulan
9) Frigiditas (menjadi dingin)
10) Ejakulasi dini
11) Ereksi melemah
12) Ereksi hilang
13) Impoten
m. Gejala Otonom ditandai oleh :
1) Mulut kering
2) Muka merah kering
3) Mudah berkeringat
4) Pusing, sakit kepala
5) Kepala terasa berat
6) Bulu - bulu berdiri
n. Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh :
1) Mulut kering
2) Muka merah
3) Mudah berkeringat
4) Kepala pusing
5) Kepala terasa berat
6) Kepala terasa sakit
7) Bulu-bulu berdiri
Penilaian hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor item 1 sampai dengan 14 dengan ketentuan sebagai berikut :
Keterangan :
Hasil penilaian skor
Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
14-20 = kecemasan ringan
21-27 = kecemasan sedang
28-41 = kecemasan berat
42-56 = kecemasan berat sekali (panik)
C. Tinjauan Umum tentang Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan adalah suatu tindakan medis yang bersifat invasif yang berguna untuk pengobatan penyakit dan menegakkan diagnostik, di mana untuk jenis tindakannya ada dua jenis yaitu secara elektif dan cito atau segera ( Levis, 2000). Pembedahan elektif merupakan kegiatan yang direncanakan secara hati-hati, terantisipasi dan dijadwalkan dengan jenis pembedahannya herniatomi, tonsilektomi, sirkumsisi, biopsy tumor, debridement, exisi. Pembedahan cito atau segera dilakukan karena alasan kedaruratan yang mengancam jiwa. Pembedahan cito antara lain appendiktomi, hidrocel, invaginasi, vena seksi dan lainnya (Suzanne, S.C, 2002).
Operasi atau pembedahan merupakan semua tindak pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah. Tindakan pembedahan atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala yang sering adalah nyeri (Sjamsuhidajat, 1998).
Pembedahan merupakan cabang dari ilmu medis yang ikut berperan terhadap kesembuhan dari luka atau penyakit melalui prosedur manual atau melalui operasi dengan tangan (Wane N, 2010).
Pembedahan merupakan terapi atau chikitsa yang paling baik, cepat dan berhasil untuk menanggulangi penyakit tertentu yang memerlukan pengangkatan atau menghilangkan bagian tubuh yang menyebabkan terjadinya penyakit ( Nala N, 2011).
Pembedahan adalah penyembuhan penyakit dengan jalan memotong, mengiris anggota tubuh yang sakit. Biasanya dilaksanakan dengan anestesi, dirawat inap dan jenis operasi yang dilaksanakan lebih serius daripada operasi kecil. Operasi ini beresiko pada ancaman jiwa. (Hasanuddin M, 2008).
V. KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti
Saat ini perkembangan terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial.
Pada penelitian ini, variabel yang diteliti adalah pegaruh doa-doa dan dzikir (terapi psikoreligius) terhadap tingkat kecemasan pasien yang secara rinci akan di uraikan dalam kerangka konsep.
B. Bagan Kerangka Konsep
Beradasarkan landasan teori yang telah diuraikan pada tinjauan kepustakaan, maka secara garis besar skema mengenai sistem keterkaitan antara konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :
Intervensi Terapi Psikoreligius
Kecemasan Kecemasan
Pre Intervensi Post Intervensi
O1 O²
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Terapi psikoreligius
Terapi psikoreligius dalam penelitian ini adalah pendekatan keagamaan melalui doa-doa, dzikir dan nasehat keagamaan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit.
Kriteria Objektif :
a. Mendapat terapi : Bila responden diberikan terapi psikoreligius dalam bentuk nasehat keagamaan, doa dan dzikir selama kurang lebih 15 menit.
b. Tidak mendapat terapi : Bila responden tidak diberikan terapi psikoreligius dalam bentuk nasehat keagamaan, doa dan dzikir selama kurang lebih 15 menit.
2. Tingkat Kecemasan Pasien
Tingkat kecemasan pasien dalam penelitian ini segala bentuk kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan pasien terhadap rencana tindakan pembedahan yang akan pasien tersebut jalani.
Kriteria Objektif :
a. Meningkat : Bila nilai kecemasan pasien setelah diberikan intervensi (terapi psikoreligius) dibandingkan sebelum pemberian intervensi, meningkat.
b. Menurun : Bila nilai kecemasan pasien setelah diberikan intervensi (terapi psikoreligius) dibandingkan sebelum pemberian intervensi, menurun.
D. Hipotesis Penelitian
a. Hipotesis Nol (Ho)
Tidak ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien pra operasi.
b. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien pra operasi.
VI. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka desain penelitian yang digunakan adalah pre experimental design dengan desain uji Pre-Post Test Design. Pre experimental design merupakan eksperimen yang paling mudah serta tidak untuk membuktikan kausalitas. Pre-post test design merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara memberikan pretest (pengamatan awal) terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian dilakukan posttest (pengamatan kedua) (Hidayat A, 2007).
B. Populasi Dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempumyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani pembedahan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagai jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi menurut Sastroasmoro dan Ismail dalam Nursalam (2003).
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani pembedahan dan memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi yang berada di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu cara pengambilan sampel untuk tujuan tertentu dengan cara yang tidak harus berkesinambungan.
Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan perhitungan maupun acuan tabel yang dikembangkan para ahli. Secara umum, untuk penelitian korelasional jumlah sampel adalah 30, sedangkan dalam penelitian eksperimen jumlah sampel minimum 15 dari masing-masing kelompok dan untuk penelitian survey jumlah sampel minimum adalah 100. Besaran atau jumlah sampel ini sampel sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti. Namun, dalam hal tingkat kesalahan, pada penelitian sosial maksimal tingkat kesalahannya adalah 5% (0,05). Makin besar tingkat kesalahan maka makin kecil jumlah sampel. Namun yang perlu diperhatikan adalah semakin besar jumlah sampel (semakin mendekati populasi) maka semakin kecil peluang kesalahan generalisasi dan sebaliknya, semakin kecil jumlah sampel (menjauhi jumlah populasi) maka semakin besar peluang kesalahan generalisasi (Teorionline, 2010).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti membatasi sampel yaitu sampai 30 sampel atau 30 orang pasien yang akan menjalani operasi sebagai sampel.
C. Waktu Dan Tempat
1. Waktu
Penelitian akan dilaksanakan selama 1 bulan sejak proposal penelitian ini selesai diseminarkan, yaitu bulan Mei 2011.
2. Tempat
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Karena penelitian ini membutuhkan jawaban yang sejujurnya dan memperoleh jawaban yang akurat, maka sampel dalam penelitian ini ditambah dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Pasien yang akan menjalani pembedahan 1 hari kemudian.
2) Beragama Islam
3) Pasien yang bersedia untuk diterapi dan diteliti
4) Dalam keadaan sadar, bisa membaca dan menulis.
5) Jenis operasi besar, antara lain laparatomi, prostatektomi, herniatomi, appendiktomi, tonsilektomi, biopsy tumor, debridement, exisi, hidrocel, invaginasi, vena seksi, fraktur, sectio, digestif, thoraks dan THT.
6) Umur 18 tahun ke atas
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Pasien yang tidak kooperatif.
2) Pasien yang menolak untuk melanjutkan penelitian.
3) Pasien yang bersedia untuk diterapi tetapi tidak bersedia untuk diteliti.
E. Cara Pengumpulan Data Dan Analisa Data
1. Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data atau informasi yang diinginkan, peneliti menggunakan alat ukur kuisioner skala kecemasan dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Peneliti akan bekerjasama dengan pihak rumah sakit yang berwewenang melakukan tugas terapi psikoreligius dengan cara pembacaan doa – doa dan juga dzikir kepada pasien yang akan menjalani operasi di ruang bedah dan juga di ruangan lainnya. Pertama – tama, peneliti akan mengukur tingkat kecemasan pasien menggunakan skala kecemasan dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien dan dilakukan 12 jam sebelum intervensi (pemberian terapi psikoreligius). Setelah wawancara, dilakukanlah intervensi kepada pasien pra operasi yaitu dengan memberikan terapi psikoreligius dengan doa-doa dan dzikir. Setelah dilakukan intervensi, 12 jam kemudian peneliti kembali mengukur tingkat kecemasan pasien menggunakan skala kecemasan juga dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Teknik wawancara langsung digunakan oleh peneliti karena dengan wawancara secara langsung maka akan terjadi kontak langsung dengan pasien. Peneliti akan mendapatkan kedekatan emosional dengan pasien dan juga agar pasien jujur mengakui dan memberikan data kecemasannya secara jujur dan terbuka.
2. Analisa Data
Terapi psikoreligius dikatakan berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi jika skala kecemasan pasien sebelum dilakukan intervensi dibandingkan dengan skala kecemasan pasien setelah dilakukan intervensi, menurun. Terapi psikoreligius dikatakan tidak berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi jika skala kecemasan pasien sebelum dilakukan intervensi dibandingkan dengan skala kecemasan pasien setelah dilakukan intervensi, tetap atau meningkat.
F. Langkah Pengolahan Data
Setelah data – data terkumpul, maka peneliti melakukan :
1. Editing
Proses editing (penyuntingan data) dilakukan dengan memeriksa setiap lembar kuisioner skala kecemasan yang didapatkan oleh peneliti setelah melakukan uji pre-post test dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik dengan pasien.
2. Pemberian kode
Pada tahap ini yang dilakukan adalah pemberian kode atau tanda dari tiap lembar kuisioner skala kecemasan yang telah didapatkan dari hasil wawancara peneliti dengan pasien pra operasi. Untuk mempermudah pemasukan data maka dibuat format koding, kemudian hasil koding di masukkan ke dalam tabel pengkodean. Setelah itu, data siap di masukkan kedalam komputer.
3. Tabulasi
Pada tahap ini, dilakukan pengelompokan data dalam suatu table sesuai dengan tujuan penelitian.
4. Statistik yang digunakan
a. Analisis deskriptif
b. Uji Independent Sample t-Test, merupakan suatu uji statistik parametrik dengan pendekatan skala interval, dengan derajat kemaknaan <0,05. Dalam melakukan analisa data menggunakan bantuan program SPSS.
G. Keterbatasan
Ada beberapa macam keterbatasan yang didapatkan oleh peneliti antara lain :
1. Insrumen penelitian
Pengumpulan data dengan menggunakan observasi dan kuisioner skala kecemasan memungkinkan kurang teliti terhadap pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti.
2. Faktor Feasibility
Keterbatasan waktu, sarana, dana, serta kemampuan peneliti sehingga mempengaruhi perumusan, penyusunan dan pengolahan data.
H. Masalah Etika
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Menurut (Hidayat A, 2007) masalah etika yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut :
1. Informed Consent ( Persetujuan)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien.
2. Anonimity (Tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
VII. PERSONALIA PENELITIAN
A. Pembimbing
1. Pembimbing I : Faisal Asdar, S.Kep., Ns., M.Kes., Sp.Pd.
2. Pembimbing II : M. Askar AS, S.Kep., Ns., M.Kes., Sp.B.
B. Pelaksana
Nama : Sudirman
NIM : NH0107176
I. JUDUL PENELITIAN
PENGARUH TERAPI PSIKORELIGIUS TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRA OPERASI DI RUANG BEDAH RS ISLAM FAISAL MAKASSAR.
II. RUANG LINGKUP PENELITIAN
KEPERAWATAN JIWA
III. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mendapatkan kesehatan mental yang prima, tidaklah mungkin terjadi begitu saja. Selain menyediakan lingkungan yang baik untuk pengembangan potensi, dari individu sendiri dituntut untuk melakukan berbagai usaha menggunakan berbagai kesempatan yang ada untuk mengembangkan dirinya. Individu perlu merefleksikan kembali penyebab dari berbagai perilakunya, mengevaluasi kembali kehidupan beragamanya, menggunakan berbagai sarana yang selama ini telah tersedia, yaitu berbagai macam teknik konseling dan psikoterapi, serta mengembangkan kebiasaan pribadi, dalam hal ini mencoba berlatih dan mendeskripsikan emosi yang dialami.
Secara teori, tidak ada batasan sejauh mana derajat kesehatan, baik mental maupun fisik dapat dicapai. Banyak yang sudah puas bila tidak ada gejala-gejala yang menunjukkan gangguan baik berupa gangguan kebutuhan, mental maupun spiritual. Ini menjadi kriteria kesehatan umum. Gerakan-gerakan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal inilah yang saat ini sedang muncul, tumbuh dan berkembang di mana-mana terutama di kota-kota besar di dunia. Ada banyak cara untuk mendapatkan derajat kesehatan yang memuaskan, sejalan dengan teraktualnya potensi-potensi dalam diri yang belum tergali.
Terapi merupakan salah satu cara untuk semakin mengenal dan menemukan keunikan diri. Sekarang ini terapi banyak digunakan bukan hanya bagi mereka yang merasa memiliki masalah, namun baik juga digunakan sebagai alat pemahaman dan pengenalan diri. Hasilnya mereka akan menemukan mutiara-mutiara lain dalam diri mereka yang selama ini mungkin tidak mereka sadari (Siswanto, 2007)
Di awal abad ke-20, ditandai dengan kemajuan yang pesat dalam ilmu kedokteran modern dengan adanya spesialisasi sebagai respon atas munculnya penyakit-penyakit baru yang mencemaskan. Namun persoalannya ternyata tidak berhenti dipenanganan medis belaka. Penyakit-penyakit psikis ternyata tidak sepenuhnya mampu ditanggulangi oleh bidang medis. Itulah antara lain yang menjadi alasan mengapa banyak orang sekarang ini yang mencari alternatif penyehatan dan penyembuhan terhadap terapi-terapi spiritual. Oleh karena itu, guna memperoleh kesehatan yang holistik, hendaknya kita harus memahami aspek-aspek jasmani, mental dan spiritual sehingga secara terpadu dapat mengetahui cara yang benar untuk menyeimbangkan dan mengobati setiap bidang tersebut. Prinsip keseimbangan ini yang diajarkan Tuhan kepada kita di setiap aspek kehidupan. Tanpa keseimbangan maka tidak akan pernah ada kehidupan yang tertib, aman dan sehat. Demikian juga hanya dengan tubuh manusia yang melakukan keseimbangan aktivitas bioelektrik dan biokimianya sendiri sehingga tetap hidup dan sehat dalam menjalankan aktivitasnya. Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat religius dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakitnyapun lebih cepat (Zainul Z, 2007).
Saat ini perkembangan terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial. World Health Organization (WHO) telah menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah satu dari 4 unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan sehat spiritual. Pendekatan baru ini telah diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat (The American Psychiatric Association atau APA, 1992) yang dikenal dengan pendekatan “bio-psyco-socio-spiritual” (Ilham A, 2008).
Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan lengkap dari kesejahteraan fisik, mental, sosial dan bukan semata-mata katiadaan penyakit atau kesakitan. Definisi kesehatan ini merupakan pemicu dan pemacu penelitian dan praktik di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi kesehatan mulai berkembang pesat sejak saat itu, jika dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kesehatan seseorang yang bertujuan untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang sesuai dengan pengertian WHO di atas (Hasan P, 2008).
Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika, ada sekelompok pasien yang selalu menunda-nunda operasi sehingga jadwal operasi yang sudah dibuat ditunda lagi, kecuali pada operasi yang darurat. Ada masalah apa dengannya? Padahal dalam pemeriksaan semua sudah bagus, tidak ada alasan untuk menunda operasi. Setelah diselidiki ternyata mereka mengalami ketakutan menghadapi operasi (Yosep I, 2009).
Lindenthal (1970) dan Star (1971) melakukan studi epidemiologi yang hasilnya menunjukkan bahwa penduduk yang religius resiko untuk mengalami stres jauh lebih kecil dari pada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-harinya. Clinebell (1981) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual (Basic Spiritual Needs). Kebutuhan dasar spiritual ini adalah kebutuhan kerohanian, keagamaan, dan ke-Tuhan-an yang kerena paham materialisme dan sekularisme menyebabkan kebutuhan dasar spiritual terlupakan tanpa disadari. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar spiritual maka daya tahan dan kekebalan seseorang dalam menghadapi stressor psikososial menjadi melemah, yang kemudian sebagian dari mereka melarikan diri kepada hal-hal yang negatif (Ilham A, 2008).
Saat ini di rumah sakit umum dianjurkan melaksanakan suatu program yang dinamakan Program Integrasi Kesehatan Jiwa. Tentu saja ini telah mulai dijalankan di sejumlah rumah sakit yang berdasarkan agama atau yang dikelola organisasi sosial keagamaan melalui pelaksanaan terapi agama. Di samping dokter yang mengobati, ada juga agamawan yang mendampingi, memberikan dan menuntun doa. Alangkah baiknya bila rohaniawan yang membimbing di rumah sakit juga mempunyai pengetahuan kesehatan atau dokter-dokter yang ada dapat pula memberikan tuntunan agama. Tujuannya agar pasien yang terbaring itu tidak merasa jenuh dan tidak berontak. Karena dalam keadaan berbaring pun ia bisa beribadah, berdzikir atau mengaji serta sholat dengan segala kemampuannya. Dengan demikian pasien tidak merasa ragu karena senantiasa dapat mendapat pahala. Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan agama akan merasa gelisah, ingin pulang, cemas, dan sebagainya, yang justru akan menurunkan respon imunitasnya.
Perasaan takut dioperasi timbul karena takut menghadapi kematian dan tidak bisa bangun lagi setelah dioperasi. Ada pula orang lain yang tidak bermasalah dalam menghadapi operasi, ternyata permasalahannya adalah komitmen agama. Pada kelompok yang lurus-lurus saja, yang komitmen agamanya kuat dan alur pemikiran sebagai berikut : kami percaya pada Tuhan, kami menjalani operasi dengan harapan sembuh, andai kata kami meninggal pun tetap saja harus menghadap Tuhan nantinya karena semua yang bernyawa pasti akan mati. Kami sudah siap mati karena kami sudah memohon dan berdoa (Yosep I, 2009).
Dalam mengembangkan psikologi kesehatan, para ilmuan kemudian melihat bahwa kaitan antara jiwa dan tubuh merupakan hal yang sebetulnya telah lama dikaji. Para filosofi dan tokoh agama, dengan berbagai latar belakang, telah sejak lama membahas hal ini, tak terkecuali ulama Islam. Banyak tokoh Islam yang terkenal yang telah mengembangkan hal ini, baik secara konsep maupun praktik, seperti Nabi Muhammad SAW, kemudian Al Razi (841-926 M), Ibnu Sina (980-1037 M), dan lain-lain. Pendekatan Islam telah lama sejak awal bahkan telah mencakup dimensi biologis, mental dan spiritual serta sosial (Hasan P, 2008).
Masyarakat Indonesia telah mengalami pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat indutri. Hal ini berakibat pergeseran pola kependudukan yang berdampak pada pergeseran pola penyakit. Pola hidup penduduk di kota-kota besar (urban) berbeda dengan di pedesaan (rural). Penduduk di kota-kota besar banyak yang menderita ketegangan jiwa (stres mental atau kecemasan) berubahnya kebiasaanya hidup seperti kurang gerak, berubahnya pola makan ke arah konsumsi tinggi lemak, kebiasaan merokok, minum alkohol dan lain sebagainya. Adanya pergeseran masyarakat ke industri dan ditambah pola hidup masyarakat urban telah mampu menciptakan dimensi baru penyakit, paling tidak dimensi psikoreligi. Pada dimensi psikoreligi, terjadinya penyakit dilihat dari sudut pandang gejolak emosi dan ketenangan beribadah. Dimensi psikoreligi memandang kepribadianlah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya penyakit (Ilham A, 2008).
Apabila faktor psikologi dapat teridentifikasi sebagai faktor pendukung pemunculan atau perburukan kondisi fisik, maka dapat digunakan diagnosis faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis. Sebuah penilaian dibuat tentang komponen emosional yang mempengaruhi kondisi kesehatan fisik seseorang. Sering kali faktor psikologis dapat mengganggu penatalaksanaan masalah medis dan dapat menambah resiko kesehatan klien. Faktor psikologis yang mempengaruhi masalah medis dapat didiagnosis sebagai gangguan mental. Ansietas dan depresi dapat memperburuk berbagai penyakit dan dapat memperpanjang periode penyembuhan. Sering kali, sifat kepribadian atau gaya koping tertentu dapat mengganggu kesehatan atau menimbulkan faktor resiko pada klien untuk terkena penakit tertentu seperti penyakit jantung. Respon fisiologis yang berhubungan dengan kecemasan dapat mencetuskan beberapa masalah seperti nyeri dada dan serangan asma. Pada beberapa klien, faktor-faktor psikologis yang tidak tergolongkan seperti pertimbagan budaya, pertimbangan agama, dapat mempengaruhi rangkaian atau hasil terapi. Para ilmuan telah mengikuti sejak lama bahwa orang berespon terhadap kecemasan baik pada tingkat fisiologis maupun psikologis. Riset selanjutnya menunjukkan bagaimana sistem imun berinteraksi dengan proses neurobiologis. Ketika seseorang mengalami kecemasan dan stres yang berkepanjangan, kadar epinefrin, norepinefrin dan kortisol meningkat. Pelepasan hormon stres yang terus-menerus dapat merusak mekanisme neurobiologis dan pola fisiologis normal yang memfasilitasi adaptasi tubuh. Sebagian besar klien yang memiliki faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis berada pada kondisi medikal-bedah karena mereka memeriksakan kesehatan yang berhubungan dengan kondisi fisiologis mereka. Ketika seseorang klien melaksanakan anjuran untuk terus mengikuti terapi, fokusnya ada pada bagaimana faktor-faktor psikologis seperti ansietas dan depresi mempengaruhi berbagai terapi atau hasilnya (Akemat, 2007).
Dari sejumlah penelitian para ahli, ternyata bisa disimpulkan bahwa komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang dipadukan dengan terapi kedokteran. Agama lebih bersifat protektif daripada problem producing. Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan clinical benefit. Kesimpulan umum adalah masyarakat dan bangsa kita merupakan bangsa yang religius, maka sepatutnyalah pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dapat diamalkan dalam dunia kesehatan, dengan catatan bukan untuk mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritualnya dalam menghadapi penyakit (Yosep I, 2009).
Menghadapi pembedahan adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan karena akan timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah keberadaan pencipta dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting sehingga pasien akan selalu membutuhkan bantuan religius atau spiritual (Alimul A, 2006).
Berdasarkan data rekam medik di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar periode Januari sampai dengan Desember 2010, data kegiatan atau tindakan pembedahan yang telah dilakukan adalah sebanyak 1127 kali tindakan. Data tersebut antara lain bedah umum atau tumor sebanyak 270 kali, bedah KB atau Sectio sebanyak 247 kali, bedah saraf sebanyak 27 kali, bedah THT sebanyak 8 kali, bedah urologi sebanyak 159 kali, bedah mata sebanyak 11 kali, bedah ortopedi sebanyak 208 kali, bedah gigi sebanyak 14 kali, bedah plastik sebanyak 8 kali, bedah thoraks sebanyak 24 kali, dan bedah digestif sebanyak 130 kali tindakan.
Sedangkan pada periode Januari sampai dengan Maret 2011, kegiatan atau tindakan pembedahan yang telah dilakukan sebanyak 312 kali tindakan. Data tersebut antara lain bedah umum atau tumor sebanyak 51 kali, bedah KB atau sectio sebanyak 66 kali, bedah saraf sebanyak 2 kali, bedah THT sebanyak 4 kali, bedah urologi sebanyak 60 kali, bedah mata sebanyak 2 kali, bedah ortopedi sebanyak 47 kali, bedah gigi sebanyak 3 kali, bedah thoraks sebanyak 12 kali dan bedah digestif sebanyak 65 kali.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang “Pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah apakah ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kecemasan pasien sebelum pemberian terapi psikoreligius pada masa pra bedah.
b. Untuk mengetahui kecemasan pasien setelah pemberian terapi psikoreligius pada masa pra bedah.
c. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah pemberian terapi psikoreligius.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan yang bermakna dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi.
2. Bagi Pendidikan
Sebagai sumbangan ilmiah dan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengaruh terapi psikoreligius terhadap pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi, serta dapat digunakan sebagai bahan pustaka atau bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi Keluarga
Sebagai bahan informasi, utamanya bagi keluarga tentang pentingnya terapi psikoreligius untuk mengurangi kecemasan pada pasien praoperasi.
4. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman yang berharga bagi peneliti untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta mengembangkan diri khususnya dalam bidang penelitian.
5. Bagi Profesi Keperawatan
Sebagai pengembangan ilmu khususnya dalam keperawatan jiwa, yang selanjutnya dapat meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya memasyarakatkan terapi psikoreligius kepada pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Terapi Psikoreligius
1. Defenisi
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan dalam praktek keperawatan khususnya keperawatan jiwa yang menggunakan pendekatan keagamaan antara lain doa-doa, dzikir, ceramah keagamaan, dan lain-lain untuk meningkatkan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa (Ilham A, 2008).
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan alternatif dengan cara pendekatan keagamaan melalui doa dan dzikir yang merupakan unsur penyembuh penyakit atau sebagai psikoterapeutik yang mendalam, bertujuan untuk membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang paling penting selain obat dan tindakan medis (Rozalino R, 2009).
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dalam dunia kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep I, 2009).
Yang dimaksud dengan terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan memakai upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan terapi keagamaan, religius, atau psikoreligius, yang berarti terapi dengan menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan, seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dan sebagainya. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya dan tidak selalu dengan agama formal masing-masing individu (Wicaksana I, 2008).
Pengertian terapi spiritual atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh seorang pemuka agama dengan cara memberikan pencerahan, kegiatan ini dilakukan minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan setiap hari untuk pasien. Terapi spiritual berbeda dengan berdoa, doa tersebut ditiupkan disebuah gelas berisi air minum kemudian meminta klien meminum air tersebut, meskipun sama - sama menggunakan sebuah perilaku dalam sebuah agama atau kepercayaan tetapi akan sangat berbeda dengan terapi spiritual (Rosyidi I, 2009).
2. Unsur-Unsur Psikoreligi
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius adalah sebagai berikut (Ilham A, 2008) :
a. Doa – doa
Dalam dimensi psikoreligius, doa berarti permohonan penyembuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Dzikir
Dzikir adalah mengingat Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, mengucapkan baik secara lisan maupun dalam hati segala kuasa-Nya.
Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham A, 2008)
3. Proses Keperawatan pada Terapi Psikoreligius
Adapun proses keperawatan dalam terapi psikoreligius (Ilham A, 2008) antara lain :
a. Pengkajian
Pada dasarnya informasi yang perlu digali secara umum adalah
1) Afiliasi Agama
a) Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau tidak aktif.
b) Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
2) Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi
a) Praktik kesehatan: diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara kegamaan.
b) Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap keyakinan.
c) Strategi koping.
3) Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi
a) Tujuan dan arti hidup
b) Tujuan dan arti kematian
c) Kesehatan dan pemeliharannnya
d) Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain
4) Pengkajian Data Subjektif
Pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh Stoll dalam Craven & Hirnle. Pengkajian mencakup 4 area, yaitu :
a) Konsep tentang Tuhan atau ke-Tuhan-an
b) Sumber harapan dan kekuatan
c) Praktik agama dan ritual
d) Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan
5) Pengkajian Data Objektif
Meliputi :
a) Pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal dan lingkungan
b) Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui observasi.
Pada umumnya karakteristik klien yang potensial mengalami distres spiritual adalah sebagai berikut :
a) Klien tampak kesepian dan sedikit pengunjung
b) Klien yang mengekspresikan rasa takut dan cemas
c) Klien yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem kepercayaan atau agama
d) Klien yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian
e) Klien yang akan dioperasi
f) Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau implikasi sosial dan agama
g) Mengubah gaya hidup
h) Preokupasi tentang hubungan agama dan kesehatan
i) Tidak dapat dikunjungi oleh pemuka agama
j) Tidak mampu atau menolak melakukan ritual spiritual
k) Memverbalisasikan bahwa penyakit yang dideritanya merupakan hukuman dari Tuhan
l) Mengekspresikan kemarahannya kepada Tuhan
m) Mempertanyakan rencana terapi karena bertentangan dengan keyakiann agama
n) Sedang menghadapi sakaratul maut (dying)
b. Diagnosa
Distres spiritual mungkin memengaruhi fungsi manusia lainnya. Berikut ini adalah diagnosis keperawatan, distres spiritual sebagai etiologi atau penyebab masalah lain :
1) Gangguan penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk merekonsiliasi penyakit dengan keyakinan spiritual.
2) Koping individual tidak efektif yang berhubungan dengan kehilangan agama sebagai dukungan utama (merasa ditinggalkan oleh Tuhan).
3) Takut yang berhubungan belum siap untuk menghadapi kematian dan pengalaman kehidupan setelah kematian.
4) Berduka yang disfungsional : keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa agama tidak mempunyai arti.
5) Keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang peduli termasuk Tuhan .
6) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan perasaan menjadi korban.
7) Gangguan harga diri yang berhubungan dengan kegagalan untuk hidup sesuai dengan ajaran agama.
8) Disfungsi seksual yang berhubungan dengan konflik nilai.
9) Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan distres spiritual.
10) Risiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan dengan perasaan bahwa hidup ini tidak berarti.
c. Perencanaan
1) Mengidentifikasi keyakinan spiritual yang memenuhi kebutuhan untuk memperoleh arti dan tujuan, mencintai dan keterikatan serta pengampunan
2) Menggunakan kekuatan, keyakinan, harapan dan rasa nyaman ketika menghadapi tantangan berupa penyakit, cedera atau krisis kehidupan lain.
3) Mengembangkan praktek spiritual yang memupuk komunikasi dengan diri sendiri, dengan Tuhan dan dengan dunia luar.
4) Kepuasan dengan keharmonisan antara keyakinan spiritual dengan kehidupan sehari-hari
d. Implementasi
1) Periksa keyakinan spiritual pribadi perawat
2) Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spiritualnya.
3) Jangan mengasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual.
4) Mengetahui pesan nonverbal tentang kebutuhan spiritual.
5) Beri respon secara singkat, spesifik dan faktual.
6) Mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah klien.
7) Menerapkan teknik komunikasi terapeutik dengan teknik mendukung, menerima, bertanya, memberi informasi, refleksi, menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki klien.
8) Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal klien.
9) Bersikap empati yang berarti memahami perasaan klien.
10) Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak tentu menyetujui klien.
11) Menentukan arti dari situasi klien bagaimana klien berespon terhadap penyakit
12) Apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan hukuman, cobaan, atau anugerah dari Tuhan
13) Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agama
14) Memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit
e. Evaluasi
1) Mampu beristirahat dengan tenang
2) Menyatakan penerimaan keputusan moral atau etika
3) Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan
4) Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama
5) Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas
6) Menunjukkan perilaku lebih positif
7) Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.
B. Tinjauan Umum tentang Kecemasan
1. Defenisi
Kecemasan (anxiety) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai kekuatiran, kegelisahan, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi. Itu juga berarti suatu perasaan takut, kuatir bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan (Salam N, 2009).
Dalam Kamus Konseling (Sudarsono, 2001), kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut yang menonjol. Dalam Kamus Konseling Sudarsono, dikenal 3 (tiga) jenis kecemasan yang senantiasa ada dalam diri kita. Ketiga kecemasan itu adalah :
a. Kecemasan Alamiah (natural anxiety)
Kecemasan alamiah (natural anxiety) merupakan kekuatiran yang spesifik, relaistik, masuk akal, dan berperan membawa pertolongan. Ia berkaitan dengan ketidakpastian alamiah di tengah kehidupan, ketidakpastian tentang bagaimana sesuatu bakal terjadi. Ia juga merangkum konflik antara diri sendiri dengan dunia kehidupan.
b. Kecemasan Melumpuhkan (toxic anxiety)
Kecemasan melumpuhkan (toxic anxiety) merupakan kekuatiran bersifat kabur, non-realistik, tak masuk akal, repetitif namun tak efektif. Ia merangkum konflik diri sendiri dengan diri sendiri. Ia bersumber dari afeksi bawah sadar yaitu keinginan, pikiran dan memori yang disupresikan. Ia pula bisa bersumber dari kecemasan alamiah dan luhur yang ditekan dan tidak diekspresikan. Kecemasan ini dapat meracuni dan melumpuhkan diri kita sehingga ia di sebut kecemasan toksik.
c. Kecemasan Luhur (sacred anxiety)
Kecemasan luhur (sacred anxiety) merupakan keprihatinan-keprihatinan atau kegelisahan-kegelisahan akhirat tentang kematian dan makna serta tujuan kehidupan. Ia adalah hasil interaksi rasionalitas sadar, afeksi bawah sadar dan rahmat Tuhan. Ia lahir dari ketidaktahuan eksistensial yang direpresentasikan oleh pertanyaan seperti: apa makna dan tujuan kehidupan, apa nasibku setelah kematian dan apakah ada Tuhan. Kecemasan ini merangkum konflik diri sendiri terhadap kehidupan. Ia bersifat terus menerus tapi hanya sekali waktu hadir dalam kehidupan.
Menurut Ramlah (2003) kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Sedangkan kecemasan menurut (Stuart G, 2006) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan perasaan tidak pasti dan tidak berbahaya.
2. Etiologi
Karakteristik kecemasan berbeda dengan rasa takut. Ketakutan memiliki obyek yang jelas dimana seseorang dapat mengidentifikasikan dan menggambarkan obyek ketakutan. Ketakutan melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam sedangkan kecemasan merupakan penilaian emosional terhadap penilaian itu. Ketakutan diakibatkan oleh paparan fisik maupun psikologis terhadap situasi yang mengancam. Ketakutan menyebabkan kecemasan. Dua pengalaman emosi ini dibedakan dalam ucapan yaitu kita mengatakan memiliki rasa takut tetapi menjadi cemas. Inti permasalahan dalam suatu bentuk kecemasan adalah pada penjagaan diri. Kecemasan terjadi sebagai akibat adanya ancaman terhadap keberadaan diri (selfhood), self-esteem (harga diri), atau pada identitas diri, kecemasan dapat terjadi pada orang yang takut mendapatkan hukuman, celaan, penolakan cinta, gangguan hubungan, isolasi, atau kehilangan fungsi tubuh. (Stuart, 2006), rasa cemas disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Faktor biologis atau fisiologis, berupa ancaman akan kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan keamanan.
b. Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan orang/benda yang dicintai, perubahan status sosial/ekonomi.
c. Faktor perkembangan, yaitu ancaman pada perkembangan masa bayi, anak, remaja.
3. Gejala
Kecemasan disadari atau tidak selalu hadir dalam hidup ketika kita berinteraksi dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar kita. Gejala kecemasan dalam (Salam N, 2009) ditandai pada tiga aspek :
a. Aspek biologis atau fisiologis, seperti peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, tarikan nafas menjadi pendek dan cepat, berkeringat dingin, termasuk di telapak tangan, nafsu makan hilang, mual/ muntah, sering buang air kecil, nyeri kepala, tak bisa tidur, mengeluh, pembesaran pupil dan gangguan pencernaan.
b. Aspek intelektual atau kognitif; seperti ketidakmampuan berkonsentrasi, penurunan perhatian dan keinginan, tidak bereaksi terhadap rangsangan lingkungan, penurunan produktifitas, pelupa, orientasi lebih ke masa lampau daripada masa kini/masa depan.
c. Aspek emosional dan perilaku; seperti penarikan diri, depresi, mudah tersinggung, mudah menangis, mudah marah dan apatisme.
4. Tingkat Kecemasan
Respon kecemasan terjadi dalam sebuah rentang. Peplau membagi dalam empat tingkat yaitu ringan, moderat, berat, dan panik.
Tingkat Kecemasan yaitu :
a. Rasa cemas ringan: berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Keadaan ini akan meningkatkan persepsi individu, yang mengakibatkan orang akan berhati-hati atau waspada dan mendorong manusia untuk belajar serta kreatif.
b. Rasa cemas sedang: lapangan persepsi terhadap lingkungan menurun. Individu lebih memfokuskan hal yang penting saat itu saja dan mengesampingkan hal lainnya, dan dapat melakukan hal yang terarah
c. Rasa cemas berat: lapangan persepsi sangat menurun. Lapangan persepsi menurun, pemikiran pada hal yang spesifik dan terinci tidak untuk yang lain, tidak mampu berfikir realistis, butuh banyak pengarahan, dia sudah harus diberi pertolongan atau tuntunan.
d. Panik: lapangan persepsi sudah sangat sempit. Individu tidak dapat mengendalikan diri lagi. Bila manusia salah orientasi; ketika menghadapi masalah pelik; rasa dan periksa tidak berfungsi; Disebut orang sedang panik. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Seseorang mungkin menjadi pucat, tekanan darah menurun, hipotensi, koordinasi otot-otot lemah, nyeri, sensasi pendengaran minimal. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Suzanne, S.C, 2002).
Menurut Peplau kecemasan dapat dikomunikasikan secara interpersonal karena itu perawat harus memperhatikan dan sekaligus mengatasi kecemasan personal (Chitty,1997). Kesadaran diri juga penting untuk mencegah perawat larut dalam kecemasan klien (Salam N, 2009).
5. Alat Ukur Kecemasan
Derajat kecemasan dapat diukur dengan berbagai instrumen. Maramis M.E menyatakan ada tes-tes kecemasan dengan pertanyaan langsung, mendengarkan cerita penderita serta mengobservasinya terutama perilaku nonverbalnya. Ini sangat berguna dalam menentukan adanya kecemasan dan untuk menetapkan tingkatnya. Skala kecemasan dapat diukur dengan menggunakan Semantik Differensial Scale maupun Visual Analog dapat dilakukan (Burns & Groove, 1999). Instrumen lain yang dapat digunakan untuk mengukur skala kecemasan adalah Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yaitu mengukur aspek kognitif dan afektif yang meliputi (Hidayat A, 2007):
Cara penilaian :
Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali
Skor 1 : 1 dari gejala yang ada
Skor 2 : separuh dari gejala yang ada
Skor 3 : lebih dari separuh gejala yang ada
Skor 4 : Semua gejala ada
a. Perasaan cemas, ditandai dengan :
1) Cemas
2) Firasat buruk
3) Takut akan pikiran sendiri
4) Mudah tersinggung
b. Ketegangan yang ditandai oleh :
1) Merasa tegang
2) Lesu
3) Tidak dapat istirahat tenang
4) Mudah terkejut
5) Mudah menangis
6) Gemetar
7) Gelisah
c. Ketakutan ditandai oleh :
1) Ketakutan pada gelap
2) Ketakutan ditinggal sendiri
3) Ketakutan pada orang asing
4) Ketakutan pada binatang besar
5) Ketakutan pada keramaian lalu lintas
6) Ketakutan pada kerumunan orang banyak
d. Gangguan tidur ditandai oleh :
1) Sukar masuk tidur
2) Terbangun malam hari
3) Tidur tidak nyenyak
4) Bangun dengan lesu
5) Mimpi-mimpi
6) Mimpi buruk
7) Mimpi yang menakutkan
e. Gangguan kecerdasan ditandai oleh :
1) Sukar konsentrasi
2) Daya ingat buruk
3) Daya ingat menurun
f. Perasaan depresi ditandai oleh :
1) Kehilangan minat
2) Sedih
3) Bangun dini hari
4) Kurangnya kesenangan pada hobi
5) Perasaan berubah sepanjang hari
g. Gejala Somatik/Fisik (otot) ditandai oleh :
1) Nyeri pada otot
2) Kaku
3) Kedutan otot
4) Gigi gemeruntuk
5) Suara tidak stabil
h. Gejala Somatik/Fisik (sensorik) ditandai oleh :
1) Tinitus
2) Penglihatan kabur
3) Muka merah dan pucat
4) Merasa lemas
5) Perasaan ditusuk-tusuk
i. Gejala Kardiovaskuler (Jantung & pembuluh darah) ditandai oleh :
1) Takikardia (denyut hantung cepat)
2) Berdebar-debar
3) Nyeri dada
4) Denyut nadi mengeras
5) Rasa lemas seperti mau pingsan
6) Detak jantung hilang sekejap
j. Gejala Respiratori (pernafasan) ditandai oleh :
1) Rasa tertekan atau sempit di dada
2) Perasaan tercekik
3) Merasa nafas pendek/ sesak
4) Sering menarik nafas panjang
k. Gejala Gastrointestinal (pencernaan) ditandai oleh :
1) Sulit menelan
2) Perut melilit
3) Gangguan pencernaan
4) Nyeri lambung sebelum atau sesudah makan
5) Rasa panas di perut
6) Perut terasa kembung atau penuh
7) Muntah
8) Defekasi lembek (BAB lembek)
9) Konstipasi (sukar buang air besar)
10) Berat badan menurun
l. Gejala Urogenital ditandai oleh :
1) Sering kencing
2) Tidak dapat menahan kencing
3) Tidak datang bulan (tidak ada haid)
4) Darah haid berlebihan
5) Darah amat sedikit
6) Masa haid berkepanjangan
7) Masa haid amat pendek
8) Haid beberapa kali dalam sebulan
9) Frigiditas (menjadi dingin)
10) Ejakulasi dini
11) Ereksi melemah
12) Ereksi hilang
13) Impoten
m. Gejala Otonom ditandai oleh :
1) Mulut kering
2) Muka merah kering
3) Mudah berkeringat
4) Pusing, sakit kepala
5) Kepala terasa berat
6) Bulu - bulu berdiri
n. Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh :
1) Mulut kering
2) Muka merah
3) Mudah berkeringat
4) Kepala pusing
5) Kepala terasa berat
6) Kepala terasa sakit
7) Bulu-bulu berdiri
Penilaian hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor item 1 sampai dengan 14 dengan ketentuan sebagai berikut :
Keterangan :
Hasil penilaian skor
Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
14-20 = kecemasan ringan
21-27 = kecemasan sedang
28-41 = kecemasan berat
42-56 = kecemasan berat sekali (panik)
C. Tinjauan Umum tentang Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan adalah suatu tindakan medis yang bersifat invasif yang berguna untuk pengobatan penyakit dan menegakkan diagnostik, di mana untuk jenis tindakannya ada dua jenis yaitu secara elektif dan cito atau segera ( Levis, 2000). Pembedahan elektif merupakan kegiatan yang direncanakan secara hati-hati, terantisipasi dan dijadwalkan dengan jenis pembedahannya herniatomi, tonsilektomi, sirkumsisi, biopsy tumor, debridement, exisi. Pembedahan cito atau segera dilakukan karena alasan kedaruratan yang mengancam jiwa. Pembedahan cito antara lain appendiktomi, hidrocel, invaginasi, vena seksi dan lainnya (Suzanne, S.C, 2002).
Operasi atau pembedahan merupakan semua tindak pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah. Tindakan pembedahan atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala yang sering adalah nyeri (Sjamsuhidajat, 1998).
Pembedahan merupakan cabang dari ilmu medis yang ikut berperan terhadap kesembuhan dari luka atau penyakit melalui prosedur manual atau melalui operasi dengan tangan (Wane N, 2010).
Pembedahan merupakan terapi atau chikitsa yang paling baik, cepat dan berhasil untuk menanggulangi penyakit tertentu yang memerlukan pengangkatan atau menghilangkan bagian tubuh yang menyebabkan terjadinya penyakit ( Nala N, 2011).
Pembedahan adalah penyembuhan penyakit dengan jalan memotong, mengiris anggota tubuh yang sakit. Biasanya dilaksanakan dengan anestesi, dirawat inap dan jenis operasi yang dilaksanakan lebih serius daripada operasi kecil. Operasi ini beresiko pada ancaman jiwa. (Hasanuddin M, 2008).
V. KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti
Saat ini perkembangan terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial.
Pada penelitian ini, variabel yang diteliti adalah pegaruh doa-doa dan dzikir (terapi psikoreligius) terhadap tingkat kecemasan pasien yang secara rinci akan di uraikan dalam kerangka konsep.
B. Bagan Kerangka Konsep
Beradasarkan landasan teori yang telah diuraikan pada tinjauan kepustakaan, maka secara garis besar skema mengenai sistem keterkaitan antara konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :
Intervensi Terapi Psikoreligius
Kecemasan Kecemasan
Pre Intervensi Post Intervensi
O1 O²
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Terapi psikoreligius
Terapi psikoreligius dalam penelitian ini adalah pendekatan keagamaan melalui doa-doa, dzikir dan nasehat keagamaan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit.
Kriteria Objektif :
a. Mendapat terapi : Bila responden diberikan terapi psikoreligius dalam bentuk nasehat keagamaan, doa dan dzikir selama kurang lebih 15 menit.
b. Tidak mendapat terapi : Bila responden tidak diberikan terapi psikoreligius dalam bentuk nasehat keagamaan, doa dan dzikir selama kurang lebih 15 menit.
2. Tingkat Kecemasan Pasien
Tingkat kecemasan pasien dalam penelitian ini segala bentuk kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan pasien terhadap rencana tindakan pembedahan yang akan pasien tersebut jalani.
Kriteria Objektif :
a. Meningkat : Bila nilai kecemasan pasien setelah diberikan intervensi (terapi psikoreligius) dibandingkan sebelum pemberian intervensi, meningkat.
b. Menurun : Bila nilai kecemasan pasien setelah diberikan intervensi (terapi psikoreligius) dibandingkan sebelum pemberian intervensi, menurun.
D. Hipotesis Penelitian
a. Hipotesis Nol (Ho)
Tidak ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien pra operasi.
b. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien pra operasi.
VI. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka desain penelitian yang digunakan adalah pre experimental design dengan desain uji Pre-Post Test Design. Pre experimental design merupakan eksperimen yang paling mudah serta tidak untuk membuktikan kausalitas. Pre-post test design merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara memberikan pretest (pengamatan awal) terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian dilakukan posttest (pengamatan kedua) (Hidayat A, 2007).
B. Populasi Dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempumyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani pembedahan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagai jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi menurut Sastroasmoro dan Ismail dalam Nursalam (2003).
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani pembedahan dan memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi yang berada di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu cara pengambilan sampel untuk tujuan tertentu dengan cara yang tidak harus berkesinambungan.
Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan perhitungan maupun acuan tabel yang dikembangkan para ahli. Secara umum, untuk penelitian korelasional jumlah sampel adalah 30, sedangkan dalam penelitian eksperimen jumlah sampel minimum 15 dari masing-masing kelompok dan untuk penelitian survey jumlah sampel minimum adalah 100. Besaran atau jumlah sampel ini sampel sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti. Namun, dalam hal tingkat kesalahan, pada penelitian sosial maksimal tingkat kesalahannya adalah 5% (0,05). Makin besar tingkat kesalahan maka makin kecil jumlah sampel. Namun yang perlu diperhatikan adalah semakin besar jumlah sampel (semakin mendekati populasi) maka semakin kecil peluang kesalahan generalisasi dan sebaliknya, semakin kecil jumlah sampel (menjauhi jumlah populasi) maka semakin besar peluang kesalahan generalisasi (Teorionline, 2010).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti membatasi sampel yaitu sampai 30 sampel atau 30 orang pasien yang akan menjalani operasi sebagai sampel.
C. Waktu Dan Tempat
1. Waktu
Penelitian akan dilaksanakan selama 1 bulan sejak proposal penelitian ini selesai diseminarkan, yaitu bulan Mei 2011.
2. Tempat
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Karena penelitian ini membutuhkan jawaban yang sejujurnya dan memperoleh jawaban yang akurat, maka sampel dalam penelitian ini ditambah dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Pasien yang akan menjalani pembedahan 1 hari kemudian.
2) Beragama Islam
3) Pasien yang bersedia untuk diterapi dan diteliti
4) Dalam keadaan sadar, bisa membaca dan menulis.
5) Jenis operasi besar, antara lain laparatomi, prostatektomi, herniatomi, appendiktomi, tonsilektomi, biopsy tumor, debridement, exisi, hidrocel, invaginasi, vena seksi, fraktur, sectio, digestif, thoraks dan THT.
6) Umur 18 tahun ke atas
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Pasien yang tidak kooperatif.
2) Pasien yang menolak untuk melanjutkan penelitian.
3) Pasien yang bersedia untuk diterapi tetapi tidak bersedia untuk diteliti.
E. Cara Pengumpulan Data Dan Analisa Data
1. Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data atau informasi yang diinginkan, peneliti menggunakan alat ukur kuisioner skala kecemasan dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Peneliti akan bekerjasama dengan pihak rumah sakit yang berwewenang melakukan tugas terapi psikoreligius dengan cara pembacaan doa – doa dan juga dzikir kepada pasien yang akan menjalani operasi di ruang bedah dan juga di ruangan lainnya. Pertama – tama, peneliti akan mengukur tingkat kecemasan pasien menggunakan skala kecemasan dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien dan dilakukan 12 jam sebelum intervensi (pemberian terapi psikoreligius). Setelah wawancara, dilakukanlah intervensi kepada pasien pra operasi yaitu dengan memberikan terapi psikoreligius dengan doa-doa dan dzikir. Setelah dilakukan intervensi, 12 jam kemudian peneliti kembali mengukur tingkat kecemasan pasien menggunakan skala kecemasan juga dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Teknik wawancara langsung digunakan oleh peneliti karena dengan wawancara secara langsung maka akan terjadi kontak langsung dengan pasien. Peneliti akan mendapatkan kedekatan emosional dengan pasien dan juga agar pasien jujur mengakui dan memberikan data kecemasannya secara jujur dan terbuka.
2. Analisa Data
Terapi psikoreligius dikatakan berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi jika skala kecemasan pasien sebelum dilakukan intervensi dibandingkan dengan skala kecemasan pasien setelah dilakukan intervensi, menurun. Terapi psikoreligius dikatakan tidak berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi jika skala kecemasan pasien sebelum dilakukan intervensi dibandingkan dengan skala kecemasan pasien setelah dilakukan intervensi, tetap atau meningkat.
F. Langkah Pengolahan Data
Setelah data – data terkumpul, maka peneliti melakukan :
1. Editing
Proses editing (penyuntingan data) dilakukan dengan memeriksa setiap lembar kuisioner skala kecemasan yang didapatkan oleh peneliti setelah melakukan uji pre-post test dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik dengan pasien.
2. Pemberian kode
Pada tahap ini yang dilakukan adalah pemberian kode atau tanda dari tiap lembar kuisioner skala kecemasan yang telah didapatkan dari hasil wawancara peneliti dengan pasien pra operasi. Untuk mempermudah pemasukan data maka dibuat format koding, kemudian hasil koding di masukkan ke dalam tabel pengkodean. Setelah itu, data siap di masukkan kedalam komputer.
3. Tabulasi
Pada tahap ini, dilakukan pengelompokan data dalam suatu table sesuai dengan tujuan penelitian.
4. Statistik yang digunakan
a. Analisis deskriptif
b. Uji Independent Sample t-Test, merupakan suatu uji statistik parametrik dengan pendekatan skala interval, dengan derajat kemaknaan <0,05. Dalam melakukan analisa data menggunakan bantuan program SPSS.
G. Keterbatasan
Ada beberapa macam keterbatasan yang didapatkan oleh peneliti antara lain :
1. Insrumen penelitian
Pengumpulan data dengan menggunakan observasi dan kuisioner skala kecemasan memungkinkan kurang teliti terhadap pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti.
2. Faktor Feasibility
Keterbatasan waktu, sarana, dana, serta kemampuan peneliti sehingga mempengaruhi perumusan, penyusunan dan pengolahan data.
H. Masalah Etika
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Menurut (Hidayat A, 2007) masalah etika yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut :
1. Informed Consent ( Persetujuan)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien.
2. Anonimity (Tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
VII. PERSONALIA PENELITIAN
A. Pembimbing
1. Pembimbing I : Faisal Asdar, S.Kep., Ns., M.Kes., Sp.Pd.
2. Pembimbing II : M. Askar AS, S.Kep., Ns., M.Kes., Sp.B.
B. Pelaksana
Nama : Sudirman
NIM : NH0107176
Label: emergency case
proposal penelitian jiwa
Proposal TAK: Halusinasi
Proposal TAK: Halusinasi
THERAPY AKTIVITAS KELOMPOK
STIMULASI PERSEPSI: HALUSINASI
1. Latar Belakang
Pada pasien gangguan jiwa dengan kasus Schizoprenia selalu diikuti dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi. Terjadinya halusinasi dapat menyebabkan klien menjadi menarik diri terhadap lingkungan sosialnya, hanyut dengan kesendirian dan halusinasinya sehingga semakin jauh dari sosialisasi dengan lingkungan disekitarnya.
Atas dasar tersebut, maka kami menganggap dengan Therapy Aktivitas Kelompok (TAK) klien dengan gangguan persepsi sensori dapat tertolong dalam hal sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, tentu saja klien yang mengikuti therapy ini adalah klien yang sudah mampu mengontrol dirinya dari halusinasi sehingga pada saat TAK klien dapat bekerjasama dan tidak mengganggu anggota kelompok yang lain.
2. Pengertian/ Landasan Theory
a. Defenisi Halusinasi
Halusinasi adalah satu persepsi yang salah oleh panca indera tanpa adanya rangsang (stimulus) eksternal (Cook & Fontain, Essentials of Mental
Health Nursing, 1987).
b. Klasifikasi Halusinasi
Pada klien dengan gangguan jiwa ada beberapa jenis halusinasi dengan karakteristik tertentu, diantaranya :
1) Halusinasi pendengaran
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2) Halusinasi penglihatan
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan/atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3) Halusinasi penghidu
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang–kadang terhirup bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
4) Halusinasi peraba
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5) Halusinasi pengecap
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.
6) Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
c. Tahapan Halusinasi, Karakteristik Dan Perilaku Yang Ditampilkan
TAHAP KARAKTERISTIK PERILAKU KLIEN
Tahap I
Memberi rasa nyaman tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
Fikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontol kesadaran, nonpsikotik. Tersenyum, tertawa sendiri
Menggerakkan bibir tanpa suara
Pergerakkan mata yang cepat
Respon verbal yang lambat
Diam dan berkonsentrasi
Tahap II
Menyalahkan
Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati Pengalaman sensori menakutkan
Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
Mulai merasa kehilangan kontrol
Menarik diri dari orang lain non psikotik. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
Perhatian dengan lingkungan berkurang
Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas
Tahap III
Mengontrol
Tingkat kecemasan berat
Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi).
Isi halusinasi menjadi atraktif.
Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik.
Perintah halusinasi ditaati.
Sulit berhubungan dengan orang lain.
Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik.
Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat
Tahap IV
Klien sudah dikuasai oleh Halusinasi.
Klien panik.
Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik. Perilaku panik.
Resiko tinggi mencederai.
Agitasi atau kataton.
Tidak mampu berespon terhadap lingkungan.
d. Hubungan Schizoprenia dengan Halusinasi
Halusinasi pendengaran merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi pada klien dengan gangguan jiwa (schizoprenia). Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara–suara bising atau mendengung. Tetapi paling sering berupa kata–kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respons tertentu seperti: bicara sendiri, bertengkar atau respons lain yang membahayakan.
Bisa juga klien bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan penuh perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati. Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor dari gangguan schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa mania depresif dan syndroma otak organik.
Gangguan persepsi yang utama pada skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh kecemasan, halusinasi menghasilkan tingkah laku yang tertentu, gangguan harga diri, kritis diri, atau mengingkari rangsangan terhadap kenyataan.
Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada skizoprenia, suara – suara biasanya berasal dari Tuhan, setan, tiruan atau relatif. Halusinasi ini menghasilkan tindakan/perilaku pada klien seperti yang telah diuraikan tersebut di atas (tingkat halusinasi, karakteristik dan perilaku yang dapat diamati).
3. Metode Therapy Aktifitas Kelompok
Metode yang digunakan pada therapy aktifitas kelompok (TAK) ini adalah metode:
1. Diskusi dan tanya jawab.
2. Melengkapi jadwal harian.
Kegiatan TAK menggunakan sistem Sesi yang dibagi menjadi lima sesi, setiap sesi memiliki tujuan khusus yang berbeda. Pada TAK kali ini adalah melanjutkan kegiatan TAK sebelumnya, kali ini adalah TAK untuk sesi kelima yaitu tentang program pengobatan.
4. Tujuan Therapy Aktivitas Kelompok
a. Tujuan Umum
1. Klien mampu mengenali halusinasi yang dialaminya.
2. Klien mampu mengontrol halusinasinya.
3. Klien mengikuti program pengobatan secara optimal.
b. Tujuan Khusus (Tujuan Sesi 5: Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat)
1. Klien memahami pentingnya patuh minum obat.
2. Klien memahami akibat tidak patuh minum obat.
3. Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.
5. Kriteria Anggota
Klien sebagai anggota yang mengikuti therapy aktifitas kelompok ini adalah:
a. Klien dengan riwayat schizoprenia dengan disertai gangguan persepsi sensori; halusinasi.
b. Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif atau mengamuk, dalam keadaan tenang.
c. Klien dapat diajak kerjasama (cooperative).
6. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Therapy Aktifitas Kelompok ini dilaksanakan pada:
Hari, Tanggal : Kamis, 26 Februari 2009.
Waktu : Pukul 13.15 WIB s.d selesai
Tempat : Ruang Bougenvile RSJ Prov. Jabar.
7. Nama Klien dan Ruangan
Klien yang mengikuti kegiatan berjumlah 5 orang, sedangkan sisanya sebagai cadangan jika klien yang ditunjuk berhalangan.
Adapun nama-nama klien yang akan mengikuti TAK serta pasien sebagai cadangan yaitu:
Klien peserta TAK:
a. Tn. Hendra
b. Tn. Fran
c. Tn. Iyang
d. Tn. Akmaludin
e. Tn. Ade Sunarta
Klien peserta TAK cadangan:
a. Ny. Entin
b. Ny. Neng
8. Media dan Alat
TAK kali ini tidak menggunakan alat atau media yang spesifik, penggunaan alat hanya yang ada diruangan saja seperti:
a. Spidol dan whiteboard / papan tulis.
b. Jadwal kegiatan harian (jika ada yang dibuat saat TAK sebelumnya).
c. Beberapa contoh obat.
d. Tape recorder untuk game jika ada.
9. Susunan Pelaksana
Yang bertugas dalam TAK kali ini disesuaikan dengan petugas setiap Sesi yang telah disepakati. Sebagai berikut:
a. Leader : Anton Purkon Patoni
b. Co. Leader : Rendra Gustiawan
c. Fasilitator 1 : Adrian Fauzirakhman
d. Fasilitator 2 : Susi Susanti
e. Fasilitator 3 : Siti Nurhayati
f. Fasilitator 4 : Sri Afani Setia Ningrum
g. Fasilitator 5 : Abdilah Abdul Aziz
h. Observer : Tita Rosita
10. Uraian Tugas Pelaksana
a. Leader
Tugas:
Memimpin jalannya therapy aktifitas kelompok.
Merencanakan, mengontrol, dan mengatur jalannya therapy.
Menyampaikan materi sesuai tujuan TAK.
Memimpin diskusi kelompok.
b. Co. Leader
Tugas:
Membuka acara.
Mendampingi Leader.
Mengambil alih posisi leader jika leader bloking.
Menyerahkan kembali posisi kepada leader.
Menutup acara diskusi.
c. Fasilitator
Tugas:
Ikut serta dalam kegiatan kelompok.
Memberikan stimulus dan motivator pada anggota kelompok untuk aktif mengikuti jalannya therapy.
d. Observer
Tugas:
Mencatat serta mengamati respon klien (dicatat pada format yang tersedia).
Mengawasi jalannya aktifitas kelompok dari mulai persiapan, proses, hingga penutupan.
11. Mekanisme Kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak pada klien yang telah mengikuti sesi 4.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam tarapeutik
1. Salam dari terapis kepada klien.
2. Terapis dank lien memakai papan nama.
b. Evaluasi / validasi
1. Menanyakan perasaan klien saat ini.
2. Terapis menanyakan pengalaman klien mengontrol halusinasi setelah menggunakan tiga cara yang telah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan, dan bercakap-cakap).
c. Kontrak
1. Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
2. Menjelaskan aturan main berikut:
•Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin kepada terapis.
•Lama kegiatan 30 menit.
•Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh karena obat member perasaan tenang, dan memperlambat kambuh.
b. Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu penyebab kambuh.
c. Terapis meminta klien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu memakannya. Buat daftar di whiteboard.
d. Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar dosis obat.
e. Minta klien menyebutkan lima benar cara minum obat, secara bergiliran.
f. Berikan pujian pada klien yang benar.
g. Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di whiteboard).
h. Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di whiteboard).
i. Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah halusinasi / kambuh.
j. Menjelaskan akibat / kerugian tidak patuh minum obat, yaitu kejadian halusinasi / kambuh.
k. Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat.
l. Member pujian tiap kali klien benar.
4. Tahap terminasi.
a. Evalusi
1. Terapis menanyakan perasan klien setelah mengikuti TAK.
2. Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari.
3. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak lanjut
Menganjurkan klien menggunakan empat cara mengontol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakap-cakap, dan patuh minum obat.
c. Kontrak yang akan datang
1. Terapis mengakhiri sesi TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi.
2. Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai dengan indikasi klien.
12. Evalusi dan Dokumentasi
Evaluasi
Evalusi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan halusinasi Sesi 5, kemampuan klien yang diharapkan adalah menyebutkan lima benar cara minum obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Gunakan formulir evaluasi yang ada.
Dokumentasi
Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti Sesi 5 benar cara minum obat, manfaat minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat (kambuh). Anjurkan klien minum obat dengan cara yang benar.
12. Setting Tempat
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.
2. Ruangan nyaman dan tenang.
Keterangan:
: Leader
: Co. Leader
: Fasilitator
: Klien
: Observer
13. Tata Tertib dan Program Antisipasi
a. Tata Tertib
1) Peserta bersedia mengikuti kegiatan TAK.
2) Peserta wajib hadir 5 menit sebelum acara dimulai.
3) Peserta berpakaian rapih, bersih dan sudah mandi.
4) Tidak diperkenankan makan, minum, merokok selama kegiatan (TAK) berlangsung.
5) Jika ingin mengajukan/menjawab pertanyaan, peserta mengangkat tangan kanan dan berbicara setelah dipersilahkan oleh pemimpin.
6) Peserta yang mengacaukan jalannya acara akan dikeluarkan.
7) Peserta dilarang keluar sebelum acara TAK selesai.
8) Apabila waktu TAK sesuai kesepakatan telah habis, namun Tak belum selesai, maka pemimpin akan meminta persetujuan anggota untuk memperpanjang waktu TAK kepada anggota.
b. Program Antisipasi
Ada beberapa langkah yanga dapat diambil dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi pada pelaksanaan TAK. Langkah-langkah yang diambil dalam program antisipasi masalah adalah:
1) Apabila ada klien yang telah bersedia untuk mengikuti TAK, namun pada saat pelaksanaan TAK tidak bersedia, maka langkah yang diambil adalah: mempersiapkan klien cadangan yang telah diseleksi sesuai dengan kriteria dan telah disepakati oleh anggota kelompok lainnya.
2) Apabila dalam pelaksanaan ada anggota kelompok yang tidak mentaati tata tertib yang telah disepakati, maka berdasarkan kesepakatan ditegur terlebih dahulu dan bila masih tidak cooperative maka dikeluarkan dari kegiatan.
3) Bila ada anggota kelompok yang melakukan kekerasan, leader memberitahukan kepada anggota TAK bahwa perilaku kekerasan tidak boleh dilakukan.
15. Penutup
Demikian proposal ini kami buat, atas perhatian dan dukungan serta partisipasinya dalam kegiatan ini kami ucapkan terimakasih.
Lembar Evalusi Kemampuan Pasien
Sesi 5: TAK
Stimulasi persepsi: halusinasi
Kemampuan patuh minum obat untuk mencegah halusinasi
No Nama klien Menyebutkan lima benar cara minum obat Menyebutkan keuntungan minum obat Menyebutkan akibat tidak patuh minum obat
1 Tn. Hendra
2 Tn. Fran
3 Tn. Iyang
4 Tn. Akmaludin
5 Tn. Ade Sunarta
6 Ny. Entin
7 Ny. Neng
8
9
10
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan menyebutkan lima benar cara minum obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Beri tanda (V) jika klien mampu dan beri tanda (X) jika klien tidak mampu.
THERAPY AKTIVITAS KELOMPOK
STIMULASI PERSEPSI: HALUSINASI
1. Latar Belakang
Pada pasien gangguan jiwa dengan kasus Schizoprenia selalu diikuti dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi. Terjadinya halusinasi dapat menyebabkan klien menjadi menarik diri terhadap lingkungan sosialnya, hanyut dengan kesendirian dan halusinasinya sehingga semakin jauh dari sosialisasi dengan lingkungan disekitarnya.
Atas dasar tersebut, maka kami menganggap dengan Therapy Aktivitas Kelompok (TAK) klien dengan gangguan persepsi sensori dapat tertolong dalam hal sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, tentu saja klien yang mengikuti therapy ini adalah klien yang sudah mampu mengontrol dirinya dari halusinasi sehingga pada saat TAK klien dapat bekerjasama dan tidak mengganggu anggota kelompok yang lain.
2. Pengertian/ Landasan Theory
a. Defenisi Halusinasi
Halusinasi adalah satu persepsi yang salah oleh panca indera tanpa adanya rangsang (stimulus) eksternal (Cook & Fontain, Essentials of Mental
Health Nursing, 1987).
b. Klasifikasi Halusinasi
Pada klien dengan gangguan jiwa ada beberapa jenis halusinasi dengan karakteristik tertentu, diantaranya :
1) Halusinasi pendengaran
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2) Halusinasi penglihatan
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan/atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3) Halusinasi penghidu
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang–kadang terhirup bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
4) Halusinasi peraba
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5) Halusinasi pengecap
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.
6) Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
c. Tahapan Halusinasi, Karakteristik Dan Perilaku Yang Ditampilkan
TAHAP KARAKTERISTIK PERILAKU KLIEN
Tahap I
Memberi rasa nyaman tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
Fikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontol kesadaran, nonpsikotik. Tersenyum, tertawa sendiri
Menggerakkan bibir tanpa suara
Pergerakkan mata yang cepat
Respon verbal yang lambat
Diam dan berkonsentrasi
Tahap II
Menyalahkan
Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati Pengalaman sensori menakutkan
Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
Mulai merasa kehilangan kontrol
Menarik diri dari orang lain non psikotik. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
Perhatian dengan lingkungan berkurang
Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas
Tahap III
Mengontrol
Tingkat kecemasan berat
Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi).
Isi halusinasi menjadi atraktif.
Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik.
Perintah halusinasi ditaati.
Sulit berhubungan dengan orang lain.
Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik.
Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat
Tahap IV
Klien sudah dikuasai oleh Halusinasi.
Klien panik.
Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik. Perilaku panik.
Resiko tinggi mencederai.
Agitasi atau kataton.
Tidak mampu berespon terhadap lingkungan.
d. Hubungan Schizoprenia dengan Halusinasi
Halusinasi pendengaran merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi pada klien dengan gangguan jiwa (schizoprenia). Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara–suara bising atau mendengung. Tetapi paling sering berupa kata–kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respons tertentu seperti: bicara sendiri, bertengkar atau respons lain yang membahayakan.
Bisa juga klien bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan penuh perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati. Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor dari gangguan schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa mania depresif dan syndroma otak organik.
Gangguan persepsi yang utama pada skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh kecemasan, halusinasi menghasilkan tingkah laku yang tertentu, gangguan harga diri, kritis diri, atau mengingkari rangsangan terhadap kenyataan.
Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada skizoprenia, suara – suara biasanya berasal dari Tuhan, setan, tiruan atau relatif. Halusinasi ini menghasilkan tindakan/perilaku pada klien seperti yang telah diuraikan tersebut di atas (tingkat halusinasi, karakteristik dan perilaku yang dapat diamati).
3. Metode Therapy Aktifitas Kelompok
Metode yang digunakan pada therapy aktifitas kelompok (TAK) ini adalah metode:
1. Diskusi dan tanya jawab.
2. Melengkapi jadwal harian.
Kegiatan TAK menggunakan sistem Sesi yang dibagi menjadi lima sesi, setiap sesi memiliki tujuan khusus yang berbeda. Pada TAK kali ini adalah melanjutkan kegiatan TAK sebelumnya, kali ini adalah TAK untuk sesi kelima yaitu tentang program pengobatan.
4. Tujuan Therapy Aktivitas Kelompok
a. Tujuan Umum
1. Klien mampu mengenali halusinasi yang dialaminya.
2. Klien mampu mengontrol halusinasinya.
3. Klien mengikuti program pengobatan secara optimal.
b. Tujuan Khusus (Tujuan Sesi 5: Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat)
1. Klien memahami pentingnya patuh minum obat.
2. Klien memahami akibat tidak patuh minum obat.
3. Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.
5. Kriteria Anggota
Klien sebagai anggota yang mengikuti therapy aktifitas kelompok ini adalah:
a. Klien dengan riwayat schizoprenia dengan disertai gangguan persepsi sensori; halusinasi.
b. Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif atau mengamuk, dalam keadaan tenang.
c. Klien dapat diajak kerjasama (cooperative).
6. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Therapy Aktifitas Kelompok ini dilaksanakan pada:
Hari, Tanggal : Kamis, 26 Februari 2009.
Waktu : Pukul 13.15 WIB s.d selesai
Tempat : Ruang Bougenvile RSJ Prov. Jabar.
7. Nama Klien dan Ruangan
Klien yang mengikuti kegiatan berjumlah 5 orang, sedangkan sisanya sebagai cadangan jika klien yang ditunjuk berhalangan.
Adapun nama-nama klien yang akan mengikuti TAK serta pasien sebagai cadangan yaitu:
Klien peserta TAK:
a. Tn. Hendra
b. Tn. Fran
c. Tn. Iyang
d. Tn. Akmaludin
e. Tn. Ade Sunarta
Klien peserta TAK cadangan:
a. Ny. Entin
b. Ny. Neng
8. Media dan Alat
TAK kali ini tidak menggunakan alat atau media yang spesifik, penggunaan alat hanya yang ada diruangan saja seperti:
a. Spidol dan whiteboard / papan tulis.
b. Jadwal kegiatan harian (jika ada yang dibuat saat TAK sebelumnya).
c. Beberapa contoh obat.
d. Tape recorder untuk game jika ada.
9. Susunan Pelaksana
Yang bertugas dalam TAK kali ini disesuaikan dengan petugas setiap Sesi yang telah disepakati. Sebagai berikut:
a. Leader : Anton Purkon Patoni
b. Co. Leader : Rendra Gustiawan
c. Fasilitator 1 : Adrian Fauzirakhman
d. Fasilitator 2 : Susi Susanti
e. Fasilitator 3 : Siti Nurhayati
f. Fasilitator 4 : Sri Afani Setia Ningrum
g. Fasilitator 5 : Abdilah Abdul Aziz
h. Observer : Tita Rosita
10. Uraian Tugas Pelaksana
a. Leader
Tugas:
Memimpin jalannya therapy aktifitas kelompok.
Merencanakan, mengontrol, dan mengatur jalannya therapy.
Menyampaikan materi sesuai tujuan TAK.
Memimpin diskusi kelompok.
b. Co. Leader
Tugas:
Membuka acara.
Mendampingi Leader.
Mengambil alih posisi leader jika leader bloking.
Menyerahkan kembali posisi kepada leader.
Menutup acara diskusi.
c. Fasilitator
Tugas:
Ikut serta dalam kegiatan kelompok.
Memberikan stimulus dan motivator pada anggota kelompok untuk aktif mengikuti jalannya therapy.
d. Observer
Tugas:
Mencatat serta mengamati respon klien (dicatat pada format yang tersedia).
Mengawasi jalannya aktifitas kelompok dari mulai persiapan, proses, hingga penutupan.
11. Mekanisme Kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak pada klien yang telah mengikuti sesi 4.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam tarapeutik
1. Salam dari terapis kepada klien.
2. Terapis dank lien memakai papan nama.
b. Evaluasi / validasi
1. Menanyakan perasaan klien saat ini.
2. Terapis menanyakan pengalaman klien mengontrol halusinasi setelah menggunakan tiga cara yang telah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan, dan bercakap-cakap).
c. Kontrak
1. Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
2. Menjelaskan aturan main berikut:
•Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin kepada terapis.
•Lama kegiatan 30 menit.
•Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh karena obat member perasaan tenang, dan memperlambat kambuh.
b. Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu penyebab kambuh.
c. Terapis meminta klien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu memakannya. Buat daftar di whiteboard.
d. Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar dosis obat.
e. Minta klien menyebutkan lima benar cara minum obat, secara bergiliran.
f. Berikan pujian pada klien yang benar.
g. Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di whiteboard).
h. Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di whiteboard).
i. Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah halusinasi / kambuh.
j. Menjelaskan akibat / kerugian tidak patuh minum obat, yaitu kejadian halusinasi / kambuh.
k. Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat.
l. Member pujian tiap kali klien benar.
4. Tahap terminasi.
a. Evalusi
1. Terapis menanyakan perasan klien setelah mengikuti TAK.
2. Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari.
3. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak lanjut
Menganjurkan klien menggunakan empat cara mengontol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakap-cakap, dan patuh minum obat.
c. Kontrak yang akan datang
1. Terapis mengakhiri sesi TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi.
2. Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai dengan indikasi klien.
12. Evalusi dan Dokumentasi
Evaluasi
Evalusi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan halusinasi Sesi 5, kemampuan klien yang diharapkan adalah menyebutkan lima benar cara minum obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Gunakan formulir evaluasi yang ada.
Dokumentasi
Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti Sesi 5 benar cara minum obat, manfaat minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat (kambuh). Anjurkan klien minum obat dengan cara yang benar.
12. Setting Tempat
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.
2. Ruangan nyaman dan tenang.
Keterangan:
: Leader
: Co. Leader
: Fasilitator
: Klien
: Observer
13. Tata Tertib dan Program Antisipasi
a. Tata Tertib
1) Peserta bersedia mengikuti kegiatan TAK.
2) Peserta wajib hadir 5 menit sebelum acara dimulai.
3) Peserta berpakaian rapih, bersih dan sudah mandi.
4) Tidak diperkenankan makan, minum, merokok selama kegiatan (TAK) berlangsung.
5) Jika ingin mengajukan/menjawab pertanyaan, peserta mengangkat tangan kanan dan berbicara setelah dipersilahkan oleh pemimpin.
6) Peserta yang mengacaukan jalannya acara akan dikeluarkan.
7) Peserta dilarang keluar sebelum acara TAK selesai.
8) Apabila waktu TAK sesuai kesepakatan telah habis, namun Tak belum selesai, maka pemimpin akan meminta persetujuan anggota untuk memperpanjang waktu TAK kepada anggota.
b. Program Antisipasi
Ada beberapa langkah yanga dapat diambil dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi pada pelaksanaan TAK. Langkah-langkah yang diambil dalam program antisipasi masalah adalah:
1) Apabila ada klien yang telah bersedia untuk mengikuti TAK, namun pada saat pelaksanaan TAK tidak bersedia, maka langkah yang diambil adalah: mempersiapkan klien cadangan yang telah diseleksi sesuai dengan kriteria dan telah disepakati oleh anggota kelompok lainnya.
2) Apabila dalam pelaksanaan ada anggota kelompok yang tidak mentaati tata tertib yang telah disepakati, maka berdasarkan kesepakatan ditegur terlebih dahulu dan bila masih tidak cooperative maka dikeluarkan dari kegiatan.
3) Bila ada anggota kelompok yang melakukan kekerasan, leader memberitahukan kepada anggota TAK bahwa perilaku kekerasan tidak boleh dilakukan.
15. Penutup
Demikian proposal ini kami buat, atas perhatian dan dukungan serta partisipasinya dalam kegiatan ini kami ucapkan terimakasih.
Lembar Evalusi Kemampuan Pasien
Sesi 5: TAK
Stimulasi persepsi: halusinasi
Kemampuan patuh minum obat untuk mencegah halusinasi
No Nama klien Menyebutkan lima benar cara minum obat Menyebutkan keuntungan minum obat Menyebutkan akibat tidak patuh minum obat
1 Tn. Hendra
2 Tn. Fran
3 Tn. Iyang
4 Tn. Akmaludin
5 Tn. Ade Sunarta
6 Ny. Entin
7 Ny. Neng
8
9
10
Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan menyebutkan lima benar cara minum obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Beri tanda (V) jika klien mampu dan beri tanda (X) jika klien tidak mampu.
Label: emergency case
proposal tak halusinasi
Langganan:
Postingan (Atom)