tag:blogger.com,1999:blog-60354005121240476182024-03-12T23:45:52.684-07:00Catatan Seorang Paramedic ........Jangan panik .... tetap tenang dalam setiap tindakan .... keselamatan kita yang paling utama ....Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.comBlogger32125tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-1534421870447981132011-05-30T18:50:00.000-07:002011-05-30T18:51:13.035-07:00ASKEP KEJANG DEMAMI. PENGERTIAN<br />a). Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada saat suhu meningkat disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.<br />b). Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba (marillyn, doengoes. 1999 : 252)<br />II. ETIOLOGI<br />Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu :<br />1. Obat – obatan<br />racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan<br />2. Ketidak seimbangan kimiawi<br />hiperkalemia. Hipoglikemia dan asidosis<br />3. Demam<br />paling sering terjadi pada anak balita<br />4. Patologis otak<br />akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik<br />5. Eklampsia<br />hipertensi prenatal, toksemia gravidarum<br />6. Idiopatik<br />penyebab tidak diketahui<br />III. PATOFISIOLOGI<br />IV. MANIFESTASI KLINIK<br />Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu :<br />1. Kejang demam sementara<br />• Umur antara 6 bulan – 4 tahun<br />• Lama kejang <15 menit<br />• Kejang bersifat umum<br />• Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam<br />• Tidak ada kelainan neurologis, baik klinis maupun laboratorium<br />• Eeg normal 1 minggu setelah bangkitan kejang<br />2. Kejang demam komplikata<br />• Diluar kriteria tersebut diatas<br />V. KOMPLIKASI DARI KEJANG DEMAM<br />1. hipoksia<br />2. hiperpireksia<br />3. asidosis<br />4. ernjatan atau sembab otak<br />VI. FASE – FASE KEJANG DEMAM<br />1. Fase prodromal<br />Perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang mungkin mengawali kejang beberapa jam/ hari<br />2. Fase iktal<br />Merupakan aktivitas kejang yag biasanya terjadi gangguan muskulosketal.<br />3. Fase postiktal<br />Periode waktu dari kekacauan mental atau somnolen, peka rangsang yang terjadi setelah kejang tersebut.<br />4. Fase aura<br />Merupakan awal dari munculnya aktivitas kejang, yang biasanya berupa gangguan penglihatan dan pendengaran.<br />VII. PENATALAKSANAAN MEDIK<br />1. Pemberian diazepam<br />• dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/ kg bb/ dosis iv (perlahan )<br />• bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosisi ulangan setelah 20 menit<br />2. Turunkan demam<br />• anti piretik : para setamol atau salisilat 10 mg/ kg bb/ dosis<br />• kompres air biasa<br />3. Penanganan suportif<br />• bebaskan jalan nafas<br />• beri zat asam<br />• jaga keseimbangan cairan dan elektrolit<br />• pertahankan tekanan darah<br />VIII. PENCEGAHAN KEJANG DEMAM<br />1. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam dan anti piretika pada penyakit yang disetai demam.<br />2. Pencegahan kontinu untuk kejang komplikata<br />• fenobarbital : 5 – 7 mg/ kg BB/ 24 jam dibagi 3 dosis<br />• fenotoin : 2- 8 mg/ kg BB/ 24 jam 2 – 3 dosis<br />• klonazepam : indikasi khusus<br />3. Diberikan sampai 2 tahun bebas kejang atau sampai umur 6 tahun<br />IX. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1. Elektrolit : tidak seimbang dapat berpengaruh pada aktivitas kejang<br />2. Glukosa : hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang.<br />3. Ureum/ kreatinin : dapat maningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang<br />4. Kadar obat dalam serum : untuk membuktikan batas obat anti konvulsi yang terapeutik.<br />5. Elektroensepalogram (eeg) : dapat melokalisir daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur aktivitas otak.<br />X. ASUHAN KEPERAWATAN<br />A. Pengkajian Data Dasar Pasien<br />1. Aktivitas/ istirahat<br />Gejala : keletihan, kelemahan umum<br />Keterbatasan dalam beraktivitas<br />Tanda : perubahan tonus dan kekuatan<br />2. Sirkulasi<br />Gejala : iktal : hiertensi, peningkatan nadi, sianosis<br />Postiktal : depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan<br />3. Elimnasi<br />Gejala : inkontinensia episodik<br />Tanda : iktal : peningkatan tekanan kandung kemih<br />Posiktal : inkontenensia urine<br />4. Makanan dan cairan<br />Gejala : sensitivitas terhadap makanan, mual, muntah<br />Tanda : kerusakan jaringan lunak (cidera selama kejang)<br />5. Neurosensori/ kenyamanan<br />Gejala : riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsang, pusing<br />Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area paralitik<br />6. Pernafasan<br />Gejala : iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun/ cepat, peningkatan sekresi mukus<br />B. Diagnosa Yang Mungkin Muncul<br />1. Resiko terhadap penghentian pernafasan barhubungan dengan kelemahan dan kehilangan koordinasi otot besar dan kecil<br />2. Bersihkan jalan nafas inefektif berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial dan peningkatan sekresi mukus<br />C. Intervensi Keperawatan<br />DX 1 : Resiko Terhadap Penghentian Pernafasan Berhubungan Dengan Kelemahan Dan Kehilangan Koordinasi Otot Besar Dan Kecil<br />Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan penghentian pernafasan tidak terjadi<br />Kriteria hasil :<br />RR dalam batas normal (16 – 20 x/ menit )<br />Tak kejang<br />Klien mengungkapkan perbaikan pernafasannya<br />Intervensi :<br />1. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur dengan tempat tidur rendah<br />R/ : mengurangi trauma saat kejang<br />2. Masukan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik / biarkan pasien menggigit benda lunak atara gigi.<br />R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma mulut<br />3. Observasi TTV<br />R/ : menentukan kegawatan kejang dan intervensi yang sesuai<br />4. catat tipe dari aktivitas kejang<br />R/ : membantu untuk melokalisir daerah otak<br />5. Lakukan penilaian neurologis, tingkat kesadaran, orientasi<br />R/ : mencatat keadaan postiktal dan waktu penyembuhan<br />6. Biarkan tingkah laku “ automatik” tanpa menghalangi<br />R/ : untuk menghindari cidera atau trauma yang lebih lanjut<br />7. Kolaborasi dalam pemberian obat anti convulsi<br />R/ : untuk mencegah kejang ulangan<br />DX 2 : Bersihan Jalan Nafas Inefektif Berhubungan Dengan Peningkatan Sekresi Mukus, Obstruksi Jalan Nafas<br />Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas efektif<br />Kriteria hasil : sekresi mukus berkurang<br />tak kejang<br />gigi tak menggigit<br />Intervensi :<br />1. Anjurkan klien mengosongkan mulut dari benda<br />R/ : menurunkan aspirasi atau masukanya benda asing ke faring<br />2. Letakan klien pada posisi miring dan permukaan datar<br />R/ : mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas<br />3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen<br />R/ : untuk memfasilitasi usaha bernafas<br />4. Masukan spatel lidah<br />R/ : untuk membuka rahang dan mencegah tergigitnya lidah<br />5. Lakukan penghisapan lendir<br />R/ : menurunkan resiko aspirasiAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-64241892396165080442011-05-30T17:47:00.000-07:002011-05-30T17:49:09.398-07:00LAPORAN PENDAHULUANGANGGUAN ANSIETAS/ KECEMASANLAPORAN PENDAHULUAN<br />ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN<br />GANGGUAN ANSIETAS/ KECEMASAN<br /><br />I. KONSEP DASAR<br />A. Pengertian<br />Ansietas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kondisi dialami secara subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat ansietas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan (Stuart dan Sundeen, 1990, hal 75).<br />Tingkat ansietas sebagai berikut:<br />1. Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari- hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan menghasilkan lahan persepsinya. Ansietas dapat memotivasi bekpar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.<br />2. Ansietas sedang, memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.<br />3. Ansietas berat, sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir pada hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada satu area lain.<br />4. Tingkat panik dari ansietas, berhubungan dengan terperangah, ketakutan dari orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik,menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan juga berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat, bahkan kematian.<br /><br />B. Rentang Respon Ansietas (Stuart & Sundeen, 1990)<br /><br /><br /><br />Respon Adaptif Respon Maladaptif<br /><br />Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik<br /><br />C. Faktor Predisposisi<br />Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas :<br />1. Dalam pandangan psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.<br />2. Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dari hubungan interpersonal. Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan, trauma seperti perpisahan dan kehilangan sehingga menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan ansietas yang berat.<br />3. Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Daftar tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yng berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas pada kehidupan selanjutnya.<br />4. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.<br />5. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas penghambat dalam aminobutirik. Gamma neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya endorfin. Selain itu telah dibuktikan kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.<br /><br />D. Faktor Presipitasi<br />Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori :<br />1. Ancaman terhadapintegritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari- hari.<br />2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.<br /><br />E. Sumber Koping<br />Individu dapat mengalami stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping tersebut di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal ekonomok, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.<br /><br />F. Mekanisme Koping<br />Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Ansietas tingkat ringan sering ditanggulang tanpa yang serius.<br /><br /><br /><br />Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan 2 jenis mekanisme koping:<br />1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitis tuntutan situasi stress.<br />2. Mekanisme pertahanan ego, membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptif terhadap stress.<br /><br />II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN<br />A. Pengkajian<br />Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku. Secara tidaklangsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan ansietas.intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat ansietas.<br />Masalah yang sering muncul pada gangguan ansietas adalah sebagai berikut:<br />a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.<br />b. Gangguan perilaku; kecemasan<br />c. Koping individu tak efektif<br />Pohon Masalah:<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />B. Diagnosa Keperawatan<br />1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan gangguan perilaku; kecemasan<br />2. Gangguan perilaku; kecemasan berhubungan dengan koping individu tak efektif ditandai dengan klien tampak gelisah, tegang<br />C. Perencanaan<br />1. Diagnosa 1 : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan gangguan perilaku ; kecemasan<br />TUM: Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan<br />TUK: Klien mampu mengontrol rasa cemasnya<br />Intervensi:<br />a. BHSP dengan klien<br />• Memperkenalkan diri dengan sopan dan ekspresi wajah bersahabat<br />• Tanyakan nama klien<br />• Jabat tangan klien<br />b. Pasien akan terlindung dari bahaya<br />• Terima dan dukung pertahanan klien<br />• Kenalkan realita yang berhubungan dengan mekanisme koping klien<br />• Berikan umpan balik pada klien tentang perilaku, stressor dan sumber koping<br />c. Ciptakan lingkungan tenang dan jauh dari kegaduhan<br />d. Jauhkan klien dari benda yang berbahaya seperti benda tajam<br />2. Diagnosa 2 : Gangguan perilaku; kecemasan berhubungan dengan koping individu tak efektif ditandai dengan klien tampak gelisah, tegang<br />TUM: Klien dapat mengurangi dan mengontrol kecemasannya<br />TUK: Klien mengenal cara- cara untuk mengurangi kecemasannya<br />Intervensi:<br />a. Libatkan klien dalam aktivitas sehari- hari<br /> Beri aktivitas pada klien dan penguatan perilaku produktif.Berikan beberapa jenis latihan fisik<br /> Rencanakan jadwal atau daftar aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari.<br /> Libatkan keluarga dan sistem pendukung lain sebanyak mungkin<br /><br /><br />b. Klien dapat mengidentifikasi dan menguraikan perasaan tentang ansietas<br /> Bantu klien mengidentifikasi dan menguraikan perasaan yang mendasar.<br /> Kaitkan perilaku klien dengan perilaku dan perasaan tersebut.<br /> Gunakan pertanyaan terbuka untuk menghindari konflik<br />c. Klien dapat menguraikan rencana koping maladaptif dan adaptif<br /> Gali cara pasien menurunkan ansietasnya dimasa lalu<br /> Tunjukkan efek maladaptif dan destruktif dari respon koping sekarang.<br /> Dorong klien menggunakan respon adaptif yang efektif dimasa lalu.<br />D. Pelaksanaan<br />Pelaksanaan disesuaikan dengan kondisi dan respon klien<br /><br />E. Evaluasi<br />1. Sudahkah ancaman terhadap integritas kulit atau sistem dari pasien berkurang dalam sifat, jumlah, asal dan waktunya ?<br />2. Apakah perilaku klien mencerminkan ansietas tingkat ringan atau lebih ringan ?<br />3. Sudahkah sumber koping klien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?<br />4. Apakah klien mengenali ansietasnya sendiri dan mempunyai pandangan terhadap perasaan tersebut?<br />5. Apakah klien menggunakan respon koping adaptif?<br />6. Sudahkan klien belajar strategi adaptif baru untuk mengurangi ansietas?<br />7. Apakah klien menggunakan ansietas ringan untuk meningkatkan pertumbuhan atau perubahan personal?Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-13655036168073660892011-05-30T17:45:00.000-07:002011-05-30T17:46:37.044-07:00Proposal Penelitian Keperawatan JiwaUSULAN PENELITIAN<br /><br />I. JUDUL PENELITIAN<br />PENGARUH TERAPI PSIKORELIGIUS TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRA OPERASI DI RUANG BEDAH RS ISLAM FAISAL MAKASSAR.<br />II. RUANG LINGKUP PENELITIAN<br />KEPERAWATAN JIWA<br />III. PENDAHULUAN<br />A. Latar Belakang<br />Untuk mendapatkan kesehatan mental yang prima, tidaklah mungkin terjadi begitu saja. Selain menyediakan lingkungan yang baik untuk pengembangan potensi, dari individu sendiri dituntut untuk melakukan berbagai usaha menggunakan berbagai kesempatan yang ada untuk mengembangkan dirinya. Individu perlu merefleksikan kembali penyebab dari berbagai perilakunya, mengevaluasi kembali kehidupan beragamanya, menggunakan berbagai sarana yang selama ini telah tersedia, yaitu berbagai macam teknik konseling dan psikoterapi, serta mengembangkan kebiasaan pribadi, dalam hal ini mencoba berlatih dan mendeskripsikan emosi yang dialami.<br />Secara teori, tidak ada batasan sejauh mana derajat kesehatan, baik mental maupun fisik dapat dicapai. Banyak yang sudah puas bila tidak ada gejala-gejala yang menunjukkan gangguan baik berupa gangguan kebutuhan, mental maupun spiritual. Ini menjadi kriteria kesehatan umum. Gerakan-gerakan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal inilah yang saat ini sedang muncul, tumbuh dan berkembang di mana-mana terutama di kota-kota besar di dunia. Ada banyak cara untuk mendapatkan derajat kesehatan yang memuaskan, sejalan dengan teraktualnya potensi-potensi dalam diri yang belum tergali.<br />Terapi merupakan salah satu cara untuk semakin mengenal dan menemukan keunikan diri. Sekarang ini terapi banyak digunakan bukan hanya bagi mereka yang merasa memiliki masalah, namun baik juga digunakan sebagai alat pemahaman dan pengenalan diri. Hasilnya mereka akan menemukan mutiara-mutiara lain dalam diri mereka yang selama ini mungkin tidak mereka sadari (Siswanto, 2007)<br />Di awal abad ke-20, ditandai dengan kemajuan yang pesat dalam ilmu kedokteran modern dengan adanya spesialisasi sebagai respon atas munculnya penyakit-penyakit baru yang mencemaskan. Namun persoalannya ternyata tidak berhenti dipenanganan medis belaka. Penyakit-penyakit psikis ternyata tidak sepenuhnya mampu ditanggulangi oleh bidang medis. Itulah antara lain yang menjadi alasan mengapa banyak orang sekarang ini yang mencari alternatif penyehatan dan penyembuhan terhadap terapi-terapi spiritual. Oleh karena itu, guna memperoleh kesehatan yang holistik, hendaknya kita harus memahami aspek-aspek jasmani, mental dan spiritual sehingga secara terpadu dapat mengetahui cara yang benar untuk menyeimbangkan dan mengobati setiap bidang tersebut. Prinsip keseimbangan ini yang diajarkan Tuhan kepada kita di setiap aspek kehidupan. Tanpa keseimbangan maka tidak akan pernah ada kehidupan yang tertib, aman dan sehat. Demikian juga hanya dengan tubuh manusia yang melakukan keseimbangan aktivitas bioelektrik dan biokimianya sendiri sehingga tetap hidup dan sehat dalam menjalankan aktivitasnya. Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat religius dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakitnyapun lebih cepat (Zainul Z, 2007).<br />Saat ini perkembangan terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial. World Health Organization (WHO) telah menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah satu dari 4 unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan sehat spiritual. Pendekatan baru ini telah diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat (The American Psychiatric Association atau APA, 1992) yang dikenal dengan pendekatan “bio-psyco-socio-spiritual” (Ilham A, 2008).<br />Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan lengkap dari kesejahteraan fisik, mental, sosial dan bukan semata-mata katiadaan penyakit atau kesakitan. Definisi kesehatan ini merupakan pemicu dan pemacu penelitian dan praktik di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi kesehatan mulai berkembang pesat sejak saat itu, jika dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kesehatan seseorang yang bertujuan untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang sesuai dengan pengertian WHO di atas (Hasan P, 2008).<br />Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika, ada sekelompok pasien yang selalu menunda-nunda operasi sehingga jadwal operasi yang sudah dibuat ditunda lagi, kecuali pada operasi yang darurat. Ada masalah apa dengannya? Padahal dalam pemeriksaan semua sudah bagus, tidak ada alasan untuk menunda operasi. Setelah diselidiki ternyata mereka mengalami ketakutan menghadapi operasi (Yosep I, 2009).<br />Lindenthal (1970) dan Star (1971) melakukan studi epidemiologi yang hasilnya menunjukkan bahwa penduduk yang religius resiko untuk mengalami stres jauh lebih kecil dari pada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-harinya. Clinebell (1981) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual (Basic Spiritual Needs). Kebutuhan dasar spiritual ini adalah kebutuhan kerohanian, keagamaan, dan ke-Tuhan-an yang kerena paham materialisme dan sekularisme menyebabkan kebutuhan dasar spiritual terlupakan tanpa disadari. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar spiritual maka daya tahan dan kekebalan seseorang dalam menghadapi stressor psikososial menjadi melemah, yang kemudian sebagian dari mereka melarikan diri kepada hal-hal yang negatif (Ilham A, 2008).<br />Saat ini di rumah sakit umum dianjurkan melaksanakan suatu program yang dinamakan Program Integrasi Kesehatan Jiwa. Tentu saja ini telah mulai dijalankan di sejumlah rumah sakit yang berdasarkan agama atau yang dikelola organisasi sosial keagamaan melalui pelaksanaan terapi agama. Di samping dokter yang mengobati, ada juga agamawan yang mendampingi, memberikan dan menuntun doa. Alangkah baiknya bila rohaniawan yang membimbing di rumah sakit juga mempunyai pengetahuan kesehatan atau dokter-dokter yang ada dapat pula memberikan tuntunan agama. Tujuannya agar pasien yang terbaring itu tidak merasa jenuh dan tidak berontak. Karena dalam keadaan berbaring pun ia bisa beribadah, berdzikir atau mengaji serta sholat dengan segala kemampuannya. Dengan demikian pasien tidak merasa ragu karena senantiasa dapat mendapat pahala. Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan agama akan merasa gelisah, ingin pulang, cemas, dan sebagainya, yang justru akan menurunkan respon imunitasnya.<br />Perasaan takut dioperasi timbul karena takut menghadapi kematian dan tidak bisa bangun lagi setelah dioperasi. Ada pula orang lain yang tidak bermasalah dalam menghadapi operasi, ternyata permasalahannya adalah komitmen agama. Pada kelompok yang lurus-lurus saja, yang komitmen agamanya kuat dan alur pemikiran sebagai berikut : kami percaya pada Tuhan, kami menjalani operasi dengan harapan sembuh, andai kata kami meninggal pun tetap saja harus menghadap Tuhan nantinya karena semua yang bernyawa pasti akan mati. Kami sudah siap mati karena kami sudah memohon dan berdoa (Yosep I, 2009).<br />Dalam mengembangkan psikologi kesehatan, para ilmuan kemudian melihat bahwa kaitan antara jiwa dan tubuh merupakan hal yang sebetulnya telah lama dikaji. Para filosofi dan tokoh agama, dengan berbagai latar belakang, telah sejak lama membahas hal ini, tak terkecuali ulama Islam. Banyak tokoh Islam yang terkenal yang telah mengembangkan hal ini, baik secara konsep maupun praktik, seperti Nabi Muhammad SAW, kemudian Al Razi (841-926 M), Ibnu Sina (980-1037 M), dan lain-lain. Pendekatan Islam telah lama sejak awal bahkan telah mencakup dimensi biologis, mental dan spiritual serta sosial (Hasan P, 2008).<br />Masyarakat Indonesia telah mengalami pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat indutri. Hal ini berakibat pergeseran pola kependudukan yang berdampak pada pergeseran pola penyakit. Pola hidup penduduk di kota-kota besar (urban) berbeda dengan di pedesaan (rural). Penduduk di kota-kota besar banyak yang menderita ketegangan jiwa (stres mental atau kecemasan) berubahnya kebiasaanya hidup seperti kurang gerak, berubahnya pola makan ke arah konsumsi tinggi lemak, kebiasaan merokok, minum alkohol dan lain sebagainya. Adanya pergeseran masyarakat ke industri dan ditambah pola hidup masyarakat urban telah mampu menciptakan dimensi baru penyakit, paling tidak dimensi psikoreligi. Pada dimensi psikoreligi, terjadinya penyakit dilihat dari sudut pandang gejolak emosi dan ketenangan beribadah. Dimensi psikoreligi memandang kepribadianlah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya penyakit (Ilham A, 2008).<br />Apabila faktor psikologi dapat teridentifikasi sebagai faktor pendukung pemunculan atau perburukan kondisi fisik, maka dapat digunakan diagnosis faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis. Sebuah penilaian dibuat tentang komponen emosional yang mempengaruhi kondisi kesehatan fisik seseorang. Sering kali faktor psikologis dapat mengganggu penatalaksanaan masalah medis dan dapat menambah resiko kesehatan klien. Faktor psikologis yang mempengaruhi masalah medis dapat didiagnosis sebagai gangguan mental. Ansietas dan depresi dapat memperburuk berbagai penyakit dan dapat memperpanjang periode penyembuhan. Sering kali, sifat kepribadian atau gaya koping tertentu dapat mengganggu kesehatan atau menimbulkan faktor resiko pada klien untuk terkena penakit tertentu seperti penyakit jantung. Respon fisiologis yang berhubungan dengan kecemasan dapat mencetuskan beberapa masalah seperti nyeri dada dan serangan asma. Pada beberapa klien, faktor-faktor psikologis yang tidak tergolongkan seperti pertimbagan budaya, pertimbangan agama, dapat mempengaruhi rangkaian atau hasil terapi. Para ilmuan telah mengikuti sejak lama bahwa orang berespon terhadap kecemasan baik pada tingkat fisiologis maupun psikologis. Riset selanjutnya menunjukkan bagaimana sistem imun berinteraksi dengan proses neurobiologis. Ketika seseorang mengalami kecemasan dan stres yang berkepanjangan, kadar epinefrin, norepinefrin dan kortisol meningkat. Pelepasan hormon stres yang terus-menerus dapat merusak mekanisme neurobiologis dan pola fisiologis normal yang memfasilitasi adaptasi tubuh. Sebagian besar klien yang memiliki faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis berada pada kondisi medikal-bedah karena mereka memeriksakan kesehatan yang berhubungan dengan kondisi fisiologis mereka. Ketika seseorang klien melaksanakan anjuran untuk terus mengikuti terapi, fokusnya ada pada bagaimana faktor-faktor psikologis seperti ansietas dan depresi mempengaruhi berbagai terapi atau hasilnya (Akemat, 2007).<br />Dari sejumlah penelitian para ahli, ternyata bisa disimpulkan bahwa komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang dipadukan dengan terapi kedokteran. Agama lebih bersifat protektif daripada problem producing. Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan clinical benefit. Kesimpulan umum adalah masyarakat dan bangsa kita merupakan bangsa yang religius, maka sepatutnyalah pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dapat diamalkan dalam dunia kesehatan, dengan catatan bukan untuk mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritualnya dalam menghadapi penyakit (Yosep I, 2009).<br />Menghadapi pembedahan adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan karena akan timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah keberadaan pencipta dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting sehingga pasien akan selalu membutuhkan bantuan religius atau spiritual (Alimul A, 2006).<br />Berdasarkan data rekam medik di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar periode Januari sampai dengan Desember 2010, data kegiatan atau tindakan pembedahan yang telah dilakukan adalah sebanyak 1127 kali tindakan. Data tersebut antara lain bedah umum atau tumor sebanyak 270 kali, bedah KB atau Sectio sebanyak 247 kali, bedah saraf sebanyak 27 kali, bedah THT sebanyak 8 kali, bedah urologi sebanyak 159 kali, bedah mata sebanyak 11 kali, bedah ortopedi sebanyak 208 kali, bedah gigi sebanyak 14 kali, bedah plastik sebanyak 8 kali, bedah thoraks sebanyak 24 kali, dan bedah digestif sebanyak 130 kali tindakan.<br />Sedangkan pada periode Januari sampai dengan Maret 2011, kegiatan atau tindakan pembedahan yang telah dilakukan sebanyak 312 kali tindakan. Data tersebut antara lain bedah umum atau tumor sebanyak 51 kali, bedah KB atau sectio sebanyak 66 kali, bedah saraf sebanyak 2 kali, bedah THT sebanyak 4 kali, bedah urologi sebanyak 60 kali, bedah mata sebanyak 2 kali, bedah ortopedi sebanyak 47 kali, bedah gigi sebanyak 3 kali, bedah thoraks sebanyak 12 kali dan bedah digestif sebanyak 65 kali.<br />Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang “Pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar”.<br />B. Rumusan Masalah<br />Berdasarkan hal tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah apakah ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.<br />C. Tujuan Penelitian<br />1. Tujuan Umum<br />Untuk mengetahui pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.<br />2. Tujuan Khusus<br />a. Untuk mengetahui kecemasan pasien sebelum pemberian terapi psikoreligius pada masa pra bedah.<br />b. Untuk mengetahui kecemasan pasien setelah pemberian terapi psikoreligius pada masa pra bedah.<br />c. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah pemberian terapi psikoreligius.<br />D. Manfaat Penelitian<br />1. Bagi Rumah Sakit<br />Sebagai masukan yang bermakna dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi.<br />2. Bagi Pendidikan<br />Sebagai sumbangan ilmiah dan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengaruh terapi psikoreligius terhadap pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi, serta dapat digunakan sebagai bahan pustaka atau bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.<br />3. Bagi Keluarga<br />Sebagai bahan informasi, utamanya bagi keluarga tentang pentingnya terapi psikoreligius untuk mengurangi kecemasan pada pasien praoperasi.<br />4. Bagi Peneliti<br />Sebagai pengalaman yang berharga bagi peneliti untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta mengembangkan diri khususnya dalam bidang penelitian.<br />5. Bagi Profesi Keperawatan<br />Sebagai pengembangan ilmu khususnya dalam keperawatan jiwa, yang selanjutnya dapat meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya memasyarakatkan terapi psikoreligius kepada pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi.<br />IV. TINJAUAN PUSTAKA<br />A. Tinjauan Umum tentang Terapi Psikoreligius<br />1. Defenisi<br />Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan dalam praktek keperawatan khususnya keperawatan jiwa yang menggunakan pendekatan keagamaan antara lain doa-doa, dzikir, ceramah keagamaan, dan lain-lain untuk meningkatkan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa (Ilham A, 2008).<br />Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan alternatif dengan cara pendekatan keagamaan melalui doa dan dzikir yang merupakan unsur penyembuh penyakit atau sebagai psikoterapeutik yang mendalam, bertujuan untuk membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang paling penting selain obat dan tindakan medis (Rozalino R, 2009).<br />Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dalam dunia kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep I, 2009).<br />Yang dimaksud dengan terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan memakai upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan terapi keagamaan, religius, atau psikoreligius, yang berarti terapi dengan menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan, seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dan sebagainya. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya dan tidak selalu dengan agama formal masing-masing individu (Wicaksana I, 2008).<br />Pengertian terapi spiritual atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh seorang pemuka agama dengan cara memberikan pencerahan, kegiatan ini dilakukan minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan setiap hari untuk pasien. Terapi spiritual berbeda dengan berdoa, doa tersebut ditiupkan disebuah gelas berisi air minum kemudian meminta klien meminum air tersebut, meskipun sama - sama menggunakan sebuah perilaku dalam sebuah agama atau kepercayaan tetapi akan sangat berbeda dengan terapi spiritual (Rosyidi I, 2009).<br />2. Unsur-Unsur Psikoreligi<br />Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius adalah sebagai berikut (Ilham A, 2008) :<br />a. Doa – doa<br />Dalam dimensi psikoreligius, doa berarti permohonan penyembuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa.<br />b. Dzikir <br />Dzikir adalah mengingat Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, mengucapkan baik secara lisan maupun dalam hati segala kuasa-Nya.<br />Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham A, 2008)<br />3. Proses Keperawatan pada Terapi Psikoreligius<br />Adapun proses keperawatan dalam terapi psikoreligius (Ilham A, 2008) antara lain :<br />a. Pengkajian <br />Pada dasarnya informasi yang perlu digali secara umum adalah<br />1) Afiliasi Agama<br />a) Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau tidak aktif.<br />b) Jenis partisipasi dalam kegiatan agama<br />2) Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi<br />a) Praktik kesehatan: diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara kegamaan.<br />b) Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap keyakinan.<br />c) Strategi koping.<br />3) Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi<br />a) Tujuan dan arti hidup<br />b) Tujuan dan arti kematian<br />c) Kesehatan dan pemeliharannnya<br />d) Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain<br />4) Pengkajian Data Subjektif<br />Pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh Stoll dalam Craven & Hirnle. Pengkajian mencakup 4 area, yaitu :<br />a) Konsep tentang Tuhan atau ke-Tuhan-an<br />b) Sumber harapan dan kekuatan<br />c) Praktik agama dan ritual<br />d) Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan<br />5) Pengkajian Data Objektif<br />Meliputi :<br />a) Pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal dan lingkungan<br />b) Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui observasi.<br />Pada umumnya karakteristik klien yang potensial mengalami distres spiritual adalah sebagai berikut :<br />a) Klien tampak kesepian dan sedikit pengunjung<br />b) Klien yang mengekspresikan rasa takut dan cemas<br />c) Klien yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem kepercayaan atau agama<br />d) Klien yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian<br />e) Klien yang akan dioperasi<br />f) Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau implikasi sosial dan agama<br />g) Mengubah gaya hidup<br />h) Preokupasi tentang hubungan agama dan kesehatan<br />i) Tidak dapat dikunjungi oleh pemuka agama<br />j) Tidak mampu atau menolak melakukan ritual spiritual<br />k) Memverbalisasikan bahwa penyakit yang dideritanya merupakan hukuman dari Tuhan<br />l) Mengekspresikan kemarahannya kepada Tuhan<br />m) Mempertanyakan rencana terapi karena bertentangan dengan keyakiann agama<br />n) Sedang menghadapi sakaratul maut (dying)<br />b. Diagnosa<br />Distres spiritual mungkin memengaruhi fungsi manusia lainnya. Berikut ini adalah diagnosis keperawatan, distres spiritual sebagai etiologi atau penyebab masalah lain :<br />1) Gangguan penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk merekonsiliasi penyakit dengan keyakinan spiritual.<br />2) Koping individual tidak efektif yang berhubungan dengan kehilangan agama sebagai dukungan utama (merasa ditinggalkan oleh Tuhan).<br />3) Takut yang berhubungan belum siap untuk menghadapi kematian dan pengalaman kehidupan setelah kematian.<br />4) Berduka yang disfungsional : keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa agama tidak mempunyai arti.<br />5) Keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang peduli termasuk Tuhan .<br />6) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan perasaan menjadi korban.<br />7) Gangguan harga diri yang berhubungan dengan kegagalan untuk hidup sesuai dengan ajaran agama.<br />8) Disfungsi seksual yang berhubungan dengan konflik nilai.<br />9) Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan distres spiritual.<br />10) Risiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan dengan perasaan bahwa hidup ini tidak berarti.<br /><br /><br />c. Perencanaan <br />1) Mengidentifikasi keyakinan spiritual yang memenuhi kebutuhan untuk memperoleh arti dan tujuan, mencintai dan keterikatan serta pengampunan<br />2) Menggunakan kekuatan, keyakinan, harapan dan rasa nyaman ketika menghadapi tantangan berupa penyakit, cedera atau krisis kehidupan lain.<br />3) Mengembangkan praktek spiritual yang memupuk komunikasi dengan diri sendiri, dengan Tuhan dan dengan dunia luar.<br />4) Kepuasan dengan keharmonisan antara keyakinan spiritual dengan kehidupan sehari-hari<br />d. Implementasi <br />1) Periksa keyakinan spiritual pribadi perawat<br />2) Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spiritualnya.<br />3) Jangan mengasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual.<br />4) Mengetahui pesan nonverbal tentang kebutuhan spiritual.<br />5) Beri respon secara singkat, spesifik dan faktual.<br />6) Mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah klien.<br />7) Menerapkan teknik komunikasi terapeutik dengan teknik mendukung, menerima, bertanya, memberi informasi, refleksi, menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki klien.<br />8) Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal klien.<br />9) Bersikap empati yang berarti memahami perasaan klien.<br />10) Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak tentu menyetujui klien.<br />11) Menentukan arti dari situasi klien bagaimana klien berespon terhadap penyakit<br />12) Apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan hukuman, cobaan, atau anugerah dari Tuhan<br />13) Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agama<br />14) Memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit<br />e. Evaluasi <br />1) Mampu beristirahat dengan tenang<br />2) Menyatakan penerimaan keputusan moral atau etika<br />3) Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan<br />4) Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama<br />5) Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas<br />6) Menunjukkan perilaku lebih positif <br />7) Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.<br />B. Tinjauan Umum tentang Kecemasan<br />1. Defenisi <br />Kecemasan (anxiety) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai kekuatiran, kegelisahan, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi. Itu juga berarti suatu perasaan takut, kuatir bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan (Salam N, 2009).<br />Dalam Kamus Konseling (Sudarsono, 2001), kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut yang menonjol. Dalam Kamus Konseling Sudarsono, dikenal 3 (tiga) jenis kecemasan yang senantiasa ada dalam diri kita. Ketiga kecemasan itu adalah :<br />a. Kecemasan Alamiah (natural anxiety)<br />Kecemasan alamiah (natural anxiety) merupakan kekuatiran yang spesifik, relaistik, masuk akal, dan berperan membawa pertolongan. Ia berkaitan dengan ketidakpastian alamiah di tengah kehidupan, ketidakpastian tentang bagaimana sesuatu bakal terjadi. Ia juga merangkum konflik antara diri sendiri dengan dunia kehidupan. <br /><br />b. Kecemasan Melumpuhkan (toxic anxiety)<br />Kecemasan melumpuhkan (toxic anxiety) merupakan kekuatiran bersifat kabur, non-realistik, tak masuk akal, repetitif namun tak efektif. Ia merangkum konflik diri sendiri dengan diri sendiri. Ia bersumber dari afeksi bawah sadar yaitu keinginan, pikiran dan memori yang disupresikan. Ia pula bisa bersumber dari kecemasan alamiah dan luhur yang ditekan dan tidak diekspresikan. Kecemasan ini dapat meracuni dan melumpuhkan diri kita sehingga ia di sebut kecemasan toksik.<br />c. Kecemasan Luhur (sacred anxiety)<br />Kecemasan luhur (sacred anxiety) merupakan keprihatinan-keprihatinan atau kegelisahan-kegelisahan akhirat tentang kematian dan makna serta tujuan kehidupan. Ia adalah hasil interaksi rasionalitas sadar, afeksi bawah sadar dan rahmat Tuhan. Ia lahir dari ketidaktahuan eksistensial yang direpresentasikan oleh pertanyaan seperti: apa makna dan tujuan kehidupan, apa nasibku setelah kematian dan apakah ada Tuhan. Kecemasan ini merangkum konflik diri sendiri terhadap kehidupan. Ia bersifat terus menerus tapi hanya sekali waktu hadir dalam kehidupan.<br />Menurut Ramlah (2003) kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Sedangkan kecemasan menurut (Stuart G, 2006) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan perasaan tidak pasti dan tidak berbahaya.<br />2. Etiologi<br />Karakteristik kecemasan berbeda dengan rasa takut. Ketakutan memiliki obyek yang jelas dimana seseorang dapat mengidentifikasikan dan menggambarkan obyek ketakutan. Ketakutan melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam sedangkan kecemasan merupakan penilaian emosional terhadap penilaian itu. Ketakutan diakibatkan oleh paparan fisik maupun psikologis terhadap situasi yang mengancam. Ketakutan menyebabkan kecemasan. Dua pengalaman emosi ini dibedakan dalam ucapan yaitu kita mengatakan memiliki rasa takut tetapi menjadi cemas. Inti permasalahan dalam suatu bentuk kecemasan adalah pada penjagaan diri. Kecemasan terjadi sebagai akibat adanya ancaman terhadap keberadaan diri (selfhood), self-esteem (harga diri), atau pada identitas diri, kecemasan dapat terjadi pada orang yang takut mendapatkan hukuman, celaan, penolakan cinta, gangguan hubungan, isolasi, atau kehilangan fungsi tubuh. (Stuart, 2006), rasa cemas disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :<br />a. Faktor biologis atau fisiologis, berupa ancaman akan kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan keamanan. <br />b. Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan orang/benda yang dicintai, perubahan status sosial/ekonomi. <br />c. Faktor perkembangan, yaitu ancaman pada perkembangan masa bayi, anak, remaja. <br />3. Gejala<br />Kecemasan disadari atau tidak selalu hadir dalam hidup ketika kita berinteraksi dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar kita. Gejala kecemasan dalam (Salam N, 2009) ditandai pada tiga aspek : <br />a. Aspek biologis atau fisiologis, seperti peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, tarikan nafas menjadi pendek dan cepat, berkeringat dingin, termasuk di telapak tangan, nafsu makan hilang, mual/ muntah, sering buang air kecil, nyeri kepala, tak bisa tidur, mengeluh, pembesaran pupil dan gangguan pencernaan. <br />b. Aspek intelektual atau kognitif; seperti ketidakmampuan berkonsentrasi, penurunan perhatian dan keinginan, tidak bereaksi terhadap rangsangan lingkungan, penurunan produktifitas, pelupa, orientasi lebih ke masa lampau daripada masa kini/masa depan. <br />c. Aspek emosional dan perilaku; seperti penarikan diri, depresi, mudah tersinggung, mudah menangis, mudah marah dan apatisme.<br />4. Tingkat Kecemasan<br />Respon kecemasan terjadi dalam sebuah rentang. Peplau membagi dalam empat tingkat yaitu ringan, moderat, berat, dan panik. <br /><br /><br />Tingkat Kecemasan yaitu :<br />a. Rasa cemas ringan: berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Keadaan ini akan meningkatkan persepsi individu, yang mengakibatkan orang akan berhati-hati atau waspada dan mendorong manusia untuk belajar serta kreatif. <br />b. Rasa cemas sedang: lapangan persepsi terhadap lingkungan menurun. Individu lebih memfokuskan hal yang penting saat itu saja dan mengesampingkan hal lainnya, dan dapat melakukan hal yang terarah <br />c. Rasa cemas berat: lapangan persepsi sangat menurun. Lapangan persepsi menurun, pemikiran pada hal yang spesifik dan terinci tidak untuk yang lain, tidak mampu berfikir realistis, butuh banyak pengarahan, dia sudah harus diberi pertolongan atau tuntunan. <br />d. Panik: lapangan persepsi sudah sangat sempit. Individu tidak dapat mengendalikan diri lagi. Bila manusia salah orientasi; ketika menghadapi masalah pelik; rasa dan periksa tidak berfungsi; Disebut orang sedang panik. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Seseorang mungkin menjadi pucat, tekanan darah menurun, hipotensi, koordinasi otot-otot lemah, nyeri, sensasi pendengaran minimal. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Suzanne, S.C, 2002).<br />Menurut Peplau kecemasan dapat dikomunikasikan secara interpersonal karena itu perawat harus memperhatikan dan sekaligus mengatasi kecemasan personal (Chitty,1997). Kesadaran diri juga penting untuk mencegah perawat larut dalam kecemasan klien (Salam N, 2009).<br />5. Alat Ukur Kecemasan<br />Derajat kecemasan dapat diukur dengan berbagai instrumen. Maramis M.E menyatakan ada tes-tes kecemasan dengan pertanyaan langsung, mendengarkan cerita penderita serta mengobservasinya terutama perilaku nonverbalnya. Ini sangat berguna dalam menentukan adanya kecemasan dan untuk menetapkan tingkatnya. Skala kecemasan dapat diukur dengan menggunakan Semantik Differensial Scale maupun Visual Analog dapat dilakukan (Burns & Groove, 1999). Instrumen lain yang dapat digunakan untuk mengukur skala kecemasan adalah Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yaitu mengukur aspek kognitif dan afektif yang meliputi (Hidayat A, 2007): <br />Cara penilaian :<br />Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali<br />Skor 1 : 1 dari gejala yang ada<br />Skor 2 : separuh dari gejala yang ada<br />Skor 3 : lebih dari separuh gejala yang ada<br />Skor 4 : Semua gejala ada<br />a. Perasaan cemas, ditandai dengan :<br />1) Cemas<br />2) Firasat buruk<br />3) Takut akan pikiran sendiri<br />4) Mudah tersinggung<br />b. Ketegangan yang ditandai oleh :<br />1) Merasa tegang<br />2) Lesu<br />3) Tidak dapat istirahat tenang<br />4) Mudah terkejut<br />5) Mudah menangis<br />6) Gemetar<br />7) Gelisah<br />c. Ketakutan ditandai oleh :<br />1) Ketakutan pada gelap<br />2) Ketakutan ditinggal sendiri<br />3) Ketakutan pada orang asing<br />4) Ketakutan pada binatang besar<br />5) Ketakutan pada keramaian lalu lintas<br />6) Ketakutan pada kerumunan orang banyak<br />d. Gangguan tidur ditandai oleh :<br />1) Sukar masuk tidur<br />2) Terbangun malam hari<br />3) Tidur tidak nyenyak<br />4) Bangun dengan lesu<br />5) Mimpi-mimpi<br />6) Mimpi buruk<br />7) Mimpi yang menakutkan<br />e. Gangguan kecerdasan ditandai oleh :<br />1) Sukar konsentrasi<br />2) Daya ingat buruk<br />3) Daya ingat menurun<br />f. Perasaan depresi ditandai oleh :<br />1) Kehilangan minat<br />2) Sedih<br />3) Bangun dini hari<br />4) Kurangnya kesenangan pada hobi<br />5) Perasaan berubah sepanjang hari<br />g. Gejala Somatik/Fisik (otot) ditandai oleh :<br />1) Nyeri pada otot<br />2) Kaku<br />3) Kedutan otot<br />4) Gigi gemeruntuk<br />5) Suara tidak stabil<br />h. Gejala Somatik/Fisik (sensorik) ditandai oleh :<br />1) Tinitus<br />2) Penglihatan kabur<br />3) Muka merah dan pucat<br />4) Merasa lemas<br />5) Perasaan ditusuk-tusuk<br />i. Gejala Kardiovaskuler (Jantung & pembuluh darah) ditandai oleh :<br />1) Takikardia (denyut hantung cepat)<br />2) Berdebar-debar<br />3) Nyeri dada<br />4) Denyut nadi mengeras<br />5) Rasa lemas seperti mau pingsan<br />6) Detak jantung hilang sekejap<br />j. Gejala Respiratori (pernafasan) ditandai oleh :<br />1) Rasa tertekan atau sempit di dada<br />2) Perasaan tercekik<br />3) Merasa nafas pendek/ sesak<br />4) Sering menarik nafas panjang<br />k. Gejala Gastrointestinal (pencernaan) ditandai oleh :<br />1) Sulit menelan<br />2) Perut melilit<br />3) Gangguan pencernaan<br />4) Nyeri lambung sebelum atau sesudah makan<br />5) Rasa panas di perut<br />6) Perut terasa kembung atau penuh<br />7) Muntah<br />8) Defekasi lembek (BAB lembek)<br />9) Konstipasi (sukar buang air besar)<br />10) Berat badan menurun<br />l. Gejala Urogenital ditandai oleh :<br />1) Sering kencing<br />2) Tidak dapat menahan kencing<br />3) Tidak datang bulan (tidak ada haid)<br />4) Darah haid berlebihan <br />5) Darah amat sedikit<br />6) Masa haid berkepanjangan<br />7) Masa haid amat pendek<br />8) Haid beberapa kali dalam sebulan<br />9) Frigiditas (menjadi dingin)<br />10) Ejakulasi dini<br />11) Ereksi melemah<br />12) Ereksi hilang<br />13) Impoten<br />m. Gejala Otonom ditandai oleh :<br />1) Mulut kering<br />2) Muka merah kering<br />3) Mudah berkeringat<br />4) Pusing, sakit kepala<br />5) Kepala terasa berat<br />6) Bulu - bulu berdiri<br />n. Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh :<br />1) Mulut kering<br />2) Muka merah<br />3) Mudah berkeringat<br />4) Kepala pusing<br />5) Kepala terasa berat<br />6) Kepala terasa sakit<br />7) Bulu-bulu berdiri<br /><br /><br />Penilaian hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor item 1 sampai dengan 14 dengan ketentuan sebagai berikut :<br />Keterangan :<br />Hasil penilaian skor <br />Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan<br />14-20 = kecemasan ringan<br />21-27 = kecemasan sedang<br />28-41 = kecemasan berat<br />42-56 = kecemasan berat sekali (panik)<br />C. Tinjauan Umum tentang Terapi Pembedahan<br />Terapi pembedahan adalah suatu tindakan medis yang bersifat invasif yang berguna untuk pengobatan penyakit dan menegakkan diagnostik, di mana untuk jenis tindakannya ada dua jenis yaitu secara elektif dan cito atau segera ( Levis, 2000). Pembedahan elektif merupakan kegiatan yang direncanakan secara hati-hati, terantisipasi dan dijadwalkan dengan jenis pembedahannya herniatomi, tonsilektomi, sirkumsisi, biopsy tumor, debridement, exisi. Pembedahan cito atau segera dilakukan karena alasan kedaruratan yang mengancam jiwa. Pembedahan cito antara lain appendiktomi, hidrocel, invaginasi, vena seksi dan lainnya (Suzanne, S.C, 2002).<br />Operasi atau pembedahan merupakan semua tindak pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah. Tindakan pembedahan atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala yang sering adalah nyeri (Sjamsuhidajat, 1998).<br />Pembedahan merupakan cabang dari ilmu medis yang ikut berperan terhadap kesembuhan dari luka atau penyakit melalui prosedur manual atau melalui operasi dengan tangan (Wane N, 2010).<br />Pembedahan merupakan terapi atau chikitsa yang paling baik, cepat dan berhasil untuk menanggulangi penyakit tertentu yang memerlukan pengangkatan atau menghilangkan bagian tubuh yang menyebabkan terjadinya penyakit ( Nala N, 2011).<br />Pembedahan adalah penyembuhan penyakit dengan jalan memotong, mengiris anggota tubuh yang sakit. Biasanya dilaksanakan dengan anestesi, dirawat inap dan jenis operasi yang dilaksanakan lebih serius daripada operasi kecil. Operasi ini beresiko pada ancaman jiwa. (Hasanuddin M, 2008).<br /><br /><br /><br />V. KERANGKA KONSEP<br />A. Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti<br />Saat ini perkembangan terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial.<br />Pada penelitian ini, variabel yang diteliti adalah pegaruh doa-doa dan dzikir (terapi psikoreligius) terhadap tingkat kecemasan pasien yang secara rinci akan di uraikan dalam kerangka konsep.<br />B. Bagan Kerangka Konsep<br />Beradasarkan landasan teori yang telah diuraikan pada tinjauan kepustakaan, maka secara garis besar skema mengenai sistem keterkaitan antara konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :<br />Intervensi Terapi Psikoreligius<br /><br /><br />Kecemasan Kecemasan<br />Pre Intervensi Post Intervensi<br /><br />O1 O²<br />Keterangan :<br />: Variabel Independen<br />: Variabel Dependen<br />C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif<br />1. Terapi psikoreligius<br />Terapi psikoreligius dalam penelitian ini adalah pendekatan keagamaan melalui doa-doa, dzikir dan nasehat keagamaan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit.<br />Kriteria Objektif :<br />a. Mendapat terapi : Bila responden diberikan terapi psikoreligius dalam bentuk nasehat keagamaan, doa dan dzikir selama kurang lebih 15 menit.<br />b. Tidak mendapat terapi : Bila responden tidak diberikan terapi psikoreligius dalam bentuk nasehat keagamaan, doa dan dzikir selama kurang lebih 15 menit.<br />2. Tingkat Kecemasan Pasien<br />Tingkat kecemasan pasien dalam penelitian ini segala bentuk kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan pasien terhadap rencana tindakan pembedahan yang akan pasien tersebut jalani.<br /><br />Kriteria Objektif :<br />a. Meningkat : Bila nilai kecemasan pasien setelah diberikan intervensi (terapi psikoreligius) dibandingkan sebelum pemberian intervensi, meningkat.<br />b. Menurun : Bila nilai kecemasan pasien setelah diberikan intervensi (terapi psikoreligius) dibandingkan sebelum pemberian intervensi, menurun.<br />D. Hipotesis Penelitian<br />a. Hipotesis Nol (Ho)<br />Tidak ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien pra operasi.<br />b. Hipotesis Alternatif (Ha)<br />Ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien pra operasi.<br />VI. METODE PENELITIAN<br />A. Jenis dan Desain Penelitian<br />Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka desain penelitian yang digunakan adalah pre experimental design dengan desain uji Pre-Post Test Design. Pre experimental design merupakan eksperimen yang paling mudah serta tidak untuk membuktikan kausalitas. Pre-post test design merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara memberikan pretest (pengamatan awal) terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian dilakukan posttest (pengamatan kedua) (Hidayat A, 2007).<br />B. Populasi Dan Sampel<br />1. Populasi <br />Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempumyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004).<br />Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani pembedahan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.<br />2. Sampel <br />Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagai jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi menurut Sastroasmoro dan Ismail dalam Nursalam (2003).<br />Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani pembedahan dan memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi yang berada di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.<br />Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu cara pengambilan sampel untuk tujuan tertentu dengan cara yang tidak harus berkesinambungan.<br />Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan perhitungan maupun acuan tabel yang dikembangkan para ahli. Secara umum, untuk penelitian korelasional jumlah sampel adalah 30, sedangkan dalam penelitian eksperimen jumlah sampel minimum 15 dari masing-masing kelompok dan untuk penelitian survey jumlah sampel minimum adalah 100. Besaran atau jumlah sampel ini sampel sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti. Namun, dalam hal tingkat kesalahan, pada penelitian sosial maksimal tingkat kesalahannya adalah 5% (0,05). Makin besar tingkat kesalahan maka makin kecil jumlah sampel. Namun yang perlu diperhatikan adalah semakin besar jumlah sampel (semakin mendekati populasi) maka semakin kecil peluang kesalahan generalisasi dan sebaliknya, semakin kecil jumlah sampel (menjauhi jumlah populasi) maka semakin besar peluang kesalahan generalisasi (Teorionline, 2010).<br />Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti membatasi sampel yaitu sampai 30 sampel atau 30 orang pasien yang akan menjalani operasi sebagai sampel.<br />C. Waktu Dan Tempat<br />1. Waktu <br />Penelitian akan dilaksanakan selama 1 bulan sejak proposal penelitian ini selesai diseminarkan, yaitu bulan Mei 2011.<br />2. Tempat<br />Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.<br /><br />D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi<br />Karena penelitian ini membutuhkan jawaban yang sejujurnya dan memperoleh jawaban yang akurat, maka sampel dalam penelitian ini ditambah dengan persyaratan sebagai berikut :<br />a. Kriteria Inklusi<br />Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :<br />1) Pasien yang akan menjalani pembedahan 1 hari kemudian.<br />2) Beragama Islam<br />3) Pasien yang bersedia untuk diterapi dan diteliti<br />4) Dalam keadaan sadar, bisa membaca dan menulis.<br />5) Jenis operasi besar, antara lain laparatomi, prostatektomi, herniatomi, appendiktomi, tonsilektomi, biopsy tumor, debridement, exisi, hidrocel, invaginasi, vena seksi, fraktur, sectio, digestif, thoraks dan THT.<br />6) Umur 18 tahun ke atas<br />b. Kriteria Eksklusi<br />Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :<br />1) Pasien yang tidak kooperatif.<br />2) Pasien yang menolak untuk melanjutkan penelitian.<br />3) Pasien yang bersedia untuk diterapi tetapi tidak bersedia untuk diteliti.<br /><br />E. Cara Pengumpulan Data Dan Analisa Data<br />1. Pengumpulan Data<br />Untuk mendapatkan data atau informasi yang diinginkan, peneliti menggunakan alat ukur kuisioner skala kecemasan dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Peneliti akan bekerjasama dengan pihak rumah sakit yang berwewenang melakukan tugas terapi psikoreligius dengan cara pembacaan doa – doa dan juga dzikir kepada pasien yang akan menjalani operasi di ruang bedah dan juga di ruangan lainnya. Pertama – tama, peneliti akan mengukur tingkat kecemasan pasien menggunakan skala kecemasan dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien dan dilakukan 12 jam sebelum intervensi (pemberian terapi psikoreligius). Setelah wawancara, dilakukanlah intervensi kepada pasien pra operasi yaitu dengan memberikan terapi psikoreligius dengan doa-doa dan dzikir. Setelah dilakukan intervensi, 12 jam kemudian peneliti kembali mengukur tingkat kecemasan pasien menggunakan skala kecemasan juga dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Teknik wawancara langsung digunakan oleh peneliti karena dengan wawancara secara langsung maka akan terjadi kontak langsung dengan pasien. Peneliti akan mendapatkan kedekatan emosional dengan pasien dan juga agar pasien jujur mengakui dan memberikan data kecemasannya secara jujur dan terbuka. <br />2. Analisa Data<br />Terapi psikoreligius dikatakan berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi jika skala kecemasan pasien sebelum dilakukan intervensi dibandingkan dengan skala kecemasan pasien setelah dilakukan intervensi, menurun. Terapi psikoreligius dikatakan tidak berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi jika skala kecemasan pasien sebelum dilakukan intervensi dibandingkan dengan skala kecemasan pasien setelah dilakukan intervensi, tetap atau meningkat.<br />F. Langkah Pengolahan Data<br />Setelah data – data terkumpul, maka peneliti melakukan :<br />1. Editing <br />Proses editing (penyuntingan data) dilakukan dengan memeriksa setiap lembar kuisioner skala kecemasan yang didapatkan oleh peneliti setelah melakukan uji pre-post test dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik dengan pasien.<br />2. Pemberian kode <br />Pada tahap ini yang dilakukan adalah pemberian kode atau tanda dari tiap lembar kuisioner skala kecemasan yang telah didapatkan dari hasil wawancara peneliti dengan pasien pra operasi. Untuk mempermudah pemasukan data maka dibuat format koding, kemudian hasil koding di masukkan ke dalam tabel pengkodean. Setelah itu, data siap di masukkan kedalam komputer.<br />3. Tabulasi<br />Pada tahap ini, dilakukan pengelompokan data dalam suatu table sesuai dengan tujuan penelitian. <br />4. Statistik yang digunakan<br />a. Analisis deskriptif<br />b. Uji Independent Sample t-Test, merupakan suatu uji statistik parametrik dengan pendekatan skala interval, dengan derajat kemaknaan <0,05. Dalam melakukan analisa data menggunakan bantuan program SPSS.<br />G. Keterbatasan<br />Ada beberapa macam keterbatasan yang didapatkan oleh peneliti antara lain :<br />1. Insrumen penelitian<br />Pengumpulan data dengan menggunakan observasi dan kuisioner skala kecemasan memungkinkan kurang teliti terhadap pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti.<br />2. Faktor Feasibility<br />Keterbatasan waktu, sarana, dana, serta kemampuan peneliti sehingga mempengaruhi perumusan, penyusunan dan pengolahan data.<br />H. Masalah Etika<br />Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Menurut (Hidayat A, 2007) masalah etika yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut :<br />1. Informed Consent ( Persetujuan)<br />Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien. <br />2. Anonimity (Tanpa nama)<br />Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.<br /><br />3. Confidentiality (Kerahasiaan)<br />Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.<br /><br />VII. PERSONALIA PENELITIAN<br />A. Pembimbing<br />1. Pembimbing I : Faisal Asdar, S.Kep., Ns., M.Kes., Sp.Pd.<br />2. Pembimbing II : M. Askar AS, S.Kep., Ns., M.Kes., Sp.B.<br />B. Pelaksana <br />Nama : Sudirman<br />NIM : NH0107176Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-45993838619296407272011-05-30T17:44:00.001-07:002011-05-30T17:44:45.700-07:00Proposal TAK: HalusinasiProposal TAK: Halusinasi<br />THERAPY AKTIVITAS KELOMPOK<br />STIMULASI PERSEPSI: HALUSINASI<br /> <br />1. Latar Belakang<br />Pada pasien gangguan jiwa dengan kasus Schizoprenia selalu diikuti dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi. Terjadinya halusinasi dapat menyebabkan klien menjadi menarik diri terhadap lingkungan sosialnya, hanyut dengan kesendirian dan halusinasinya sehingga semakin jauh dari sosialisasi dengan lingkungan disekitarnya.<br />Atas dasar tersebut, maka kami menganggap dengan Therapy Aktivitas Kelompok (TAK) klien dengan gangguan persepsi sensori dapat tertolong dalam hal sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, tentu saja klien yang mengikuti therapy ini adalah klien yang sudah mampu mengontrol dirinya dari halusinasi sehingga pada saat TAK klien dapat bekerjasama dan tidak mengganggu anggota kelompok yang lain.<br /> <br />2. Pengertian/ Landasan Theory<br />a. Defenisi Halusinasi<br />Halusinasi adalah satu persepsi yang salah oleh panca indera tanpa adanya rangsang (stimulus) eksternal (Cook & Fontain, Essentials of Mental <br />Health Nursing, 1987).<br /> <br />b. Klasifikasi Halusinasi <br />Pada klien dengan gangguan jiwa ada beberapa jenis halusinasi dengan karakteristik tertentu, diantaranya :<br />1) Halusinasi pendengaran<br />Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.<br /> <br /> <br /> <br />2) Halusinasi penglihatan<br />Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan/atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan. <br />3) Halusinasi penghidu<br />Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang–kadang terhirup bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia. <br />4) Halusinasi peraba<br />Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.<br />5) Halusinasi pengecap<br />Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.<br />6) Halusinasi sinestetik<br />Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.<br /> <br />c. Tahapan Halusinasi, Karakteristik Dan Perilaku Yang Ditampilkan<br /> TAHAP KARAKTERISTIK PERILAKU KLIEN<br />Tahap I<br />Memberi rasa nyaman tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan. <br />Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas <br />Fikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontol kesadaran, nonpsikotik. Tersenyum, tertawa sendiri<br />Menggerakkan bibir tanpa suara<br />Pergerakkan mata yang cepat <br />Respon verbal yang lambat<br />Diam dan berkonsentrasi<br />Tahap II<br />Menyalahkan <br />Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati Pengalaman sensori menakutkan<br />Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut <br />Mulai merasa kehilangan kontrol <br />Menarik diri dari orang lain non psikotik. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah <br />Perhatian dengan lingkungan berkurang<br />Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja<br />Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas <br />Tahap III <br />Mengontrol <br />Tingkat kecemasan berat <br />Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi).<br />Isi halusinasi menjadi atraktif.<br />Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik.<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /> Perintah halusinasi ditaati.<br />Sulit berhubungan dengan orang lain.<br />Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik.<br />Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat<br />Tahap IV <br />Klien sudah dikuasai oleh Halusinasi.<br />Klien panik.<br /> Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik. Perilaku panik.<br />Resiko tinggi mencederai.<br />Agitasi atau kataton.<br />Tidak mampu berespon terhadap lingkungan.<br /> <br />d. Hubungan Schizoprenia dengan Halusinasi <br />Halusinasi pendengaran merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi pada klien dengan gangguan jiwa (schizoprenia). Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara–suara bising atau mendengung. Tetapi paling sering berupa kata–kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respons tertentu seperti: bicara sendiri, bertengkar atau respons lain yang membahayakan.<br />Bisa juga klien bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan penuh perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati. Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor dari gangguan schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa mania depresif dan syndroma otak organik. <br />Gangguan persepsi yang utama pada skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh kecemasan, halusinasi menghasilkan tingkah laku yang tertentu, gangguan harga diri, kritis diri, atau mengingkari rangsangan terhadap kenyataan.<br />Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada skizoprenia, suara – suara biasanya berasal dari Tuhan, setan, tiruan atau relatif. Halusinasi ini menghasilkan tindakan/perilaku pada klien seperti yang telah diuraikan tersebut di atas (tingkat halusinasi, karakteristik dan perilaku yang dapat diamati).<br /> <br />3. Metode Therapy Aktifitas Kelompok<br />Metode yang digunakan pada therapy aktifitas kelompok (TAK) ini adalah metode:<br />1. Diskusi dan tanya jawab.<br />2. Melengkapi jadwal harian.<br />Kegiatan TAK menggunakan sistem Sesi yang dibagi menjadi lima sesi, setiap sesi memiliki tujuan khusus yang berbeda. Pada TAK kali ini adalah melanjutkan kegiatan TAK sebelumnya, kali ini adalah TAK untuk sesi kelima yaitu tentang program pengobatan.<br /> <br /> <br /> <br />4. Tujuan Therapy Aktivitas Kelompok<br />a. Tujuan Umum<br />1. Klien mampu mengenali halusinasi yang dialaminya.<br />2. Klien mampu mengontrol halusinasinya.<br />3. Klien mengikuti program pengobatan secara optimal.<br /> <br />b. Tujuan Khusus (Tujuan Sesi 5: Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat)<br />1. Klien memahami pentingnya patuh minum obat.<br />2. Klien memahami akibat tidak patuh minum obat.<br />3. Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.<br /> <br />5. Kriteria Anggota<br />Klien sebagai anggota yang mengikuti therapy aktifitas kelompok ini adalah:<br />a. Klien dengan riwayat schizoprenia dengan disertai gangguan persepsi sensori; halusinasi.<br />b. Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif atau mengamuk, dalam keadaan tenang.<br />c. Klien dapat diajak kerjasama (cooperative).<br /> <br />6. Waktu dan Tempat Pelaksanaan<br />Therapy Aktifitas Kelompok ini dilaksanakan pada:<br />Hari, Tanggal : Kamis, 26 Februari 2009.<br />Waktu : Pukul 13.15 WIB s.d selesai<br />Tempat : Ruang Bougenvile RSJ Prov. Jabar.<br /> <br />7. Nama Klien dan Ruangan<br />Klien yang mengikuti kegiatan berjumlah 5 orang, sedangkan sisanya sebagai cadangan jika klien yang ditunjuk berhalangan. <br />Adapun nama-nama klien yang akan mengikuti TAK serta pasien sebagai cadangan yaitu:<br /> <br />Klien peserta TAK:<br />a. Tn. Hendra<br />b. Tn. Fran<br />c. Tn. Iyang<br />d. Tn. Akmaludin<br />e. Tn. Ade Sunarta<br />Klien peserta TAK cadangan:<br />a. Ny. Entin<br />b. Ny. Neng<br /> <br />8. Media dan Alat<br />TAK kali ini tidak menggunakan alat atau media yang spesifik, penggunaan alat hanya yang ada diruangan saja seperti:<br />a. Spidol dan whiteboard / papan tulis.<br />b. Jadwal kegiatan harian (jika ada yang dibuat saat TAK sebelumnya).<br />c. Beberapa contoh obat.<br />d. Tape recorder untuk game jika ada.<br /> <br />9. Susunan Pelaksana<br />Yang bertugas dalam TAK kali ini disesuaikan dengan petugas setiap Sesi yang telah disepakati. Sebagai berikut:<br />a. Leader : Anton Purkon Patoni<br />b. Co. Leader : Rendra Gustiawan<br />c. Fasilitator 1 : Adrian Fauzirakhman<br />d. Fasilitator 2 : Susi Susanti<br />e. Fasilitator 3 : Siti Nurhayati<br />f. Fasilitator 4 : Sri Afani Setia Ningrum<br />g. Fasilitator 5 : Abdilah Abdul Aziz<br />h. Observer : Tita Rosita<br /> <br /> <br /> <br />10. Uraian Tugas Pelaksana<br />a. Leader<br /> Tugas:<br />Memimpin jalannya therapy aktifitas kelompok.<br />Merencanakan, mengontrol, dan mengatur jalannya therapy.<br />Menyampaikan materi sesuai tujuan TAK.<br />Memimpin diskusi kelompok.<br />b. Co. Leader<br /> Tugas:<br />Membuka acara.<br />Mendampingi Leader.<br />Mengambil alih posisi leader jika leader bloking.<br />Menyerahkan kembali posisi kepada leader.<br />Menutup acara diskusi.<br />c. Fasilitator<br /> Tugas:<br />Ikut serta dalam kegiatan kelompok.<br />Memberikan stimulus dan motivator pada anggota kelompok untuk aktif mengikuti jalannya therapy.<br />d. Observer<br /> Tugas:<br />Mencatat serta mengamati respon klien (dicatat pada format yang tersedia).<br />Mengawasi jalannya aktifitas kelompok dari mulai persiapan, proses, hingga penutupan.<br /> <br />11. Mekanisme Kegiatan<br />1. Persiapan<br />a. Mengingatkan kontrak pada klien yang telah mengikuti sesi 4.<br />b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.<br />2. Orientasi<br />a. Salam tarapeutik<br /> 1. Salam dari terapis kepada klien.<br /> 2. Terapis dank lien memakai papan nama.<br />b. Evaluasi / validasi<br /> 1. Menanyakan perasaan klien saat ini.<br /> 2. Terapis menanyakan pengalaman klien mengontrol halusinasi setelah menggunakan tiga cara yang telah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan, dan bercakap-cakap).<br />c. Kontrak<br /> 1. Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.<br /> 2. Menjelaskan aturan main berikut:<br />•Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin kepada terapis.<br />•Lama kegiatan 30 menit.<br />•Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.<br />3. Tahap kerja<br />a. Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh karena obat member perasaan tenang, dan memperlambat kambuh.<br />b. Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu penyebab kambuh.<br />c. Terapis meminta klien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu memakannya. Buat daftar di whiteboard.<br />d. Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar dosis obat.<br />e. Minta klien menyebutkan lima benar cara minum obat, secara bergiliran.<br />f. Berikan pujian pada klien yang benar.<br />g. Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di whiteboard).<br />h. Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di whiteboard).<br />i. Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah halusinasi / kambuh.<br />j. Menjelaskan akibat / kerugian tidak patuh minum obat, yaitu kejadian halusinasi / kambuh.<br />k. Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat.<br />l. Member pujian tiap kali klien benar.<br />4. Tahap terminasi.<br />a. Evalusi<br /> 1. Terapis menanyakan perasan klien setelah mengikuti TAK.<br /> 2. Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari.<br /> 3. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.<br />b. Tindak lanjut<br />Menganjurkan klien menggunakan empat cara mengontol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakap-cakap, dan patuh minum obat.<br />c. Kontrak yang akan datang<br /> 1. Terapis mengakhiri sesi TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi.<br /> 2. Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai dengan indikasi klien.<br /> <br />12. Evalusi dan Dokumentasi<br />Evaluasi<br />Evalusi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan halusinasi Sesi 5, kemampuan klien yang diharapkan adalah menyebutkan lima benar cara minum obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Gunakan formulir evaluasi yang ada.<br /> <br /> <br />Dokumentasi<br />Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti Sesi 5 benar cara minum obat, manfaat minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat (kambuh). Anjurkan klien minum obat dengan cara yang benar.<br /> <br />12. Setting Tempat<br /> <br />1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.<br />2. Ruangan nyaman dan tenang.<br /> <br /> Keterangan:<br /> : Leader<br /> <br />: Co. Leader<br /> <br />: Fasilitator<br /> : Klien<br /> <br />: Observer<br /> <br /> <br /> <br />13. Tata Tertib dan Program Antisipasi<br />a. Tata Tertib<br />1) Peserta bersedia mengikuti kegiatan TAK.<br />2) Peserta wajib hadir 5 menit sebelum acara dimulai.<br />3) Peserta berpakaian rapih, bersih dan sudah mandi.<br />4) Tidak diperkenankan makan, minum, merokok selama kegiatan (TAK) berlangsung.<br />5) Jika ingin mengajukan/menjawab pertanyaan, peserta mengangkat tangan kanan dan berbicara setelah dipersilahkan oleh pemimpin.<br />6) Peserta yang mengacaukan jalannya acara akan dikeluarkan.<br />7) Peserta dilarang keluar sebelum acara TAK selesai.<br />8) Apabila waktu TAK sesuai kesepakatan telah habis, namun Tak belum selesai, maka pemimpin akan meminta persetujuan anggota untuk memperpanjang waktu TAK kepada anggota.<br />b. Program Antisipasi<br />Ada beberapa langkah yanga dapat diambil dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi pada pelaksanaan TAK. Langkah-langkah yang diambil dalam program antisipasi masalah adalah:<br />1) Apabila ada klien yang telah bersedia untuk mengikuti TAK, namun pada saat pelaksanaan TAK tidak bersedia, maka langkah yang diambil adalah: mempersiapkan klien cadangan yang telah diseleksi sesuai dengan kriteria dan telah disepakati oleh anggota kelompok lainnya.<br />2) Apabila dalam pelaksanaan ada anggota kelompok yang tidak mentaati tata tertib yang telah disepakati, maka berdasarkan kesepakatan ditegur terlebih dahulu dan bila masih tidak cooperative maka dikeluarkan dari kegiatan.<br />3) Bila ada anggota kelompok yang melakukan kekerasan, leader memberitahukan kepada anggota TAK bahwa perilaku kekerasan tidak boleh dilakukan.<br /> <br />15. Penutup<br />Demikian proposal ini kami buat, atas perhatian dan dukungan serta partisipasinya dalam kegiatan ini kami ucapkan terimakasih.<br /><br />Lembar Evalusi Kemampuan Pasien<br /> <br />Sesi 5: TAK<br />Stimulasi persepsi: halusinasi<br />Kemampuan patuh minum obat untuk mencegah halusinasi<br /> <br />No Nama klien Menyebutkan lima benar cara minum obat Menyebutkan keuntungan minum obat Menyebutkan akibat tidak patuh minum obat<br />1 Tn. Hendra <br />2 Tn. Fran <br />3 Tn. Iyang <br />4 Tn. Akmaludin <br />5 Tn. Ade Sunarta <br />6 Ny. Entin <br />7 Ny. Neng <br />8 <br />9 <br />10 <br /> <br />Petunjuk:<br /> 1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.<br /> 2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan menyebutkan lima benar cara minum obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Beri tanda (V) jika klien mampu dan beri tanda (X) jika klien tidak mampu.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-91804940945777601482011-05-30T17:42:00.000-07:002011-05-30T17:44:00.734-07:00LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASILAPORAN PENDAHULUAN<br />I. Kasus (Masalah Utama)<br />Perubahan sensori perseptual : halusinasi.<br />II. Proses Terjadinya Masalah<br />1. Pengertian Halusinasi<br />Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998). <br />Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis, hal 119)<br />Halusinasi yaitu gangguan persepsi (proses penyerapan) pada panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar pada pasien dalam keadaan sadar.<br />Tanda dan gejala :<br />• Bicara, senyum dan tertawa sendiri<br />• Menarik diri dan menghindar dari orang lain<br />• Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata<br />• Tidak dapat memusatkan perhatian<br />• Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut<br />• Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung<br />(Budi Anna Keliat, 1999)<br />2. Penyebab dari Halusinasi<br />Salah satu penyebab dari Perubahan sensori perseptual : halusinasi yaitu isolasi social : menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).<br />Tanda dan Gejala :<br /> Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul<br /> Menghindar dari orang lain (menyendiri)<br /> Komunikasi kurang/ tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/ perawat<br /> Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk<br /> Berdiam diri di kamar/ klien kurang mobilitas<br /> Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap<br /> Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari.<br />(Budi Anna Keliat, 1998)<br />3. Akibat dari Halusinasi<br />Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.<br />Tanda dan Gejala :<br />• Memperlihatkan permusuhan<br />• Mendekati orang lain dengan ancaman<br />• Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai<br />• Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan<br />• Mempunyai rencana untuk melukai<br />III. Pohon Masalah<br />Risiko mencederai diri , orang lain dan lingkungan<br />Perubahan sensori perseptual: halusinasi<br /><br />Isolasi sosial : menarik diri<br />IV. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji<br />1. Masalah keperawatan<br />1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan<br />2. Perubahan sensori perseptual : halusinasi<br />3. Isolasi sosial : menarik diri<br />2. Data yang perlu dikaji<br />1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan<br />1. Data subjektif<br />Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin membakar atau mengacak-acak lingkungannya.<br />2. Data objektif<br />Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya.<br />1. Perubahan sensori perseptual : halusinasi<br />1. Data Subjektif<br />• Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata.<br />• Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata.<br />• Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus.<br />• Klien merasa makan sesuatu.<br />• Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya.<br />• Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar.<br />• Klien ingin memukul/ melempar barang-barang.<br />2. Data Objektif<br />• Klien berbicar dan tertawa sendiri.<br />• Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu.<br />• Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu.<br />• Disorientasi.<br />1. Isolasi sosial : menarik diri<br />1. Data Subjektif <br />• Klien mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi<br />• Klien mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain<br />• Klien malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain.<br />1. Data Objektif<br />• Klien terlihat lebih suka sendiri<br />• Bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan<br />• Ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup<br />V. Diagnosa Keperawatan<br />1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perubahan sensori perseptual : halusinasi.<br />2. Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.<br />VI. Rencana Tindakan Keperawatan<br />Diagnosa 1: Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perubahan sensori perseptual : halusinasi.<br />1. Tujuan umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.<br />2. Tujuan khusus : <br />1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.<br />Tindakan :<br />1. Salam terapeutik – perkenalan diri – jelaskan tujuan – ciptakan lingkungan yang tenang – buat kontrak yang jelas (waktu, tempat, topik).<br />2. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.<br />3. Empati.<br />4. Ajak membicarakan hal-hal yang ada di lingkungan.<br />2. Klien dapat mengenal halusinasinya.<br />Tindakan :<br />1. Kontak sering dan singkat.<br />2. Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non verbal).<br />3. Bantu mengenal halusinasinya dengan menanyakan apakah ada suara yang didengar dan apa yang dikatakan oleh suara itu. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, tetapi perawat tidak. Katakan perawat akan membantu.<br />4. Diskusi tentang situasi yang menimbulkan halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi serta apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi.<br />5. Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi.<br />2. Klien dapat mengontrol halusinasinya.<br />Tindakan :<br />1. Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi.<br />2. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien dan cara baru untuk mengontrol halusinasinya.<br />3. Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi : bicara dengan orang lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan pada suara tersebut “saya tidak mau dengar.”<br />4. Tanyakan hasil upaya yang telah dipilih/dilakukan.<br />5. Beri kesempatan melakukan cara yang telah dipilih dan beri pujian jika berhasil.<br />6. Libatkan klien dalam TAK : stimulasi persepsi.<br />2. Klien dapat dukungan dari keluarga.<br />Tindakan :<br />1. Beri pendidikan kesehatan pada pertemuan keluarga tentang gejala, cara, memutus halusinasi, cara merawat, informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan.<br />2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.<br />2. Klien dapat menggunakan obat dengan benar.<br />Tindakan :<br />1. Diskusikan tentang dosis, nama, frekuensi, efek dan efek samping minum obat.<br />2. Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara, waktu).<br />3. Anjurkan membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.<br />4. Beri reinforcement positif klien minum obat yang benar.<br />Diagnosa 2: Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.<br />1. Tujuan Umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal<br />2. Tujuan Khusus:<br />1. Klien dapat membina hubungan saling percaya<br />Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi selanjutnya<br />Tindakan :<br />1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapetutik<br />1. sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal<br />2. Perkenalkan diri dengan sopan<br />3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien<br />4. Jelaskan tujuan pertemuan<br />5. Jujur dan menepati janji<br />6. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya<br />7. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.<br />2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki<br />Rasional : <br />• Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.<br />• Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien<br />• Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin mendapatkan pujian<br />Tindakan:<br />2.1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien<br />2.1. Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif<br />2.1. Utamakan memberikan pujian yang realistik<br />3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan<br />Rasional : <br />• Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat untuk berubah.<br />• Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap mempertahankan penggunaannya<br />Tindakan:<br />1. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit<br />2. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.<br />4. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki<br />Rasional :<br />• Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri<br />• Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya. <br />• Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan kegiatan<br />Tindakan:<br />1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan<br />• Kegiatan mandiri<br />• Kegiatan dengan bantuan sebagian<br />• Kegiatan yang membutuhkan bantuan total<br />1. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien<br />2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan<br />5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya<br />Rasional : <br /> Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi dan harga diri klien<br /> Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien<br /> Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan kegiatan yang bisa dilakukan<br />Tindakan:<br />1. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan<br />5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien<br />5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah<br />4. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada<br />Rasional:<br />• Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah<br />• Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses penyembuhan klien.<br />• Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.<br />Tindakan:<br />6.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah<br />2. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat<br />3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah<br />DAFTAR PUSTAKA<br />1. Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC, 1995<br />2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999<br />3. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003<br />4. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-75060280676959287152011-05-30T17:41:00.000-07:002011-05-30T17:42:27.752-07:00SAP ANSIETASSAP ANSIETAS <br />GAMBARAN KASUS<br />A. Pengkajian Faktor Predisposisi<br />1. Riwayat Keperawatan<br />Ny. A berumur 27 tahun saat ini sedang menderita appendicitis (peradangan apendiks). Ny. A datang ke RS karena dirujuk dari puskesmas, dan ia baru pertama kali datang ke RS. Karena sebelumnya tidak pernah ada masalah kesehatan serius. Ny. A lulusan SMA dan bekerja sebagai ibu rumah tangga dan tidak banyak tahu tentang penyakit yang dideritanya. Tn. D, suaminya izin untuk tidak masuk kerja karena ingin mengantar istrinya. Tn. D bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta dengan penghasilan tiap bulannya Rp. 1.500.000.<br />Ny. A mempunyai persepsi tentang sakit di bagian perut kanan bawah akan dapat sembuh sendiri dengan perawatan dan pengobatan yang diberikan di RS, tanpa dilakukan tindakan operasi. Ny. A terlihat cemas akan rencana operasi penyakitnya (apendektomi). Walaupun sebenarnya Tn. D selalu memberi motivasi, karena ingin istrinya cepat sembuh dari sakitnya.<br />2. Keadaan Fisik<br />Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital : TD : 110/80 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,70C, Pernafasan : 20 x / menit. Sakit perut dibagian kanan bawah, nafsu makan menurun, dan mual. <br />3. Kesiapan Belajar<br />Klien mengatakan bahwa ia tertarik untuk mempelajari tentang cemas dan cara mengurangi cemas. Pengetahuan klien tentang cemas dan cara mengurangi cemas masih kurang karena klien belum pernah mendapatkan informasi tentang hal tersebut dari sumber apapun.<br />Klien dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Ketika pertama kali dating ke RS, klien tampak cemas dengan luka gangren. Klien mengatakan bahwa hari itu tidak bersedia diberi penyuluhan oleh perawat, akan tetapi klien akan bersedia apabila pikiran dan perasaannya agak sedikit tenang.<br />4. Motivasi Belajar<br />Motivasi belajar klien untuk mempelajari kondisinya cukup kuat. Klien mengatakan apapun yang harus dilakukan akan dilaksanakan asalkan ia mampu mengurangi rasa cemas untuk menjalani operasi appencitis (peradangan apendiks).<br />5. Kemampuan Membaca<br />Klien mempunyai kemampuan membaca dan menulis dengan cukup baik. Ketika diberikan sebuah bahan bacaan berupa “lembar balik” tentang pengertian cemas dan diminta membacanya. Klien mampu menjelaskan kembali inti dari isi “lembar balik” tersebut. Dan klien mengatakan lebih menyukai belajar dengan cara Tanya jawab dan menyukai bahan bacaan yang bergambar karena mudah diingat.<br />B. Pengkajian Faktor Pemungkin<br />Di puskesmas, khususnya di klinik pelayanan kesehatan, perawat yang memberikan pelayanan kepada klien yang mengalami ansietas telah memiliki keterampilan memveri penyuluhan kesehatan dengan baik, karena telah sering kali dilakukan pelatihan untuk hal tersebut. Alat bantu penyuluhan berupa ”leaflet” dan ”lembar balik”.<br />C. Pengkajian Faktor Penguat<br />Ny. A tinggal bersama suaminya Tn. D yang berpendidikan Perguruan Tinggi atau universitas. Tn. D mempunyai persepsi yang lebih positif terhadap ansietas atau cemas istrinya dan mendorongnya untuk segara dioperasi. Karena kalau tidak dilakukan akan mengakibatkan ha yang lebih buruk lagi. <br />D. Diagnosa Keperawatan<br />1. Ansietas berhubungan dengan ancaman aktual atau yang dirasakan terhadap konsep diri sekunder akibat : perubahan status dan prestise kegagalan atau keberhasilan. <br />2. Nyeri berhubungan dengan peradangan.<br />3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhungan dengan gangguan intake makanan. <br />E. Evaluasi<br />Evaluasi akan dilakukan selama proses belajar dan pada akhir dari proses pendidikan kesehatan. Evalasi akan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan lisan.<br />F. Kesimpulan<br />Kondisi pasien : <br />DS : klien mengatakan : <br />•Mual<br />•Sakit dibagian perut bawah kanan<br />•Sulit tidur<br />•Cemas akan di operasi<br />DO :<br />•Gelisah<br />•Lingkaran hitam di sekitar mata<br />•Skala nyeri 5<br />SATUAN ACARA PEMBELAJARAN<br />1. Masalah Keperawatan : Ansietas berhubungan dengan ancaman aktual atau yang dirasakan terhadap konsep diri sekunder akibat : perubahan status dan prestise kegagalan atau keberhasilan. <br />Pokok Bahasan : Teknik relaksasi untuk mengurangi rasa cemas<br />Sub Pokok Bahasan : Cara mengurangi cemas <br />Hari / Tanggal : Januari 2009<br />Waktu : 20 menit<br />Tempat : Rumah Sakit Fatmawati<br />Sasaran : Individu<br />Pemberi Penkes : Nia Renianti<br />I. Tujuan Pembelajaran Umum<br />Setelah dilakukan pembelajaran selama 20 menit, klien mampu memahami cemas dan cara mengurangi cemas.<br />II. Tujuan Pembelajaran Khusus<br />Klien akan mampu :<br />1. menjelaskan pengertian kecemasan, dalam bahasanya sendiri dengan benar.<br />2. menguraikan tingkatan kecemasan.<br />3. menguraikan factor-faktor yang dapat menimbulkan stress.<br />4. menguraikan tanda dan gejala cemas.<br />5. menerapkan cara mengurangi cemas.<br />III. Materi Pembelajaran<br />1) Pengertian Kecemasan<br />2) Tingkat Kecemasan<br />3) Tanda dan gejala cemas<br />4) Faktor-faktor yang menimbulkan stress<br />5) Cara-cara mengurangi cemas<br />IV. Metode<br />1. Ceramah<br />2. Tanya jawab<br />V. Media, Alat dan Sumber<br />1. Media : lembar balik dan leaflet<br />2. Alat : Penggaris<br />VI. Kegiatan Belajar Mengajar<br />Kegiatan Kegiatan Klien Waktu<br />Pendahuluan<br />Memberi salam, memperhatikan sikap.<br />Memberi pertanyaan apersepsi.<br />Mengkomunikasikan pokok bahasan.<br />Mengkomunikasikan tujuan Menjawab pertanyaan<br />Menyimak<br />Menyimak 2 menit<br />Kegiatan Inti<br />Menjelaskan materi secara sistematis<br />Memberi kesempatan bertanya<br />Mendemonstrasikan teknik relaksasi<br />Memberikan reinforsment<br />Memberikan jawaban secara tepat Menyimak, bertanya, mengikuti contoh yang dipraktekan dan memberi jawaban pertanyaan 10 menit<br />Penutup<br />Menyimpulkan materi pelajaran bersama-sama<br />Memberikan evaluasi secara tanya jawab<br />Mengucapkan salam penutup Menyimak dan menjawab pertanyaan 3 menit<br />VII. Evaluasi<br />1. Prosedur : Diberikan diakhir pendidikan kesehatan<br />2. Waktu : 5 menit<br />3. Bentuk Soal : Lisan<br />4. Jumlah Soal : 5<br />5. Jenis Soal : Essay<br />• Butir soal :<br />1. apakah yang dimaksud dengan kecemasan ?<br />2. sebutkan tanda dan gejala dalam kecemasan ?<br />3. sebutkan tingkat kecemasan dan jelaskan?<br />4. sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi?<br />5. bagaimana cara mengurangi cemas?<br />• Jawaban<br />1. Pengertian kecemasan<br />Kecemasan adalah bentuk perasaan khawatir,<br />gelisah dan perasaan-perasaan lain yang kurang menyenangkan.Biasanya<br />perasaan-perasaan ini disertai oleh rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri, dan tidak mampu menghadapi suatu masalah.<br />2. Tanda dan Gejala kecemasan<br />•Gejala motorik, meliputi: gemetar, muka tegang, nyeri otot, nyeri dada, letih, pegal, sakit kepala, sakit leher.<br />•Gejala otonomik, berupa hiperaktivitas saraf otonomik terutama saraf simpatis ditandai dengan gejala; palpitasi, hiperhidrosis, sesak nafas, diare, parestesia dll. <br />•Khawatir <br />Rasa khawatir yang berlebihan terutama mengenai hal-hal yang belum terjadi seperti mau mendapat musibah.<br />•Kewaspadaan berlebihan. <br />Kewaspadaan yang berlebihan meliputi gejala tidur terganggu, sulit berkonsentrasi, mudah terkejut, tidak bisa santai dll.<br />3. Tingkat Kecemasan<br />•Cemas Ringan<br />Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Respons cemas ringan seperti sesekali bernapas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar, lapang persepsi meluas, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, tidak dapat duduk dengan tenang, dan tremor halus pada tangan.<br />•Cemas Sedang<br />Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap masalah menurun. Individu lebih berfokus pada hal-hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain. Respons cemas sedang seperti sering napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, gelisah, lapang pandang menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak enak.<br />•Cemas Berat<br />Pada cemas berat lahan persepsi sangat sempit. Seseorang cenderung hanya memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang penting. Seseorang tidak mampu berpikir berat lagi dan membutuhkan lebih banyak pengarahan / tuntunan.<br />Respon kecemasan berat seperti napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan, lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, verbalisasi cepat, dan perasaan ancaman meningkat.<br />4. Faktor-faktor yang menimbulkan stress<br />•Lingkungan yang asing<br />•Kehilangan kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan memerlukan bantuan orang lain<br />•Berpisah dengan pasangan dan keluarga<br />•Masalah biaya<br />•Kurang informasi<br />•Ancaman akan penyakit yang lebih parah<br />•Masalah pengobatan<br />5. Cara mengurangi cemas<br />Teknik relaksasi segitiga pernapasan (Triangle Breathing):<br />o Ambil napas selama 3 detik dengan lambat,<br />o Tahan napas selama 3 detik<br />o Keluarkan perlahan selama 3 detik melalui mulut<br />o Ulangi selama 3 kali<br />Teknik guided imagery:<br />o Diri dalam keadaan rileks<br />o Teman dan konselor membimbing anda dengan kondisi verbal (bicara perlahan dan lembut)<br />o Klien dapat terbawa ke tempat yang paling aman yang diinginkan oleh suara hatinya.<br />o Saat terbangun dari proses imagery, klien akan merasa damai, dan akan mempunyai persepsi yang baru terhadap sesuatu yang membebani, atau lebih siap menghadapinya.<br />Hindari kafein, alkohol dan rokok<br />Rasa cemas ternyata bisa pula dipicu oleh makanan, minuman, serta kebiasaan yang kita konsumsi atau lakoni. Kafein, alkohol, dan rokok disebut-sebut sebagai substansi yang bisa meningkatkan rasa cemas seseorang. <br />Tertawa dan olahraga. <br />Tidak ada yang membantah kalau banyak ketawa itu dianggap menyehatkan. Buktinya untuk mengatasi rasa cemas ini, para pakar juga menyarankan agar kita banyak tertawa. Karena cara tersebut ampuh mengusir emosi dengan sesuatu positif sifatnya. Tak ubahnya dengan olahraga. 20 hingga 30 menit melakukan olahraga bisa membantu mengurangi rasa cemas. <br />Tulislah rasa cemas dalam secarik kertas. <br />Cara ini, menurut Bloomfield, lumayan ampuh mengurangi emosi dan rasa sesak di dada. Karenanya, tulislah dengan jujur ketakutan dan kecemasan yang ada dalam benak Anda, seperti "Saya takut ketika...", "Saya cemas karena...", atau "Saya nggak yakin kalau harus...'.<br />Bersantai<br />Rasa cemas kerap datang akibat banyaknya pekerjaan atau tugas lainnya. Karena itu, usahakan untuk menyisihkan waktu buat bersenang-senang dan bersantai. Atau waktu tersebut bisa pula digunakan untuk meditasi, membangun mimpi dan berimajinasi. Karena kebiasaan tersebut akan membantu mengurangi rasa cemas. <br />Dengar musik. <br />Berbahagialah orang yang gemar mendengarkan musik. Karena dengan mendengarkan musik-musik favorit, akan membantu menjalani ritme hidup Anda yang menyenangkan.<br />VIII. Daftar Pustaka <br />•Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika<br />•Alimul, A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika<br />•Hall, C. S. 1980. Suatu Pengantar Kedalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud<br />(Terjemahan Oleh Tasrif). Bandung: Pustaka Pelajar.<br />•Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC<br />•Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.<br />•Duenges, Marylin. E.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Merencanakan & Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGCAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-85586770388003680122011-05-27T15:09:00.000-07:002011-05-27T15:11:21.959-07:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA PRE dan POST OP SECSIO CESAREAA. PENGERTIAN <br />Operasi Caesar atau sering disebut dengan seksio sesarea adalah melahirkan janin melalui sayatan dinding perut (abdomen) dan dinding rahim (uterus). <br />Seksio sesaria adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta bera janin diatas 500gram. ( Wiknjosastro,2005). <br />Seksio sesaria adalah suatu tidakan untuk melahirkan bayi dengan berat badan diatas 500gram , melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. (siaksoft.net).<br />Jenis–jenis seksio sesare : <br />1. Seksio sesarea klasik (korporal) <br />Dengan sayatan memanjang pada korpus uteri kira – kira sepanjang 10 cm. <br />2. Seksio sesarea ismika (profunda) <br />Dengan sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim kira-kira 10 cm.<br />B. ETIOLOGI <br />1. Indikasi yang berasal dari ibu ( etiologi ) <br />Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua disertai kelainan letak ada, disproporsi sefalo pelvik (disproporsi janin / panggul) ada, sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, Plasenta previa terutama pada primigravida, solutsio plasenta tingkat I – II, komplikasi kehamilan yaitu preeklampsia-eklampsia, atas permintaan, kehamilan yang disertai penyakit ( jantung, DM ), gangguan perjalanan persalinan ( kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya ). <br />2. Indikasi yang berasal dari janin<br />Fetal distress / gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forseps ekstraksi.<br />C. PATOFISIOLOGI<br />terjadi Kelainan Pada Ibu dan Kelainan Pada Janin menyebabkan Persalinan Normal Tidak Memungkunkan akhirnya harus dilakukan SC<br />D. KOMPLIKASI<br />1. Infeksipuerperal <br />Komplikasi ini bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas, bersifat berat seperti peritonitis, sepsis dsb. <br />2. Perdarahan <br />Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri ikut terbuka, atau karena atonia uteri. <br />3. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kencing, embolisme paru-paru, dan sebagainya sangat jarang terjadi. <br />4. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak, ialah kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah seksio sesarea klasik.<br />E. PENATALAKSANAAN <br />1. Perawatan Pre Operasi Seksio Sesarea <br />a. Persiapan Kamar Operasi<br />• Kamar operasi telah dibersihkan dan siap untuk dipakai<br />• Peralatan dan obat-obatan telah siap semua termasuk kain operasi <br />b. Persiapan Pasien<br />• Pasien telah dijelaskan tentang prosedur operasi.<br />• Informed consent telah ditanda tangani oleh pihak keluarga pasien<br />• Perawat member support kepada pasien.<br />• Daerah yang akan di insisi telah dibersihkan (rambut pubis di cukur dan sekitar abdomen telah dibersihkan dengan antiseptic).<br />• Pemeriksaan tanda-tanda vital dan pengkajian untuk mengetahui penyakit yang pernah di derita oleh pasien.<br />• Pemeriksaan laboratorium (darah, urine).<br />• Pemeriksaan USG.<br />• Pasien puasa selama 6 jam sebelum dilakukan operasi. <br />2. Perawatan Post Operasi Seksio Sesarea. <br />a. Analgesia <br />Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg Meperidin (intra muskuler) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikan dengan cara serupa 10 mg morfin. <br />- Wanita dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang diberikan adalah 50 mg. <br />- Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih tepat adalah 100 mg Meperidin. <br />- Obat-obatan antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama-sama dengan pemberian preparat narkotik.<br />b. Tanda-tanda Vital <br />Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi jumlah urine serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa. <br />c. Terapi cairan dan Diet <br />Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan RL, terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian, jika output urine jauh di bawah 30 ml / jam, pasien harus segera di evaluasi kembali paling lambat pada hari kedua. <br />d. Vesika Urinarius dan Usus <br />Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam, post operasi atau pada keesokan paginya setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar pada hari pertama setelah pembedahan, pada hari kedua bising usus masih lemah, dan usus baru aktif kembali pada hari ketiga.<br />e. Ambulasi <br />Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan perawatan dapat bangun dari tempat tidur sebentar, sekurang-kurang 2 kali pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan pertolongan. <br />f. Perawatan Luka <br />Luka insisi di inspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang alternatif ringan tanpa banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah hari ke empat setelah pembedahan. Paling lambat hari ke tiga post partum, pasien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi. <br />g. Laboratorium <br />Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi hematokrit tersebut harus segera di cek kembali bila terdapat kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan lain yang menunjukkan hipovolemia. <br />h. Perawatan Payudara <br />Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri. <br />i. Memulangkan Pasien Dari Rumah Sakit <br />Seorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada hari ke empat dan ke lima post operasi, aktivitas ibu seminggunya harus dibatasi hanya untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain.<br />F. ASUHAN KEPERAWATAN <br />1. PENGKAJIAN <br />a. Identitas Pasien <br />Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agam, alamat, status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik, yang mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan umum tanda vital.<br />b. Data Riwayat Kesehatan <br />- Riwayat kesehatan sekarang. <br />Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan setelah pasien operasi. <br />- Riwayat Kesehatan Dahulu <br />Meliputi penyakit yang lain yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang, Maksudnya apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama (Plasenta previa). <br />- Riwayat Kesehatan Keluarga <br />Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada juga mempunyai riwayat persalinan plasenta previa.<br />c. Data Sosial Ekonomi <br />Penyakit ini dapat terjadi pada siapa saja, akan tetapi kemungkinan dapat lebih sering terjadi pada penderita malnutrisi dengan sosial ekonomi rendah.<br />d. Data Psikologis <br />- Pasien biasanya dalam keadaan labil. <br />- Pasien biasanya cemas akan keadaan seksualitasnya. <br />- Harga diri pasien terganggu<br />- <br />e. Pemeriksaan Penunjang <br />- USG, untuk menetukan letak impiantasi plasenta. <br />- Pemeriksaan hemoglobin <br />- Pemeriksaan Hema tokrit<br />.<br />2. DIAGNOSA <br />a. Transisi Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perkembangan atau adanya peningkatan anggota keluarga (Doengoes,2001). <br />b. Gangguan nyaman : nyeri akut berhubungan dengan trauma pembedahan (Doengoes,2001).<br />c. Ansietas berhubungan dengan situasi, ancaman pada konsep diri, transmisi / kontak interpersonal, kebutuhan tidak terpenuhi (Doengoes,2001).<br />d. Harga diri rendah berhubungan dengan merasa gagal dalam peristiwa kehidupan (Doengoes,2001).<br />e. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan fungsi biokimia atau regulasi (Doengoes,2001)<br />f. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / kulit rusak (Doengoes,2001)<br />g. Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot (Doengoes,2001).<br />h. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan bayi berhubungan dengan kurang pemajanan stsu mengingati kesalahan interpretasi , tidak mengenal sumber-sumber (Doengoes,2001)<br />i. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan trauma atau diversi mekanisme efek-efek hormonal/anastesi (Doengoes,2001)<br />j. Kurang perawatan diri berhubungan dengan efek-efek anestesi, penurunan kekuatan dan ketahanan, ketidatnyamana fisik (Doengoes,2001)<br />3. INTERVENSI <br />a. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perkembangan transisi / peningkatan anggota keluarga. <br />- Tujuan : dapat menerima perubahan dalam keluarga dengan anggotanya baru.<br />- Kriteria hasil : <br />a) Menggendong bayi, bila kondisi memungkinkan<br />b) Mendemontrasikan prilaku kedekatan dan ikatan yang tepat<br />c) Mulai secara aktif mengikuti perawatan bayi baru lahir dengan cepat. <br />- Intervensi : <br />a) Anjurkan pasien untuk menggendong, menyetuh dan memeriksa bayi, tergantung pada kondisi pasien dan bayi, bantu sesuai kebutuhan.<br />Rasional : Jam pertama setelah kelahiran memberikan kesempatan unik untuk ikatan keluarga terjadi karena ibu dan bayi secara emosional dan menerima isyarat satu sama lain, yang memulai kedekatan dan proses pengenalan.<br />b) Berikan kesempatan untuk ayah / pasangan untuk menyentuh dan menggendong bayi dan Bantu dalam perawatan bayi sesuai kemungkinan situasi.<br />Rasional : membantu memudahkan ikatan / kedekatan diantara ayah dan bayi. Memberikan kesempatan untuk ibu memvalidasi realitas situasi dan bayi baru lahir.<br />c) Observasi dan catat interaksi keluarga bayi, perhatikan perilaku yang dianggap menggandakan dan kedekatan dalam budaya tertentu.<br />Rasional : pada kontak pertama dengan bayi, ibu menunjukkan pola progresif dari perilaku dengan cara menggunakan ujung jari.<br />d) Diskusikan kebutuhan kemajuan dan sifat interaksi yang lazim dari ikatan. Perhatikan kenormalan dari variasi respon dari satu waktu ke waktu.<br />Rasional : membantu pasien dan pasangan memahami makna pentingnya proses dan memberikan keyakinan bahwa perbedaan diperkirakan.<br />e) Sambut keluarga dan sibling untuk kunjungan sifat segera bila kondisi ibu atau bayi memungkinkan.<br />Rasional : meningkatkan kesatuan keluarga dan membantu sibling memulai proses adaptasi positif terhadap peran baru dan memasukkan anggota baru kedalam struktur keluarga.<br />f) Berikan informasi, sesuai kebutuhan, keamanan dan kondisi bayi. Dukungan pasangan sesuai kebutuhan.<br />Rasional : membantu pasangan untuk memproses dan mengevaluasi informasi yang diperlukan, khususnya bila periode pengenalan awal telah terlambat.<br />g) Jawab pertanyaan pasien mengenai protokol, perawatan selama periode pasca kelahiran.<br />Rasional : informasi menghilangkan ansietas yang dapat menggangu ikatan atau mengakibatkan absorpsi dari pada perhatian terhadap bayi baru lahir.<br />b. Ketidaknyamanan : nyeri, akut berhubungan dengan trauma pembedahan.<br />- Tujuan : ketidaknyamanan ; nyeri berkurang atau hilang.<br />- Kriteria hasil : <br />a) Mengungkapkan kekurangan rasa nyeri.<br />b) Tampak rileks mampu tidur. <br />- Intervensi : <br />a) Tentukan lokasi dan karakteristik ketidaknyamanan perhatikan isyarat verbal dan non verbal seperti meringis.<br />Rasional : pasien mungkin tidak secara verbal melaporkan nyeri dan ketidaknyamanan secara langsung. Membedakan karakteristik khusus dari nyeri membantu membedakan nyeri paska operasi dari terjadinya komplikasi.<br />b) Berikan informasi dan petunjuk antisipasi mengenai penyebab ketidaknyamanan dan intervensi yang tepat.<br />Rasional : meningkatkan pemecahan masalah, membantu mengurangi nyeri berkenaan dengan ansietas.<br />c) Evaluasi tekanan darah dan nadi ; perhatikan perubahan prilaku.<br />Rasional : pada banyak pasien, nyeri dapat menyebabkan gelisah, serta tekanan darah dan nadi meningkat. Analgesia dapat menurunkan tekanan darah.<br />d) Perhatikan nyeri tekan uterus dan adanya atau karakteristik nyeri.<br />Rasional : selama 12 jam pertama paska partum, kontraksi uterus kuat dan teratur dan ini berlanjut 2 – 3 hari berikutnya, meskipun frekuensi dan intensitasnya dikurangi faktor-faktor yang memperberat nyeri penyerta meliputi multipara, overdistersi uterus.<br />e) Ubah posisi pasien, kurangi rangsangan berbahaya dan berikan gosokan punggung dan gunakan teknik pernafasan dan relaksasi dan distraksi.<br />Rasional : merilekskan otot dan mengalihkan perhatian dari sensasi nyeri. Meningkatkan kenyamanan dan menurunkan distraksi tidak menyenangkan, meningkatkan rasa sejahtera.<br />f) Lakukan nafas dalam dengan menggunakan prosedur- prosedur pembebasan dengan tepat 30 menit setelah pemberian analgesik.<br />Rasional : nafas dalam meningkatkan upaya pernapasan. Pembebasan menurunkan regangan dan tegangan area insisi dan mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan berkenaan dengan gerakan otot abdomen.<br />g) Anjurkan ambulasi dini. Anjurkan menghindari makanan atau cairan berbentuk gas; misal : kacang-kacangan, kol, minuman karbonat.<br />Rasional : menurunkan pembentukan gas dan meningkatkan peristaltik untuk menghilangkan ketidaknyamanan karena akumulasi gas.<br />h) Anjurkan penggunaan posisi rekumben lateral kiri<br />Rasional : memungkinkan gas meningkatkan dari kolon desenden ke sigmoid, memudahkan pengeluaran.<br />i) Infeksi hemoroid pada perineum. Anjurkan penggunaan es secara 20 menit setiap 24 jam, penggunaan bantal untuk peninggian pelvis sesuai kebutuhan.<br />Rasional : membantu regresi hemoroid dan varises vulva dengan meningkatkan vasokontriksi, menurunkan ketidak nyamanan dan gatal, dan meningkatkan fungsi usus normal.<br />j) Palpasi kandung kemih, perhatikan adanya rasa penuh. Memudahkan berkemih periodik setelah pengangkatan kateter indwelling.<br />Rasional : kembali fungsi kandung kemih normal memerlukan 4-7 hari dan overdistensi kandung kemih menciptakan perasaan dan ketidaknyamanan.<br />c. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada konsep diri, transmisi / kontak interpersonal, kebutuhan tidak terpenuhi.<br />- Tujuan : ansietas dapat berkurang atau hilang.<br />- Kriteria hasil : <br />a) Mengungkapkan perasaan ansietas<br />b) Melaporkan bahwa ansietas sudah menurun<br />c) Kelihatan rileks, dapat tidur / istirahat dengan benar.<br />- Intervensi : <br />a) Dorong keberadaan atau partisipasi pasangan<br />Rasional : memberikan dukungan emosional; dapat mendorong mengungkapkan masalah.<br />b) Tentukan tingkat ansietas pasien dan sumber dari masalah. Mendorong pasien atau pasangan untuk mengungkapkan keluhan atau harapan yang tidak terpenuhi dalam proses ikatan/menjadi orangtua.<br />c) Bantu pasien atau pasangan dalam mengidentifikasi mekanisme koping baru yang lazim dan perkembangan strategi koping baru jika dibutuhkan.<br />Rasional : membantu memfasilitasi adaptasi yang positif terhadap peran baru, mengurangi perasaan ansietas.<br />d) Memberikan informasi yang akurat tentang keadaan pasien dan bayi.<br />Rasional : khayalan yang disebabkan informasi atau kesalahpahaman dapat meningkatkan tingkat ansietas.<br />e) Mulai kontak antara pasien/pasangan dengan baik sesegera mungkin.<br />Rasional : mengurangi ansietas yang mungkin berhubungan dengan penanganan bayi, takut terhadap sesuatu yang tidak diketahui, atau menganggap hal yang buruk berkenaan dengan keadaan bayi.<br />d. Harga diri rendah berhubungan dengan merasa gagal dalam peristiwa kehidupan.<br />- Tujuan : tidak lagi mengungkapkan perasaan negatif diri dan situasi<br />- Kriteria hasil : <br />a) Mengungkapkan pemahaman mengenai faktor individu yang mencetuskan situasi saat ini.<br />b) Mengekspresikan diri yang positif.<br />- Intervensi : <br />a) Tentukan respon emosional pasien / pasangan terhadap kelahiran sesarea.<br />Rasional : kedua anggota pasangan mungkin mengalami reaksi emosi negatif terhadap kelahiran sesarea meskipun bayi sehat, orangtua sering berduka dan merasa kehilangan karena tidak mengalami kelahiran pervagina sesuai yang diperkirakan.<br />b) Tinjau ulang partisipasi pasien/pasangan dan peran dalam pengalaman kelahiran. Identifikasi perilaku positif selama proses prenatal dan antepartal.<br />Rasional : respon berduka dapat berkurang bila ibu dan ayah mampu saling membagi akan pengalaman kelahiran, sebagai dapat membantu menghindari rasa bersalah.<br />c) Tekankan kemiripan antara kelahiran sesarea dan vagina. Sampaikan sifat positif terhadap kelahiran sesarea. Dan atur perawatan pasca patum sedekat mungkin pada perawatan yang diberikan pada pasien setelah kelahiran vagina.<br />Rasional: pasien dapat merubah persepsinya tentang pengalaman kelahiran sesarea sebagaiman persepsinya tentang kesehatannya / penyakitnya berdasarkan pada sikap professional.<br />e. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / kulit rusak.<br />- Tujuan : infeksi tidak terjadi<br />- Kriteria hasil : <br />a) Luka bebas dari drainase purulen dengan tanda awal penyembuhan.<br />b) Bebas dari infeksi, tidak demam, urin jernih kuning pucat.<br />- Intervensi : <br />a) Anjurkan dan gunakan teknik mencuci tangan dengan cermat dan pembuangan pengalas kotoran, pembalut perineal dan linen terkontaminasi dengan tepat.<br />Rasional : membantu mencegah atau membatasi penyebaran infeksi.<br />b) Tinjau ulang hemogolobin / hematokrit pranantal ; perhatikan adanya kondisi yang mempredisposisikan pasien pada infeksi pasca operasi.<br />Rasional : anemia, diabetes dan persalinan yang lama sebelum kelahiran sesarea meningkatkan resiko infeksi dan memperlambat penyembahan.<br />c) Kaji status nutrisi pasien. Perhatikan penampilan rambut, kuku jari, kulit dan sebagainya Perhatikan berat badan sebelum hamil dan penambahan berat badan prenatal.<br />Rasional : pasien yang berat badan 20% dibawah berat badan normal atau yang anemia atau yang malnutrisi, lebih rentan terhadap infeksi pascapartum dan dapat memerlukan diet khusus.<br />d) Dorong masukkan cairan oral dan diet tinggi protein, vitamin C dan besi.<br />Rasional : mencegah dehidrasi ; memaksimalkan volume, sirkulasi dan aliran urin, protein dan vitamin C diperlukan untuk pembentukan kolagen, besi diperlukan untuk sintesi hemoglobin.<br />e) Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat atau rembesan. Lepasnya balutan sesuai indikasi.<br />Rasional : balutan steril menutupi luka pada 24 jam pertama kelahiran sesarea membantu melindungi luka dari cedera atau kontaminasi. Rembesan dapat menandakan hematoma.<br />f) Inspeksi insisi terhadap proses penyembuhan, perhatikan kemerahan udem, nyeri, eksudat atau gangguan penyatuan.<br />Rasional : tanda-tanda ini menandakan infeksi luka biasanya disebabkan oleh steptococus.<br />g) Bantu sesuai kebutuhan pada pengangkatan jahitan kulit, atau klips.<br />Rasional : insisi biasanya sudah cukup membaik untuk dilakukan pengangkatan jahitan pada hari ke 4 / 5.<br />h) Dorong pasien untuk mandi shower dengan menggunakan air hangat setiap hari.<br />Rasional :Mandi shower biasanya diizinkan setelah hari kedua setelah kelahiran sesarea, meningkatkan hiegenis dan dapat merangsang sirkulasi atau penyembuhan luka.<br />i) Kaji suhu, nadi dan jumlah sel darah putih.<br />Rasional : Demam paska operasi hari ketiga, leucositosis dan tachicardia menunjukkan infeksi. Peningkatan suhu sampai 38,3 C dalam 24 jam pertama sangat mengindentifikasikan infeksi.<br />j) Kaji lokasi dan kontraktilitas uterus ; perhatikan perubahan involusi atau adanya nyeri tekan uterus yang ekstrem.<br />Rasional : Setelah kelahiran sesarea fundus tetap pada ketinggian umbilikus selama sampai 5 hari, bila involusi mulai disertai dengan peningkatan aliran lokhea, perlambatan involusi meningkatkan resiko endometritis. Perkembangan nyeri tekan ekstrem menandakan kemungkinan jaringan plasenta tertahan atau infeksi.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-71055010511743918032011-05-27T15:08:00.000-07:002011-05-27T15:09:20.858-07:00LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTURE CLAVICULALAPORAN PENDAHULUAN<br /><br />A. Pendahuluan<br />Tulang merupakan alat penopang dan sebagai pelindung pada tubuh. Tanpa tulang tubuh tidak akan tegak berdiri. Fungsi tulang dapat diklasifikasikan sebagai aspek mekanikal maupun aspek fisiologikal. <br />Dari aspek mekanikal, tulang membina rangka tubuh badan dan memberikan sokongan yang kokoh terhadap tubuh. Sedangkan dari dari aspek fisiologikal tulang melindungi organ-organ dalam seperti jantung, paru-paru dan lainnya. Tulang juga menghasilkan sel darah merah, sel darah putih dan plasma. Selain itu tulang sebagai tempat penyimpanan kalsium, fosfat, dan garam magnesium. <br />Namun karena tulang bersifat relatif rapuh, pada keadaan tertentu tulang dapat mengalami patah, sehingga menyebabkan gangguan fungsi tulang terutama pada pergerakan.<br />Patah tulang atau fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan. Peristiwa ini dapat terjadi karena :<br />1. Peristiwa trauma tunggal. <br />Patah tulang pada peristiwa ini biasanya dikarenakan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan dapat berupa pemukulan, penekukan, pemuntiran ataupun penarikan.<br />2. Tekanan yang berulang-ulang.<br />Tekanan yang berulang-ulang dapat menimbulkan keretakan. Sebagai contoh seorang pelari yang menempuh jarak jauh dapat mengalami retak tulang pada daerah tibia, fibula maupun metatarsal.<br />3. Fraktur patologik.<br />Pada peristiwa ini tulang mengalami patah oleh tekanan yang normal dikarenakan tulang tersebut lemah atau rapuh. Bisa disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya tumor.<br /><br />Banyak sekali kasus patah tulang yang terjadi dan berbeda-beda pada daerah patah tulang tersebut. Pada kasus ini akan dibahas mengenai patah tulang bagian klavikula .<br /><br />B. Etiologi Faktur Klavikula<br />Menurut sejarah fraktur pada klavikula merupakan cedera yang sering terjadi akibat jatuh dengan posisi lengan terputar/tertarik keluar (outstreched hand) dimana trauma dilanjutkan dari pergelangan tangan sampai klavikula, namun baru-baru ini telah diungkapkan bahwa sebenarnya mekanisme secara umum patah tulang klavikula adalah hantaman langsung ke bahu atau adanya tekanan yang keras ke bahu akibat jatuh atau terkena pukulan benda keras. Data ini dikemukankan oleh Nowak et a,l Nordqvist dan Peterson. Patah tulang klavikula karena jatuh dengan posisi lengan tertarik keluar (outstreched hand) hanya 6% terjadi pada kasus, sedangkan yang lainnya karena trauma bahu. Kasus patah tulang ini ditemukan sekitar 70% adalah hasil dari trauma dari kecelakaan lalu lintas.<br />Kasus patah tulang klavikula termasuk kasus yang paling sering dijumpai. Pada anak-anak sekitar 10–16 % dari semua kejadian patah tulang, sedangkan pada orang dewasa sekitar 2,6–5 %. <br /><br />C. Patofisiologi<br />Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses pengerasan selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6. Tulang klavikula, tulang humerus bagian proksimal dan tulang skapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang klavikula juga membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax. Tulang ini membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang thorax. Pada bagian proksimal tulang clavikula bergabung dengan sternum disebut sebagai sambungan sternoclavicular (SC). Pada bagian distal klavikula bergabung dengan acromion dari skapula membentuk sambungan acromioclavicular (AC). <br />Patah tulang klavikula pada umumnya mudah untuk dikenali dikarenakan tulang klavikula adalah tulang yang terletak dibawak kulit (subcutaneus) dan tempatnya relatif di depan. Karena posisinya yang teletak dibawah kulit maka tulang ini sangat rawan sekali untuk patah. Patah tulang klavikula terjadi akibat dari tekanan yang kuat atau hantaman yang keras ke bahu. Energi tinggi yang menekan bahu ataupun pukulan langsung pada tulang akan menyebabkan fraktur.<br /><br />D. Klasifikasi <br />Klasifikasi patah tulang secara umum adalah :<br />- Fraktur lengkap<br />Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain.<br />- Fraktur tidak lengkap <br />Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada korteks yang utuh).<br />Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar, meliputi:<br />- Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak menonjol malalui kulit.<br />- Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi.<br /><br />Lokasi patah tulang pada klavikula diklasifikasikan menurut Dr. FL Allman tahun 1967 dan dimodifikasi oleh Neer pada tahun 1968, yang membagi patah tulang klavikula menjadi 3 kelompok.<br />1. Kelompok 1: patah tulang pada sepertiga tengah tulang klavikula (insidensi kejadian 75-80%).<br />- Pada daerah ini tulang lemah dan tipis.<br />- Umumnya terjadi pada pasien yang muda.<br />2. Kelompok 2: patah tulang klavikula pada sepertiga distal (15-25%).<br />Terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokasi ligament coracoclavicular yakni (yakni, conoid dan trapezoid).<br />- Tipe 1. Patah tulang secara umum pada daerah distal tanpa adanya perpindahan tulang maupun ganguan ligament coracoclevicular.<br />- Tipe 2 A. Fraktur tidak stabil dan terjadi perpindahan tulang, dan ligament coracoclavicular masih melekat pada fragmen.<br />- Tipe 2 B. Terjadi ganguan ligament. Salah satunya terkoyak ataupun kedua-duanya.<br />- Tipe 3. Patah tulang yang pada bagian distal clavikula yang melibatkan AC joint.<br />- Tipe 4. Ligament tetap utuk melekat pata perioteum, sedangkan fragmen proksimal berpindah keatas.<br />- Tipe 5. Patah tulang kalvikula terpecah menjadi beberapa fragmen.<br />3. Kelompok 3: patah tulang klavikula pada sepertiga proksimal (5%)<br />Pada kejadian ini biasanya berhubungan dengan cidera neurovaskuler. E. Gambaran Klinis<br />Gambaran klinis pada patah tulang klavikula biasanya penderita datang dengan keluhan jatuh atau trauma. Pasien merasakan rasa sakit bahu dan diperparah dengan setiap gerakan lengan. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada daerah fraktur dan kadang-kadang terdengar krepitasi pada setiap gerakan. Dapat juga terlihat kulit yang menonjol akibat desakan dari fragmen patah tulang. Pembengkakan lokal akan terlihat disertai perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur. <br />Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :<br />- Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.<br />- Scan tulang, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.<br /><br />F. Penanganan<br />Pada prinsipnya penangan patah tulang klavikula adalah untuk mencapai penyembuhan tulang dengan minimum tingkat morbiditas, hilangnya fungsi, dan sisa kelainan bentuk.<br />Kebanyakan patah tulang klavikula telah berhasil ditangani dengan metode tanpa operasi. Perawatan nonoperative dengan cara mengurangi gerakan di daerah patah tulang. Tujuan penanganan adalah menjaga bahu tetap dalam posisi normalnya dengan cara reduksi tertutup dan imobilisasi. Modifikasi spika bahu (gips klavikula) atau balutan berbentuk angka delapan atau strap klavikula dapat digunakan untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan mempertahankan dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap klavikula, ketiak harus diberi bantalan yang memadai untuk mencegah cedera kompresi terhadap pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua lengan harus dipantau. Fraktur 1/3 distal klavikula tanpa pergeseran dan terpotongnya ligamen dapat ditangani dengan sling dan pembatasan gerakan lengan. Bila fraktur 1/3 distal disertai dengan terputusnya ligamen korakoklavikular, akan terjadi pergeseran, yang harus ditangani dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna. Selama imobilisasi pasien diperkenankan melakukan latihan gerakan tapi harus menghindari aktivitas yang berat.<br />Tindak lanjut perawatan dilakukan dengan pemantauan yang dijadwalkan 1 hingga 2 minggu setelah cedera untuk menilai gejala klinis dan kemudian setiap 2 hingga 3 minggu sampai pasien tanpa gejala klinis. Pemeriksaan foto rontgen tidak perlu selama proses perawatan, tetapi akan lebih baik dilakukan pada saat proses penyatuan tulang yang biasanya dapat dilihat pada minggu ke 4 sampai minggu ke 6 (pada saat fase remodeling pada proses penyembuhan tulang). Tanda klinis penyatuan tulang adalah berkurangnya rasa sakit atau rasa sakit hilang, dapat melakukan gerakan bahu secara penuh, dan kekuatan kembali normal. <br />Tidakan pembedahan dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal berikut :<br />- Fraktur terbuka.<br />- Terdapat cedera neurovaskuler.<br />- Fraktur comminuted.<br />- Tulang memendek karena fragmen fraktur tumpang tindih.<br />- Rasa sakit karena gagal penyambungan (nonunion).<br />- Masalah kosmetik, karena posisi penyatuan tulang tidak semestinya (malunion).<br />Pemberian obat pada kasus patah tulang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri. Obat-obat yang dapat digunakan adalah obat kategori analgesik antiinflamasi seperti acetaminophen dan codeine dapat juga obat golongan NSAIDs seperti ibuprofen. G. Prognosis <br />Patah tulang akan sembuh dengan baik jika dilakukan tindakan operative.<br /><br />H. Komplikasi<br />Komplikasi akut:<br />- Cedera pembuluh darah<br />- Pneumouthorax<br />- Haemothorax<br />Komplikasi lambat :<br />- Mal union: proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam waktu semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya atau abnormal.<br />- Non union: kegagalan penyambungan tulang setelah 4 sampai 6 bulan<br /><br />Daftar Pustaka<br />1. A Graham Appley, 1995, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Applay Edisi 7, Widya Medika, Jakarta.<br />2. Chairuddin Rasjad, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Yarsif Watampone, Jakarta.<br />3. Richard S. Snell, 2006, Anatomi Klinik Edisi 6, EGC, Jakarta.<br />4. L Joseph Rubino, 2006, Clavicle Fractures, http://www.emedicine.com/orthoped/topic50.htm.<br />5. Kevin J Eerkes, 2008, Clavicle Injuries, http://www.emedicine.com/sports/TOPIC25.HTM<br />6. Jeffrey A. Housner, John E. Kuhn, 2003, Clavicle Fractures, http://www.physsportsmed.com/issues/2003/1203/housner.htm<br /><br />ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR CLAVICULA<br /><br />Definisi:<br />Fraktur klavikula (tulang kolar) merupakan cedera yang sering terjadi akibat jatuh atau hantaman langsung ke bahu. Lebih dari 80% fraktur ini terjadi pada sepertiga tengah atau proksimal klavikula.<br /><br />Tanda:<br />Klavikula membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang thorax. Maka bila klavikula patah, pasien akan terlihat dalam posisi melindungi-bahu jatuh ke bawah dan mengimobilisasi lengan untuk menghindari gerakan bahu.<br /><br />Penanganan:<br />Tujuan penanganan adalah menjaga bahu tetap dalam posisi normalnya dengan cara reduksi tertutup dan imobilisasi. Modifikasi spika bahu (gips klavikula) atau balutan berbentuk angka delapan atau strap klavikula dapat digunakan untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan mempertahankan dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap klavikula, ketiak harus diberi bantalan yang memadai untuk mencegah cedera kompresi terhadap pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua lengan harus dipantau. Fraktur 1/3 distal klavikula tanpa pergeseran dan terpotongnya ligamen dapat ditangani dengan sling dan pembatasan gerakan lengan. Bila fraktur 1/3 distal disertai dengan terputusnya ligamen korakoklavikular, akan terjadi pergeseran, yang harus ditangani dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna.<br /><br /><br />Komplikasi:<br />Komplikasi fraktur klavikula meliputi trauma saraf pada pleksus brakhialis, cedera vena atau arteria subklavia akibat frakmen tulang, dan malunion (penyimpangan penyatuan). Malunion merupakan masalah kosmetik bila pasien memakai baju dengan leher rendah.<br /><br />Pendidikan Kesehatan:<br />Pasien diingatkan untuk tidak menaikkan lengan lebih tinggi dari bahu sampai ujung patahan tulang mengalami penyatuan (sekitar 6 minggu) namun didorong untuk melakukan latihan siku, pergelangan tangan dan jari-jari untuk mencapai gerakan bahu yang sempurna. Aktivitas berlebihan harus dibatasi kurang lebih selama 3 bulan.<br /><br />MALUNION<br />Malunion merupakan suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring. Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan.<br /><br />Gibs yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-fragmen tulang yang patah dan bergeser setelah direduksi harus diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan tindakan operasi.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-83564271827750869882011-05-27T15:06:00.000-07:002011-05-27T15:07:56.433-07:00ASKEP DIARE ANAKA. Pengertian<br />Beberapa pengertian diare:<br />1. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cairan, dengan demikian kandungan air pada tinja lebih banyak dari keadaan normal yakni 100-200 ml sekali defekasi (Hendarwanto, 1999).<br />2. Menurut WHO (1980) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari.<br />3. Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997).<br />B. Penyebab<br />1. Faktor infeksi<br />a. Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit (E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).<br />b. Infeksi parenteral; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan diare seperti: otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.<br />2. Faktor Malabsorbsi<br />Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.<br />3. Faktor Makanan:<br />Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.<br />4. Faktor Psikologis<br />Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).<br />C. Patofisiologi<br />Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:<br />1. Gangguan osmotik<br />Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.<br />2. Gangguan sekresi<br />Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare kerena peningkatan isi lumen usus.<br />3. Gangguan motilitas usus<br />Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare pula.<br />D. Manifestasi Klinis<br />Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.<br />Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul)<br />Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.<br />Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.<br />E. Penatalaksanaan<br />Prinsip Penatalaksanaan<br />Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:<br />1. Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.<br />2. Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.<br />3. Memberikan terapi simtomatik<br />4. Memberikan terapi definitif.<br />ad.1. Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.<br />Ada 4 hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu:<br />1) Jenis cairan yang hendak digunakan.<br />Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja. Bila RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik. Pada keadaan diare akut awal yang ringan dapat diberikan cairan oralit untuk mencegah dehidrasi dengan segala akibatnya.<br />2) Jumlah cairan yang hendak diberikan.<br />Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Jumlah kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan cara/rumus:<br />- Mengukur BJ Plasma<br />Kebutuhan cairan dihitung dengan rumus:<br />BJ Plasma – 1,025<br />———————- x BB x 4 ml<br />0,001<br />- Metode Pierce<br />Berdasarkan keadaan klinis, yakni:<br />* diare ringan, kebutuhan cairan = 5% x kg BB<br />* diare sedang, kebutuhan cairan = 8% x kg BB<br />* diare ringan, kebutuhan cairan = 10% x kg BB<br />- Metode Daldiyono<br />Berdasarkan skoring keadaan klinis sebagai berikut:<br />* Rasa haus/muntah = 1<br />* BP sistolik 60-90 mmHg = 1<br />* BP sistolik <60 mmHg = 2<br />* Frekuensi nadi >120 x/mnt = 1<br />* Kesadaran apatis = 1<br />* Kesadaran somnolen, sopor atau koma = 2<br />* Frekuensi napas >30 x/mnt = 1<br />* Facies cholerica = 2<br />* Vox cholerica = 2<br />* Turgor kulit menurun = 1<br />* Washer women’s hand = 1<br />* Ekstremitas dingin = 1<br />* Sianosis = 2<br />* Usia 50-60 tahun = 1<br />* Usia >60 tahun = 2<br />Kebutuhan cairan =<br />Skor<br />——– x 10% x kgBB x 1 ltr<br />15<br />3) Jalan masuk atau cara pemberian cairan<br />Rute pemberian cairan pada orang dewasa meliputi oral dan intravena. Larutan orali dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g NaBik dan 1,5 g KCl stiap liternya diberikan per oral pada diare ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi inisial untuk mempertahankan hidrasi.<br />4) Jadual pemberian cairan<br />Jadual rehidrasi inisial yang dihitung berdasarkan BJ plasma atau sistem skor diberikan dalam waktu 2 jam dengan tujuan untuk mencapai rehidrasi optimal secepat mungkin. Jadual pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3 didasarkan pada kehilangan cairan selama 2 jam fase inisial sebelumnya. Dengan demikian, rehidrasi diharapkan lengkap pada akhir jam ke-3.<br />2. Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.<br />Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan dengan keadaan klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui pemeriksaan biakan tinja disertai dengan pemeriksaan urine lengkap dan tinja lengkap.<br />Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan BJ plasma.<br />Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil pemeriksaan penyaring.<br />Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:<br />1) Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.<br />2) Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan kadang-kadang darah.<br />Pemeriksaan penunjang yang telah disinggung di atas dapat diarahkan sesuai manifestasi klnis diare.<br />3. Memberikan terapi simtomatik<br />Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan keuntungannya. Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri entero-invasif karena memperpanjang waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya cepat dieliminasi.<br />4. Memberikan terapi definitif.<br />Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:<br />1) Kolera-eltor: Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.<br />2) V. parahaemolyticus,<br />3) E. coli, tidak memerluka terapi spesifik<br />4) C. perfringens, spesifik<br />5) A. aureus : Kloramfenikol<br />6) Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan Quinolon seperti Siprofloksasin<br />7) Shigellosis: Ampisilin atau Kloramfenikol Helicobacter: Eritromisin<br />9) Amebiasis: Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol<br />10) Giardiasis: Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol<br />11) Balantidiasis: Tetrasiklin<br />12) Candidiasis: Mycostatin<br />13) Virus: simtomatik dan suportif<br />G. Konsep Keperawatan<br />1. Pengkajian (Anak Usia 3 Tahun)<br />a. Keluhan Utama : Buang air berkali-kali dengan konsistensi encer<br />b. Riwayat Kesehatan Sekarang<br />Pada umumnya anak masuk Rumah Sakit dengan keluhan buang air cair berkali-kali baik disertai atau tanpa dengan muntah, tinja dpat bercampur lendir dan atau darah, keluhan lain yang mungkin didapatkan adalah napsu makan menurun, suhu badan meningkat, volume diuresis menurun dan gejala penurunan kesadaran<br />c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu<br />Meliputi pengkajian riwayat :<br />1) Prenatal<br />Kehamilan yang keberapa, tanggal lahir, gestasi (fulterm, prematur, post matur), abortus atau lahir hidup, kesehatan selama sebelumnya/kehamilan, dan obat-obat yang dimakan serta imunisasi.<br />2) Natal<br />Lamanya proses persalinan, tempat melahirkan, obat-obatan, orang yang menolong persalinan, penyulit persalinan.<br />3) Post natal<br />Berat badan nomal 2,5 Kg – 4 Kg, Panjang Badan normal 49 -52 cm, kondisi kesehatan baik, apgar score , ada atau tidak ada kelainan kongenital.<br />4) Feeding<br />Air susu ibu atau formula, umur disapih (2 tahun), jadwal makan/jumlahnya, pengenalan makanan lunak pada usia 4-6 bulan, peubahan berat-badan, masalah-masalah feeding (vomiting, colic, diare), dan penggunaan vitamin dan mineral atau suplemen lain.<br />5) Penyakit sebelumnya<br />Penyebabnya, gejala-gejalanya, perjalanan penyakit, penyembuhan, kompliksi, insiden penyakit dalam keluarga atau masyarakat, respon emosi terhadap rawat inap sebelumnya.<br />6) Alergi<br />Apakah pernah menderita hay fever, asthma, eksim. Obat-obatan, binatang, tumbuh-tumbuhan, debu rumah<br />7) Obat-obat terakhir yang didapat<br />Nama, dosis, jadwal, lamanya, alasan pemberian.<br /> Imunisasi<br />Polio, hepatitis, BCG, DPT, campak, sudah lengkap pada usia 3 tahun, reaksi yang terjadi adalah biasanya demam, pemberian serum-serum lain, gamma globulin/transfusi, pemberian tubrkulin test dan reaksinya.<br />9) Tumbuh Kembang<br />Berat waktu lahir 2, 5 Kg – 4 Kg. Berat badan bertambah 150 – 200 gr/minggu, TB bertambah 2,5 cm / bulan, kenaikan ini terjadi sampai 6 bulan. Gigi mulai tumbuh pada usia 6-7 bulan, mulai duduk sendiri pada usia 8-9 bulan, dan bisa berdiri dan berjalan pada usia 10-12 bulan.<br />d. Riwayat Psikososial<br />Anak sangat menyukai mainannya, anak sangat bergantung kepada kedua orang tuanya dan sangat histeris jika dipisahkan dengan orang tuanya. Usia 3 tahun (toddlers) sudah belajar bermain dengan teman sebaya.<br />e. Riwayat Spiritual<br />Anak sudah mengenal beberapa hal yang bersifat ritual misalnya berdoa.<br />f. Reaksi Hospitalisasi<br />1. Kecemasan akan perpisahan : kehilangan interaksi dari keluarga dan lingkungan yang dikenal, perasaan tidak aman, cemas dan sedih<br />2. Perubahan pola kegiatan rutin<br />3. Terbatasnya kemampuan untuk berkomunikasi<br />4. Kehilangan otonomi<br />5. Takut keutuhan tubuh<br />6. Penurunan mobilitas seperti kesempatan untuk mempelajari dunianya dan terbatasnya kesempatan untuk melaksanakan kesenangannya<br />g. Aktivitas Sehari-Hari<br />1. Kebutuhan cairan pada usia 3 tahun adalah 110-120 ml/kg/hari<br />2. Output cairan :<br />(a) IWL (Insensible Water Loss)<br />(1) Anak : 30 cc / Kg BB / 24 jam<br />(2) Suhu tubuh meningkat : 10 cc / Kg BB + 200 cc (suhu tubuh – 36,8 oC)<br />(b) SWL (Sensible Water Loss) adalah hilangnya cairan yang dapat diamati, misalnya berupa kencing dan faeces. Yaitu :<br />(1) Urine : 1 – 2 cc / Kg BB / 24 jam<br />(2) Faeces : 100 – 200 cc / 24 jam<br />3. Pada usia 3 tahun sudah diajarkan toilet training.<br />h. Pemeriksaan Fisik<br />a) Tanda-tanda vital<br />Suhu badan : mengalami peningkatan<br />Nadi : cepat dan lemah<br />Pernafasan : frekuensi nafas meningkat<br />Tekanan darah : menurun<br />b) Antropometri<br />Pemeriksaan antropometri meliputi berat badan, Tinggi badan, Lingkaran kepala, lingkar lengan, dan lingkar perut. Pada anak dengan diare mengalami penurunan berat badan.<br />c) Pernafasan<br />Biasanya pernapasan agak cepat, bentuk dada normal, dan tidak ditemukan bunyi nafas tambahan.<br />d) Cardiovasculer<br />Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan, denyut nadi cepat dan lemah.<br />e) Pencernaan<br />Ditemukan gejala mual dan muntah, mukosa bibir dan mulut kering, peristaltik usus meningkat, anoreksia, BAB lebih 3 x dengan konsistensi encer<br />f) Perkemihan<br />Volume diuresis menurun.<br />g) Muskuloskeletal<br />Kelemahan fisik akibat output yang berlebihan.<br />h) Integumen<br />lecet pada sekitar anus, kulit teraba hangat, turgor kulit jelek<br />i) Endokrin<br />Tidak ditemukan adanya kelaianan.<br />J) Penginderaan<br />Mata cekung, Hidung, telinga tidak ada kelainan<br />k) Reproduksi<br />Tidak mengalami kelainan.<br />l) Neorologis<br />Dapat terjadi penurunan kesadaran.<br />2. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan<br />1) Motorik Kasar<br />Sudah bisa naik/turun tangga tanpa dibantu, mamakai baju dengan bantuan, mulai bisa bersepeda roda tiga.<br />2) Motorik Halus<br />Menggambat lingkaran, mencuci tangan sendiri dan menggosok gigi<br />3) Personal Sosial<br />Sudah belajar bermain dengan teman sebayanya.<br />4. Diagnosa Keperawatan<br />a. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta intake terbatas (mual).<br />b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien dan peningkatan peristaltik usus.<br />c. Nyeri (akut) b.d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.<br />d. Kecemasan keluarga b.d perubahan status kesehatan anaknya<br />e. Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b.d pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.<br />f. Kecemasan anak b.d perpisahan dengan orang tua, lingkungan yang baru<br />5. Rencana Keperawatan<br />Dx.1 Kekurangan volume cairan b/d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta intake terbatas (mual)<br />Tujuan : Kebutuhan cairan akan terpenuhi dengan kriteria tidak ada tanda-tanda dehidrasi <br />Intervensi Rasional<br />Berikan cairan oral dan parenteral sesuai dengan program rehidrasiPantau intake dan output. Sebagai upaya rehidrasi untuk mengganti cairan yang keluar bersama feses.Memberikan informasi status keseimbangan cairan untuk menetapkan kebutuhan cairan pengganti.<br /> Kaji tanda vital, tanda/gejala dehidrasi dan hasil pemeriksaan laboratorium Menilai status hidrasi, elektrolit dan keseimbangan asam basa<br />Kolaborasi pelaksanaan terapi definitif Pemberian obat-obatan secara kausal penting setelah penyebab diare diketahui<br />Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien dan peningkatan peristaltik usus.<br />Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria terjadi peningkatan bera badan<br />Intervensi Rasional<br />Pertahankan tirah baring dan pembatasan aktivitas selama fase akut. Menurunkan kebutuhan metabolik<br />Pertahankan status puasa selama fase akut (sesuai program terapi) dan segera mulai pemberian makanan per oral setelah kondisi klien mengizinkan Pembatasan diet per oral mungkin ditetapkan selama fase akut untuk menurunkan peristaltik sehingga terjadi kekurangan nutrisi. Pemberian makanan sesegera mungkin penting setelah keadaan klinis klien memungkinkan.<br />Bantu pelaksanaan pemberian makanan sesuai dengan program diet Memenuhi kebutuhan nutrisi klien<br />Kolaborasi pemberian nutrisi parenteral sesuai indikasi Mengistirahatkan kerja gastrointestinal dan mengatasi/mencegah kekurangan nutrisi lebih lanjut<br />Dx.3 : Nyeri (akut) b/d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.<br />Tujuan : Nyeri berkurang dengan kriteria tidak terdapat lecet pada perirektal<br />Intervensi Rasional<br />Atur posisi yang nyaman bagi klien, misalnya dengan lutut fleksi. Menurunkan tegangan permukaan abdomen dan mengurangi nyeri<br />Lakukan aktivitas pengalihan untuk memberikan rasa nyaman seperti masase punggung dan kompres hangat abdomen Meningkatkan relaksasi, mengalihkan fokus perhatian kliendan meningkatkan kemampuan koping<br />Bersihkan area anorektal dengan sabun ringan dan airsetelah defekasi dan berikan perawatan kulit Melindungi kulit dari keasaman feses, mencegah iritasi<br />Kolaborasi pemberian obat analgetika dan atau antikolinergik sesuai indikasi Analgetik sebagai agen anti nyeri dan antikolinergik untuk menurunkan spasme traktus GI dapat diberikan sesuai indikasi klinis<br />Kaji keluhan nyeri dengan Visual Analog Scale (skala 1-5), perubahan karakteristik nyeri, petunjuk verbal dan non verbal Mengevaluasi perkembangan nyeri untuk menetapkan intervensi selanjutnya<br />Dx.4 : Kecemasan keluarga b/d perubahan status kesehatan anaknya.<br />Tujuan : Keluarga mengungkapkan kecemasan berkurang.<br />Intervensi Rasional<br />Dorong keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang mekanisme koping yang tepat. Membantu mengidentifikasi penyebab kecemasan dan alternatif pemecahan masalah<br />Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama Membantu menurunkan stres dengan mengetahui bahwa klien bukan satu-satunya orang yang mengalami masalah yang demikian<br />Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien. Mengurangi rangsang eksternal yang dapat memicu peningkatan kecemasan<br />Dx.5 : Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.<br />Tujuan : Keluarga akan mengerti tentang penyakit dan pengobatan anaknya, serta mampu mendemonstrasikan perawatan anak di rumah.<br />Intervensi Rasional<br />Kaji kesiapan keluarga klien mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan tentang penyakit dan perawatan anaknya. Efektivitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental serta latar belakang pengetahuan sebelumnya.<br />Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari aktivitas sehari-hari. Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi keluarga klien dan keluarga dalam proses perawatan klien<br />Jelaskan tentang tujuan pemberian obat, dosis, frekuensi dan cara pemberian serta efek samping yang mungkin timbul Meningkatkan pemahaman dan partisipasi keluarga klien dalam pengobatan.<br />Jelaskan dan tunjukkan cara perawatan perineal setelah defekasi Meningkatkan kemandirian dan kontrol keluarga klien terhadap kebutuhan perawatan diri anaknya<br />Dx. 6 : Kecemasan anak b.d Perpisahan dengan orang tua, lingkugan yang baru<br />Tujuan : Kecemasan anak berkurang dengan kriteria memperlihatkan tanda-tanda kenyamanan<br />Intervensi Rasional<br />Anjurkan pada keluarga untuk selalu mengunjungi klien dan berpartisipasi dalam perawatn yang dilakukan Mencegah stres yang berhubungan dengan perpisahan<br />Berikan sentuhan dan berbicara pada anak sesering mungkin Memberikan rasa nyaman dan mengurangi stress<br />Lakukan stimulasi sensory atau terapi bermain sesuai dengan ingkat perkembangan klien Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan secara optimun<br />6. Implementasi<br />Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan yang telah direncanakan sebelumnya<br />7. Evaluasi<br />Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan sejauhmana tujuan tersebut tercapai. Bila ada yang belum tercapai maka dilakukan pengkajian ulang, kemudian disusun rencana, kemudian dilaksanakan dalam implementasi keperawatan lalau dievaluasi, bila dalam evaluasi belum teratasi maka dilakukan langkah awal lagi dan seterusnya sampai tujuan tercapai.<br />Reference<br />A.H. Markum, 1991, Buku Ajar Kesehatan Anak, jilid I, Penerbit FKUI<br />Ngastiyah, 997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta<br />Price & Wilson 1995, Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 1, Ed.4, EGC, Jakarta<br />Soetjiningsih 1998, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta<br />Soeparman & Waspadji, 1990, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Ed. Ke-3, BP FKUI, Jakarta.<br />Suharyono, 1986, Diare Akut, lembaga Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta<br />Whaley & Wong, 1995, Nursing Care of Infants and Children, fifth edition, Clarinda company, USA.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-11999770553765198072011-05-27T15:04:00.000-07:002011-05-27T15:05:44.335-07:00ASKEP TBCASKEP TBC<br />1. Pengertian<br />Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tubeculosis.<br />2. Etiologi<br />Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik.<br />Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.<br />Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernapasan. Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke). keduanya dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium. Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan pad usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis post primer (reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.<br />3. Proses Penularan<br />Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.<br />Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling sering), M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).<br />4. Insiden<br />Penyakit tuberkulosis adalah penyakit yang sangat epidemik karena kuman mikrobakterium tuberkulosa telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Program penaggulangan secara terpadu baru dilakkan pada tahun 1995 melalui strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse chemoterapy), meskipun sejak tahun 1993 telah dicanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis. Kegelisahan global ini didasarkan pada fakta bahwa pada sebagian besar negara di dunia, penyakit tuberkulosis tidak terkendali, hal ini disebabkan banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif).<br />Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita dengan kematian tiga juta orang (WHO, 1997). Di negara-negara berkembang kematian karena penyakit ini merupakan 25 % dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95 % penyakit tuberkulosis berada di negara berkembang, 75 % adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Tuberkulosis juga telah menyebabkan kematian lebih banyak terhadap wanita dibandingkan dengan kasus kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.<br />Di indonesia pada tahun yang sama, hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit infeksi saluran pernapasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan setiap tahun menjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian sekitar 140.000. secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis dengan BTA positif.<br />5. Anatomi dan Fisiologi<br />Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, farinx, larinx trachea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung ; Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam. rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum. (rongga) hidung. Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam. rongga hidung. Farinx (tekak) ; adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka ‘letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal).<br />Laringx (tenggorok) terletak di depan bagian terendah farinx yang mernisahkan dari columna vertebrata, berjalan dari farinx. sampai ketinggian vertebrata servikals dan masuk ke dalarn trachea di bawahnya. Larynx terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligarnen dan membran.<br />Trachea atau batang tenggorok kira-kira 9 cm panjangnya trachea berjalan dari larynx sarnpai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 – 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.<br />Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah.<br />Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.<br />Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.<br />Paru-paru terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikai. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa stiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas. <br />Proses fisiologi pernafasan dimana 02 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan C02 dikeluarkan keudara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru. karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot. Stadium kedua, transportasi yang terdiri dan beberapa aspek yaitu : (1) Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksternal) dan antara darah sistemik dan sel.-sel jaringan (2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus. (3) Reaksi kimia dan fisik dari 02 dan C02 dengan darah respimi atau respirasi interna menipak-an stadium akhir dari respirasi, yaitu sel dimana metabolik dioksida untuk- mendapatkan energi, dan C02 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru (4) Transportasi, yaitu. tahap kcdua dari proses pemapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 urn). Kekuatan mendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. (5) Perfusi, yaitu pemindahan gas secara efektif antara. alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler dengan perkataan lain ventilasi dan perfusi. dari unit pulmonary harus sesuai pada orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru-paru.<br />Secara garis besar bahwa Paru-paru memiliki fungsi sebagai berikut:<br />(1) Terdapat permukaan gas-gas yaitu mengalirkan Oksigen dari udara atmosfer kedarah vena dan mengeluarkan gas carbondioksida dari alveoli keudara atmosfer. (2) menyaring bahan beracun dari sirkulasi (3) reservoir darah (4) fungsi utamanya adalah pertukaran gas-gas<br />5. Patofisiologi<br />Port de’ entri kuman microbaterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit, kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (air borne), yaitu melalui inhalasi droppet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. <br />Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi terdiri dari satu sampai tiga gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus biasanya di bagian bawah lobus atau paru-paru, atau di bagian atas lobus bawah. Basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bacteria namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi mcajadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit, yang dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.<br />6. Manifestasi Klinik<br />Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.<br />Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik:<br />1. Gejala respiratorik, meliputi:<br />a. Batuk<br />Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.<br />b. Batuk darah<br />Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.<br />c. Sesak napas<br />Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.<br />d. Nyeri dada<br />Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.<br />2. Gejala sistemik, meliputi:<br />a. Demam<br />Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.<br />b. Gejala sistemik lain<br />Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.<br />Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.<br />Gejala klinis Haemoptoe:<br />Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :<br />1. Batuk darah<br />a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan<br />b. Darah berbuih bercampur udara<br />c. Darah segar berwarna merah muda<br />d. Darah bersifat alkalis<br />e. Anemia kadang-kadang terjadi<br />f. Benzidin test negatif<br />2. Muntah darah<br />a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual<br />b. Darah bercampur sisa makanan<br />c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung<br />d. Darah bersifat asam<br />e. Anemia seriang terjadi<br />f. Benzidin test positif<br />3. Epistaksis<br />a. Darah menetes dari hidung<br />b. Batuk pelan kadang keluar<br />c. Darah berwarna merah segar<br />d. Darah bersifat alkalis<br />e. Anemia jarang terjadi<br />6. Test Diagnostik<br />Foto thorax PA dengan atau tanpa literal merupakan pemeriksaan radiology standar. Jenis pemeriksaan radiology lain hanya atas indikasi Top foto, oblik, tomogram dan lain-lain.<br />Karakteristik radiology yang menunjang diagnostik antara lain :<br />a. Bayangan lesi radiology yang terletak di lapangan atas paru.<br />b. Bayangan yang berawan (patchy) atau berbercak (noduler)<br />c. Kelainan yang bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru<br />d. Bayang yang menetap atau relatif menetap setelah beberapa minggu<br />e. Bayangan bilier<br />Pemeriksaan Bakteriologik (Sputum) ; Ditemukannya kuman micobakterium TBC dari dahak penderita memastikan diagnosis tuberculosis paru.<br />Pemeriksaan biasanya lebih sensitive daripada sediaan apus (mikroskopis). Pengambilan dahak yang benar sangat penting untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pada pemeriksaan pertama. sebaiknya 3 kali pemeriksaan dahak. Uji resistensi harus dilakukan apabila ada dugaan resistensi terhadap pengobatan.<br />Pemeriksaan sputum adalah diagnostik yang terpenting dalam prograrn pemberantasan TBC paru di Indonesia.<br />8. Klasifikasi<br />Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.<br />Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:<br />a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:<br />1. Dengan atau tanpa gejala klinik<br />2. BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.<br />3. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.<br />b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:<br />1. Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif<br />2. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.<br />c. Bekas TB Paru dengan kriteria:<br />a. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif<br />b. Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.<br />c. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah.<br />d. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).<br />9. Penanganan Medik<br />Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.<br />Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH. <br />Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:<br />1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB. <br />2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut. <br />3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari. <br />4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup. <br />5. Pencatatan dan pelaporan yang baku. <br />B. PROSES KEPERAWATAN<br />1. Pengkajian<br />Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan Tuberkulosis paru (Doengoes, 2000) ialah sebagai berikut :<br />1. Riwayat PerjalananPenyakit<br />a. Pola aktivitas dan istirahat<br />Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari.<br />Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang timbul.<br />b. Pola nutrisi<br />Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.<br />Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.<br />c. Respirasi<br />Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.<br />Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).<br />d. Rasa nyaman/nyeri<br />Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.<br />Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.<br />e. Integritas ego<br />Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada harapan.<br />Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung.<br />2. Riwayat Penyakit Sebelumnya:<br />a. Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.<br />b. Pernah berobat tetapi tidak sembuh.<br />c. Pernah berobat tetapi tidak teratur.<br />d. Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru.<br />e. Daya tahan tubuh yang menurun.<br />f. Riwayat vaksinasi yang tidak teratur.<br />3. Riwayat Pengobatan Sebelumnya:<br />a. Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.<br />b. Jenis, warna, dosis obat yang diminum.<br />c. Berapa lama. pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakitnya.<br />d. Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.<br />4. Riwayat Sosial Ekonomi:<br />a. Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah penghasilan.<br />b. Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikisi dengan bebas, menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang marnpu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.<br />5. Faktor Pendukung:<br />a. Riwayat lingkungan.<br />b. Pola hidup.<br />Nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola istirahat dan tidur, kebersihan diri.<br />c. Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.<br />6. Pemeriksaan Diagnostik:<br />a. Kultur sputum: Mikobakterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit.<br />b. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam).<br />c. Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas ; Pada tahap dini tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas ; Pada kavitas bayangan, berupa cincin ; Pada kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.<br />d. Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB paru.<br />e. Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).<br />f. Spirometri: penurunan fuagsi paru dengan kapasitas vital menurun.<br />3. Diagnosa Keperawatan<br />Diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada klien dengan Tuberkulosis paru adalah sebagai berikut:<br />1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan: Sekret kental atau sekret darah, Kelemahan, upaya batuk buruk. Edema trakeal/faringeal.<br />2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan: Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, Kerusakan membran alveolar kapiler, Sekret yang kental, Edema bronchial.<br />3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan: Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang inenetap, Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar, Malnutrisi, Terkontaminasi oleh lingkungan, Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.<br />4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan: Kelelahan, Batuk yang sering, adanya produksi sputum, Dispnea, Anoreksia, Penurunan kemampuan finansial.<br />5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan: Tidak ada yang menerangkan, Interpretasi yang salah, Informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, Terbatasnya pengetahuan/kognitif <br />4. Rencana Keperawatan<br />Adapun rencana keperawatan yang ditetapkan berdasarkan diagnosis keperawatan yang telah dirumuskan sebagai berikut:<br />1. Bersihan jalan napas tidak efektif<br />Tujuan: Mempertahankan jalan napas pasien. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan. Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas. Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi. Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.<br />Intervensi:<br />a. Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, imma, kedalaman dan penggunaan otot aksesori.<br />Rasional: Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.<br />b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.<br />Rasional: Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.<br />c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam.<br />Rasional: Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan<br />d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.<br />Rasional: Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.<br />e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.<br />Rasional: Membantu mengencerkan secret sehingga mudah dikeluarkan<br />f. Lembabkan udara/oksigen inspirasi.<br />Rasional: Mencegah pengeringan membran mukosa.<br />g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.<br />Rasional: Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.<br />h. Bantu inkubasi darurat bila perlu.<br />Rasional: Diperlukan pada kasus jarang bronkogenik. dengan edema laring atau perdarahan paru akut.<br />2. Gangguan pertukaran gas<br />Tujuan: Melaporkan tidak terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal. Bebas dari gejala distress pernapasan.<br />Intervensi<br />a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.<br />Rasional: Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.<br />b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.<br />Rasional: Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ vital dan jaringan.<br />c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.<br />Rasional: Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.<br />d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.<br />Rasional: Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.<br />e. Monitor GDA.<br />Rasional: Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau perubahan terapi.<br />f. Berikan oksigen sesuai indikasi.<br />Rasional: Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.<br />3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi<br />Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang. aman.<br />Intervensi<br />a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.<br />Rasional: Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.<br />b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.<br />Rasional: Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran infeksi.<br />c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk.<br />Rasional: Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.<br />d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.<br />Rasional: Mengurangi risilio penyebaran infeksi.<br />e. Monitor temperatur.<br />Rasional: Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.<br />f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.<br />Rasional: Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk.<br />g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.<br />Rasional: Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.<br />h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.<br />Rasional: INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan pertama.<br />i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), sikloserin, streptomisin.<br />Rasional: Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.<br />j. Monitor sputum BTA<br />Rasional: Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi.<br />4. Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan<br />Tujuan: Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.<br />Intervensi:<br />a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.<br />Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.<br />b. Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.<br />Rasional: Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.<br />c. Monitor intake dan output secara periodik.<br />Rasional: Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.<br />d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).<br />Rasional: Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.<br />e. Anjurkan bedrest.<br />Rasional: Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.<br />f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.<br />Rasional: Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.<br />g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.<br />Rasional: Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.<br />h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.<br />Rasional: Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik dan diet.<br />i. Konsul dengan tim medis untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah makan.<br />Rasional: Membantu menurunkan insiden mual dan muntah karena efek samping obat.<br />j. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).<br />Rasional: Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.<br />k. Berikan antipiretik tepat.<br />Rasional: Demam meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsurnsi kalori.<br />5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan.<br />Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan. Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru. Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi. Menerima perawatan kesehatan adekuat.<br />Intervensi<br />a. Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.<br />Rasional: Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.<br />b. Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.<br />Rasional: Indikasi perkembangan penyakit atau efek samping obat yang membutuhkan evaluasi secepatnya.<br />c. Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang adekuat.<br />Rasional: Mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan membantu mengencerkan dahak.<br />d. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.<br />Rasional: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.<br />e. jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.<br />Rasional: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.<br />f. jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah<br />Rasional: Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.<br />g. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.<br />Rasional: Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis<br />h. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.<br />Rasional: Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.<br />i. Dorong pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan. Jangan menyangkal.<br />Rasional: Menurunkan kecemasan. Penyangkalan dapat memperburuk mekanisme koping.<br />j. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan.<br />Rasional: Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi paru/bronkus.<br />k. Anjurkan untuk berhenti merokok.<br />Rasional: Merokok tidak menstimulasi kambuhnya Tuberkulosis; tapi gangguan pernapasan/ bronchitis.<br />l. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.<br />Rasional: Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema, pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal (GD, fistula bronkopleural, Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.<br />5. Evaluasi<br />a. Keefektifan bersihan jalan napas.<br />b. Fungsi pernapasan adekuat untuk mernenuhi kebutuhan individu.<br />c. Perilaku/pola hidup berubah untuk mencegah penyebaran infeksi.<br />d. Kebutuhan nutrisi adekuat, berat badan meningkat dan tidak terjadi malnutrisi.<br />e. Pemahaman tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan dan perubahan perilaku untuk memperbaiki kesehatan.<br />Referensi:<br />Zulkifli Amin, Asril Bahar, 2006. Tuberkulosis Paru, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: UI<br />http://www.medicastore.com/tbc/<br />http://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm<br />http://www.infopenyakit.com/2007/12/penyakit-tuberkulosis-tbc.html<br />http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.htmlAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-33805962219542471162009-08-17T18:18:00.000-07:002009-08-17T18:21:01.074-07:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASANA. PENGERTIAN<br />Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).<br />Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang, ditunjukkan dengan perilaku actual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000).<br />Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 2004).<br />B. PROSES TERJADINYA MASALAH<br />Perilaku kekerasan atau amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan ketergantungan pada orang lain.<br />Perilaku kekerasan juga dapat diartikan sebagai agresi berkaitan dengan trauma pada masa anak saat lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara terus menerus, maka ia menampakan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan nafasnya (Barry, 1998). Setelah anak bertambah dewasa, maka ia akan menampakkan reaksi yang lebih keras pada saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, seperti melempar barang, menjerit, menahan nafas, mencakar, merusak atau bersikap agresif terhadap barang mainannya. Bila reward dan punishment tidak dijalankan, maka ia cenderung mengganggap perbuatan tersebut benar.<br />Kontrol lingkungan seputar anak yang tidak berfungsi dengan baik, menimbulkan reaksi agresi pada anak yang akan bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga bila ia merasa benci dan frustasi dalam mencapai tujuannya ia akan bertindak angesif. Hal ini akan bertambah apabila ia merasa kehilangan orang-orang yang ia cintai atau orang yang berarti. Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau kepanikan (takut). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif verbal disuatu sisi dan kekerasan disisi yang lain.<br />C. RENTANG RESPON PERILAKU KEKERASAN<br />Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen, 1995). Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berflutuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. <br />Respon Adaptif Respon Maladaptif<br />Asertif frustasi Pasif Agresif Kekerasan<br /> <br /><br />Gambar 3. Rentang Respon Marah<br />D. FAKTOR PREDISPOSISI<br />Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu :<br />1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanan yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.<br />2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.<br />3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permesive).<br />4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan system limbic, lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.<br />E. FAKTOR PRESIPITASI<br />Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.<br />F. TANDA DAN GEJALA<br />Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawa ke rumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Tanda dan gejala perilaku kekerasan didapatkan dari observasi dan wawancara.<br />1. Observasi : muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat. Sering pula tampak klien memaksakan kehendak seperti : merampas makanan, memukul jika tidak senang.<br />2. Wawancara : diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan klien.<br />G. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />PERILAKU KEKERASAN<br />H. RENCANA KEPERAWATAN<br />TUM :<br />Klien tidak melakukan tindakan kekerasan<br />TUK 1<br />Klien dapat membina hubungan saling percaya.<br />Kriteria Evaluasi : <br />Klien mau membalas salam, menjabat tangan, menyebutkan nama, tersenyum, kontak mata.<br />Rencana Tindakan :<br />1. Beri salam /panggil nama<br />2. Sebutkan nama perawat.<br />3. Jelaskan maksud hubungan interaksi<br />4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat<br />5. Beri rasa aman dan sikap empati.<br />6. Lakukan kontak singkat tapi sering.<br />TUK 2<br />Klien dapat mendefinisikan penyebab perilaku kekerasan, <br />Kriteria evaluasi :<br />Klien mengungkapkan perasaannya, mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal (dari diri sendiri, lingkunga/orang lain).<br />Rencana Tindakan :<br />1. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.<br />2. Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal.<br />TUK 3<br />Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan, <br />Kriteria evaluasi :<br />Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah/jengkel, menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami.<br />Rencana Tindakan :<br />1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal<br />2. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.<br />3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami klien.<br />TUK 4<br />Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, <br />Kriteria evaluasi :<br />Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, bermain peran dengan perilaku kekerasan dan dapat dilakukan cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah atau tidak.<br />Rencana Tindakan :<br />1. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien.<br />2. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan<br />3. Bicarakan dengan klien, apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.<br />TUK 5<br />Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, <br />Kriteria evaluasi :<br />Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien<br />Rencana Tindakan :<br />1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan klien.<br />2. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan.<br />3. Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”<br />TUK 6<br />Klien dapat mendefinisikan cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan, Kriteria evaluasi :<br />Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.<br />Rencana Tindakan :<br />1. Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.<br />2. Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.<br />3. Diskusikan dengan klien cara lain sehat :<br />a. Secara fisik : tarik nafas dalam, jika sedang kesal/memukul bantal/kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.<br />b. Secara verbal : katakana bahwa anda sedang kesal/tersinggung/jekel (saya kesal anda berkata seperti itu)<br />c. Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif. Latihan manajemen perilaku kekerasan.<br />d. Secara spiritual : anjurkan klien sembahyang berdoa/ibadah : meminta pada Tuhan untuk diberi kesabaran, mengadu pada Tuhan tentang kejengkelan.<br />TUK 7<br />Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan, <br />Kriteria evaluasi : <br />Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan : fisik (tarik nafas dalam, olahraga, pukul kasur/bantal), verbal (mengatakan secara langsung dengan tidak menyakiti), spiritual (sembahyang, berdoa).<br />Rencana Tindakan :<br />1. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien<br />2. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.<br />3. Bantu klien menstimulasikan tersebut (role play).<br />4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.<br />5. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel/marah<br />6. Susun jadwal melakukan cara yang telah dipelajari<br />TUK 8<br />Klien dapat menggunakan obat dengan benar, <br />Kriteria evaluasi :<br />Klien dapat menyebutkan obat-obat yang diminum dan kegunaannya, klien dapat minum obat sesuai dengan program pengobatan<br />Rencana Tindakan :<br />1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien.<br />2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizing dokter.<br />3. Jelaskan prinsip benar minum obat.<br />4. Jelaskan manfaat minum obat dan efek obat yang diperhatikan.<br />5. Anjurkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.<br />6. Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan efek yang tidak menyenangkan.<br />7. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.<br />TUK 9<br />Klien mendapat dukungan keluarga mengontrol perilaku kekerasan, <br />Kriteria evaluasi :<br />Keluarga klien dapat : menyebutkan cara merawat klien yang berperilaku kekerasan, mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien.<br />Rencana Tindakan :<br />1. Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.<br />2. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.<br />3. Jelaskan cara-cara merawat klien :<br />a. Terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif.<br />b. Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.<br />c. Membantu klien mengenal penyebab marah<br />4. Bantu keluargamendemostrasikan cara merawat klien.<br />5. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.<br />TUK 10<br />Klien mendapat perlidungan dari lingkungan untuk mengontrol perilaku kekerasan<br />Rencana Tindakan :<br />1. Bicara tenang, gerakan tidak terburu-buru, nada suara rendah, tunjukkan kepedulian.<br />2. Lindungi agar klien tidak mencederai orang lain dan lingkungan.<br />3. Jika tidak dapat diatasi lakukan : pembatasan gerak atau pengekangan.<br />DAFTAR PUSTAKA<br />http://keperawatan-gun.blogspot.com/search/label/JIWA <br />Maramis, W.F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 9, Airlangga University Press, Surabaya.<br />Stuart G.W. and Sundeen (1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed). St. Louis Mosby Year Book.<br />Stuart dan Laraia (2001). Principle and Practice of Psychiatric Nursing, Edisi 6, St. Louis Mosby Year Book.<br />Townsend. (1998). Diagnosis Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri : pedomanan Untuk Pembuatan Rencana Keperawatan EGC, Jakarta (terjemahan).<br />Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Refika Aditama, Jakarta.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-86204031435641612752009-08-17T18:13:00.000-07:002009-08-17T18:15:27.767-07:00DEMAM BERDARAH DENGUEDEFENISI <br />Demam dengue /DF dan demam berdarah dengue /DBD (dengue hemoragik fever /DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinik demam, nyeri otot da/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.<br />ETIOLOGI<br /> <br />Demam berdarah dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 .<br />Terdapat 4 serotipe virus yaitu, DEN-1, DEN-2,DEN-3,DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan flavivirus lain seperti yellow fever, Japanese enchephalitis, dan West Nile virus.<br />EPIDEMIOLOGI<br />Pada penyebaran virus ini, dikenal 2 jenis transmisi, yaitu dengue kota (urban dengue) dimana rantai penularannya adalah manusia-nyamuk-manusia dan dengue hutan (jungle dengue) dimana rantai penularannya adalah manusia-nyamuk-monyetr-nyamuk-manusia. Nyamuk penting dalam rantai penularan dengue di kota-kota besar adalah Aedes Aegypti sedangkan di hutan adalah Aedes niveus.<br /> Virus dengue tersebar sangat luas di benua Asia, Afrika, Amerika dan juga Australia dengan endemisitas dan kombinasi tipe virus yang belum tentu sama. Asia tenggara termasuk salah satu wilayah endemik dimana keempat tipe virus dapat ditemukan.<br />Manifestasi infeksi virus dengue sangat beragam mulai dari tanpa gejala, demam ringan, demam dengue, dan demam berdarah dengue. Dalam kenyataan, jumlah kasus dengan manifestasi klinis ringan dalam bentuk tanpa gejala dan demam ringan ternyata merupakan mayoritas. Diperkirakan kasus dengan manifestasi demam berdarah dengue hanya merupakan kira-kira 5 % dari seluruh kasus infeksi virus dengue. Kelompok yang bermanifestasi ringan tersebut secara klinik sukar didiagnosis.<br />MANIFESTASI KLINIK<br />Spektrum klinik infeksi virus dengue sangat beragam, mulai yang asimptomatik, demam ringan, demam dengue sampai demam berdarah dengue. Yang disebut terakhir dapat pula menyebabkan renjatan dan/atau ensefalopati. <br />Pada bayi dan anak, demam dengue bermanifestasi sebagai demam yang disertai ruam makulopapuler. Pada anak lebih besar dan dewasa, manifestasinya lebih berat dan menimbulkan trias gejala yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan timbulnya ruam makulopapuler. Demam dengue akan sembuh tanpa meninggalkan gejala sisa dan biasanya tidak menyebabkan kematian.<br />Gejala utama pada demam berdarah adalah demam tinggi, fenomena perdarahan dan hepatomegali. Pada anak sering pula disertai rasa nyeri di perut. Kadang-kadang terjadi kegagalan sirkulasi. Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan temuan khas. Hemokonsentrasi dan peningkatan nilai hematokrit yang terjadi sebagau akibat adanya kebocoran plasma adalah pembeda utana denam dengue dan demam berdarah dengue.<br />Demam biasanya timbul mendadak dan disertai gejala tak khas lain. Demam biasanya tinggi dan berlangsung selama 2- 7 hari untuk kemudian kambali menjadi normal. Pada awal demam, fenomena perdarahan berupa petekie mungkin ditemukan di ekstremitas, muka,aksila dan palatum molle. Sementara ruam makulopap, minimal uji tourniuler mungkin ditemukan pada masa konvalesen penyakit. Hati biasanya membesar tetapi jarang disertai splenomegali. Kegagalan sirkulasi biasanya terjadi pada masa suhu tubuh telah turun.<br />Menurut World Health Organization, secara klinis diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan jika ditemukan dua kriteria klinik ditambah trombositopenia (kurang dari 100.000 per ml) dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit minimal 20 %. Kriteria klinik dimaksud adalah:<br />1. Demam mendadak, tinggi, dan berlangsung 2-7 hari.<br />2. Fenomena perdarahan, minimal uji tourniquet positif.<br />3. Hepatomegali<br />4. Renjatan.<br />Berdasarkan rincian gejalanya, demam berdarah dengue dibagi atas empat yaitu:<br />1. Derajat 1:<br />Jika gejala perdarahan hanya berupa uji tourniquet positif.<br />2. Derajat 2:<br />Jika gejala perdarahan spontan.<br />3. Derajat 3:<br />Jika gejala kegagalan sirkulasi mulai tampak. Nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun.<br />4. Derajat 4:<br />Jika renjatan menjadi berat. Nadi seringkali tak teraba.<br />Selain menimbulkan sindroma gejala seperti di atas, infeksi dengue juga menimbulkan sindroma unusual dengue atau demam berdarah dengue tak lazim. Dalam hal ini terjadi gejala ensefalopati dan/ atau renjatan.<br />PATOGENESIS<br />Dengan terhisapnya darah viremik oleh vektor, virus berkembang biak dan setelah suatu periode tertentu, virus akan ditemukan di dalam kelenjar ludahnya. Vektor siap untuk meneruskan rantai penularan. Waktu yang diperlukan sejak vektor menghisap darah viremik sampai vektor siap meneruskan rantai penularan disebut masa tunas ekstrinsik dan untuk virus dengue kara-kira 8-10 hari.<br />Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel sistem retikuloendotel dan menimbulkan viremia yang dimulai menjelang gejala klinik tampak sampai 5-7 hari setelahnya. Sebagai rewaksi terhadap infeksi tubuh akan membuat antibodi anti dengue, baik berupa antibodi netralisasi, antibodi penghambat aglutinasi, dan antibodi pengikat komplemen. Pada infeksi primer, antibodi yang pertama timbul adalah antibodi netralisasi, yaitu pada hari kelima minggu pertama- minggu keempat untuk kemudian turun dengan lambat dan keberadaannya dapat bertahan seumur hidup. Antibodi netralisasi merupakan antibodi yang paling spesifik untuk tipe virus penyerang (type-spesific antibody).<br />Beberapa hari kemudian, antibodi hambatan hemaglutinasi timbul dan naik titernya sejajar dengan kenaikan titer antibodi netralisasi untuk kemudian menurun lebih cepat daripada antibodi netralisasi dan bertahan dalam tubuh bertahun-tahun. Antibodi hambatan hemaglutinasi sangat bereaksi silang dengan tipe virus dengue yang lain dan juga dengan anggota flavivirus lain (group spesific antibody).<br />Antibodi ketiga yang timbul adalah antibodi pengikat komplemen. Antibodi ini timbul mulai minggu kedua-ketiga dan titernya naik cepat hampir sejajar dengan kenaikan titer antibodi hambatan hemaglutinasi dan mencapai titer maksimum setelah satu-dua bulan atau setelah penyakitnya hilang. Kemudian antibodi ini turun dalam 1-3 tahun. Antibodi pengikat komplemen juga bereaksi silang dengan flavivirus lain.<br />Patofisiologi perdarahan pada demam berdarah dengue belum diketahui pasti karena belum adanya bibatang model yang tepat untuk percobaan. Beberapa fakta yang telah diketahui dan dianggap terkait dengan kejadian perdarahan adalah:<br />1. Virus Dengue mampu berikatan dengan sel trombosit dan dengan bantuan antibodi anti dengue, trombosit mengalami agregasi.<br />2. Fungsi trombosit pada penderita demam berdarah dengue terganggu.<br />3. Konsumsi komplemen pada penderita demam berdarah dengue meningkat sebagai akibat pengaktivan sistem komplemen.<br />4. Pada mencit, infeksi dengue merangsang sel limfosit T membentuk limfokin. Limfokin diketahui mampu merangsang pelepasan histamin dan sel pengandungnya.<br />5. Terjadinya aktivasi sistem kinin yang berperan dalam proses koagulopati.<br />6. Sel monosit terinfeksi virus dengue mengekspresikan penghambat plasminogen activator 2-3 kali lebih banyak dari pada sel normal. Zat ini diketahui mampu menyebabkan ketidakseimbangan hemostasis.<br />7. Adanya klon sel limfosit T yang teraktivasi oleh virus dengue dan klon ini mampu melisiskan sel yang terinfeksi oleh virus dengue tipe lain.<br />8. Antigen virus dengue dan sel monosit terinfeksi virus dengue merangsang limfosit manusia membentuk interferon alfa dan gamma. Interferon gamma ini in vitro diketahui mampu merangsang masuknya virus ke dalam sel. <br />9. Virus dengue mampu berkembang biak dalam sel endotel manusia dan telah diketahui bahwa integritas sel endotel ini penting dalam sistem hemostasis.<br />10. Gambaran patologi bahan otopsi menunjukkan adanya depresi sumsum tulang termasuk alur megakariosit.<br />11. Penderita demam berdarah dengue lebih banyak ditemukan pada infeksi sekunder yang terjadi oleh virus dengue tipe 2 atau 3. Selain itu telah pula dilaporkan adanya kasus-kasus demam berdarah dengue pada infeksi primer. Data ini menunjukkan bahwa virulensi virus dengue mungkin tidak sama, galur-galur tertentu mungkin lebih virulen daripada yang lainnya.<br />PATOLOGI<br />Hasil otopsi menunjukkan bahwa pada kasus demam berdarah dengue gambaran patologi makroskopik menunjukkan hepatomegali, efusi di berbagai rongga badan dan perdarahan. Menurut frekuensi kejadiannya, perdarahan ditemukan berturut-turut di kulit, jaringan bawah kulit, mukosa usus, jantung dan hati. Perdarahan di subarakhnoid dan otak jarang ditemukan. Mikroskopik kelainan ditemukan pada hati, jaringan limfoid, jantung, paru dan ginjal. Pembuluh darah biasanya tidak menunjukkan kelainan, kecuali pembuluh kapiler, arteriol, dan venula. Pada jenis pembuluh darah tersebut dapat ditemukan adanya pembengkakan sel endotel, perdarahan perivaskuler yang disertai infiltrasi limfosit dan sel mononukleus lain. Bekuan intravaskuler pada pembuluh darah kecil ditemukan pada orang dewasa dengan gejala berat. Pada jaringan limfoid dapat ditemukan pengurangan pulpa alba disertai limfositolisis dan limfofagositosis. Sedangkan pada centrum germinativum-nya tampak peningkatan aktivitas. Tampak jelas proliferasi sel plasma dan sel limfoblastoid. Sedangkan pada sumsum tulang dapat ditemukan adanya gangguan proliferasi sel yang biasanya menghilang sejalan dengan menghilangnya gejala demam.<br />Pada hati ditemukan nekrosis fokal, pembengkakan badan Councilman dan degenerasi hialin sel Kupffer. Sedangkan pada ginjal dapat ditemukan gambaran glomerulonefritis akibat deposisi komplek imun.<br />DIAGNOSIS<br />Terdapat beberapa cara pemeriksaan mikrobiologik, yaitu:<br />1. Pemeriksaan kenaikan titer antibodi anti dengue<br />2. Pemeriksaan titer antibodi anti dengue sewaktu<br />3. Pemeriksaan antigen dengue atau komponen virus dengue lain<br />4. Isolasi dan identifikasi virus.<br />Bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah darah/ serum. Bahan biopsi, walau tak lazim, juga dapat dipakai untuk deteksi antigen virus dengue. Bahan lain untuk isolasi virus atau pemeriksaan antigen virus adalah bahan otopsi berupa jaringan hati, limpa, kelenjar getah bening.<br />Untuk isolasi, darah/serum dapat diinokulasikan pada biakan sel, mencit bayi, nyamuk atau larvanya. Keberhasilan isolasi ini sangat bergantung pada saat pengambilan darah, jumlah darah, proses pengiriman darah ke laboratorium dan teknik pengujian di laboratorium. Karena hasil pemeriksaan memerlukan waktu kira-kira 1 minggu atau lebih dan secara teknik sukar, cara ini kurang dianjurkan untuk pemeriksaan rutin. Darah yang dijenuhkan ke kertas saring tak baik untuk isolasi virus. Untuk pemeriksaan titer antibodi anti dengue sesaat biasanya dipakai cara enzyme-linked immunoassay/EIA. Pemeriksaan yang dikerjakan dapat berupa penetapan IgM anti dengue atau penetapan antibodi anti dengue total. Untuk cara terakhir, kit komersial tidak tersedia. Cara pemeriksaan ini hasilnya cepat dan tidak memerlukan pengambilan darah dua kali. Hal penting yang harus dipertimbangkan dari hasil pemeriksaan cara ini adalah:<br />1. Antibodi dalam tubuh yang timbul sebagai akibat infeksi oleh anggota flavivirus bukan dengue akan bereaksi silang dengan virus dengue. Karena itu spesifisitasnya bergantung kepada komposisi komponen virus dengue yang dipakai dalam sistem pemeriksaan.<br />2. Antibodi anti dengue kelas IgM yang diinduksi oleh infeksi virus dengue muncul beberapa hari setelah timbulnya gejala klinik dan menghilang beberapa bulan kemudian.<br />3. Antibodi anti dengue kelas IgG dapat bertahan dalam tubuh bertahun-tahun lamanya dan akan mengalami boosting effect oleh infeksi flavivirus berikutnya.<br />Untuk pemeriksaan kenaikan titer antibodi, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara: EIA, uji hambatan hemaglutinasi, uji netralisasi, uji pengikatan komplemen.<br />Uji netralisasi dikerjakan dengan menginokulasikan kedalam biakan sel atau otak bayi mencit virus yang terlebih dahulu dicampur dengan serum. Jika antibodi netralisasi terdapat dalam serum, infektifitas virus akan berkurang sampai hilang. Uji netralisasi biasanya tidak dilakukan untuk pemeriksaan rutin karena teknis lebih sukar dilakukan. Pada infeksi primer, hasil uji netralisasi dapat menentukan tipe virus penyebab, tetapi pada infeksi sekunder biasanya tidak. Pada infeksi sekunder, antibodi netralisasi tertinggi tertuju pada tipe virus penyebab terdahulu. Fenomena terakhir disebut sebagai original antigenic sin.<br />Uji pengikatan komplemen kurang sensitif dibandingkan uji netralisasi dan uji hambatan hemaglutinasi dan hanya mendeteksi antibodi yang mampu berikatan dengan komplemen saja. Selain itu, darah dalam kertas dsaring tak dapat dipakai karena mengalami hemolisis.<br />Uji hambatan hemaglutinasi merupakan uji yang baik untuk pemeriksaan rutin karena teknis mudah dilakukan dan sensitivitasnya tinggi. Uji ini menetapkan titer antibodi anti dengua yang dapat menghambat kemampuan virus dengue mengaglutinasikan sel darah merah angsa. <br />PENATALAKSANAAN<br />Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1 %. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.<br />Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria:<br />1. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai dengan indikasi.<br />2. Praktis dalam pelaksanaannya.<br />3. Memperhatikan cost effectivness.<br />Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:<br />a. Protokol 1<br />Penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok. Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit(Ht), dab trombosit, bila:<br />1. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb,Ht leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalasi Gawat Darurat.<br />2. Hb, Ht, normal tetapi trombosit <><br />3. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.<br />b. Protokol 2<br />Pemberian cairan pada tersangkan DBD dewasa di ruang gawat. Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:<br />1500+ {20x(BB dalam kg-20)}<br />Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Ht, Hb tiap 24 jam:<br />1. Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit <><br />2. Bila Hb, Ht meningkat >20 % dan trombosit <> 20 %<br />c. Protokol 3<br />Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%. Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5 %. Pada keadan ini, terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus kembali dikurangi menjadi 3 ml/kg/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat diberhentikan 24-48 jam kemudian.<br />Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kg/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah turun <20><br />d. Protokol 4<br />Penataksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa. Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis/melena atau hematokezia), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, urin, nadi, pernafasan dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pmeriksaan HB,Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.<br />Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratorium didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular disseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai HB kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <>3 disertai atau tanpa KID<br />e. Protokol 5<br />Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa. Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrome syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan /pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tetap termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.<br />Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 l/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-48933457520662443492009-06-14T18:43:00.000-07:002009-06-14T18:46:19.832-07:00Novartis Temukan Vaksin Flu Meksiko<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiQN6GelDO7XMTki2EL9EmkZaah6uMW4VXuF7hZVKWpbZCmLe74qOFDOl1_1-m37Zl8Cnq-e4316nzOKfW-e0NK7bDs_CcEVdBVLRyi4OJ22OLaSgb7gHz2AHCHj24IXKTVkMwzUa-qxI/s1600-h/Vaksin+swine+flu+from+Novartis+AG.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 291px; height: 222px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiQN6GelDO7XMTki2EL9EmkZaah6uMW4VXuF7hZVKWpbZCmLe74qOFDOl1_1-m37Zl8Cnq-e4316nzOKfW-e0NK7bDs_CcEVdBVLRyi4OJ22OLaSgb7gHz2AHCHj24IXKTVkMwzUa-qxI/s320/Vaksin+swine+flu+from+Novartis+AG.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5347364561987492450" /></a><br /><br /><br />Satu hari setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan terjadinya pandemi, perusahaan farmasi Swiss, Novartis AG, menyatakan telah memproduksi vaksin eksperimen pertama khusus untuk flu Meksiko (virus A-H1N1), Jumat (12/6). Namun, vaksin itu belum diuji coba dan belum bisa digunakan untuk manusia. Vaksin eksperimen itu dibuat di dalam sel dan tidak tumbuh di dalam telur seperti yang biasa terjadi dengan vaksin.<br /><br />WHO menyebutkan, perusahaan-perusahaan farmasi diperkirakan akan memiliki vaksin untuk melawan virus A-H1N1 yang sudah siap jual setelah September mendatang. Juru bicara WHO, Fadela Chaib, mengatakan, Novartis akan menggunakan 10 liter vaksin eksperimen untuk keperluan uji coba di laboratorium. Kemungkinan vaksin itu juga akan diujicobakan ke manusia.<br /><br />Novartis menyatakan sampai saat ini sudah ada 30 negara yang meminta jatah persediaan vaksin, termasuk Departemen Kesehatan Amerika Serikat yang telah memberikan uang muka sebesar 289 juta dollar AS sejak Mei lalu.<br /><br />Belum ada vaksin<br /><br />Meskipun di Indonesia belum ada vaksin untuk memerangi influenza A-H1N1, masyarakat Indonesia diminta jangan panik. Influenza A-H1N1 telah dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO, sementara vaksin A-H1N1 belum tersedia di Indonesia.<br /><br />Hal itu dinyatakan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam sebuah konferensi pers, Jumat di ruang VIP Bandar Udara Juanda, Surabaya.<br /><br />Sebelumnya, Fadilah bertemu dengan kepala dinas kesehatan di seluruh Indonesia untuk menyosialisasikan peningkatan status A-H1N1 menjadi waspada.<br /><br />”Masyarakat agar tidak panik walau status dinaikkan menjadi waspada. Sampai hari ini belum ada kasus influenza A-H1N1 di Indonesia. Namun, saya minta masyarakat untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dengan menjaga perilaku bersih dan sehat,” ujar Fadilah yang didampingi Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama.<br /><br />Menurut Fadilah, Indonesia belum memiliki vaksin influenza A-H1N1. Ia mengatakan, penyediaan vaksin influenza A-H1N1 sepenuhnya menjadi tanggung jawab WHO. Hanya beberapa negara maju yang memiliki vaksin tersebut.<br /><br />”Walau di Indonesia belum tersedia vaksin influenza A-H1N1, kita relatif lebih siap menghadapi pandemi influenza ini karena memiliki pengalaman mengantisipasi virus flu burung. Untuk sementara, kita hanya menyediakan tamiflu,” kata Fadilah.<br /><br />Virus influenza A-H1N1, ujarnya, dapat menyebar melalui kontak langsung dari manusia ke manusia lewat batuk, bersin, atau benda-benda yang pernah bersentuhan dengan penderita. Fadilah menganjurkan masyarakat untuk senantiasa menjaga kebersihan tangan dengan sabun serta tidak bersin atau batuk di depan banyak orang. Bila ada yang menderita influenza, dianjurkan mengenakan masker.<br /><br />Tjandra menambahkan, influenza A-H1N1 sudah menginfeksi 74 negara di dunia. Tercatat delapan negara yang memiliki kasus influenza A-H1N1 terbesar, yakni Amerika Serikat, Cile, Meksiko, Kanada, Spanyol, Inggris, Jepang, dan Australia. Adapun negara tetangga Indonesia yang terinfeksi influenza A-H1N1 adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand.<br /><br />”Kami tidak mengeluarkan travel warning terhadap negara tertentu. Namun, kami menyarankan, yang tengah sakit influenza sebaiknya menunda bepergian ke luar negeri, terutama ke negara-negara yang terinfeksi influenza A-H1N1,” ungkap Tjandra. (AP/LUK/APO)<br /><br /><br />Sumber : Kompas.comAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-20405736932813679802009-06-13T17:45:00.001-07:002009-06-13T17:45:49.408-07:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN : PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)Penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung bawaan adalah sekumpulan malformasi struktur jantung atau pembuluh darah besar yang telah ada sejak lahir. Penyakit jantung bawaan yang kompleks terutama ditemukan pada bayi dan anak. Apabila tidak dioperasi, kebanyakan akan meninggal waktu bayi. Apabila penyakit jantung bawaan ditemukan pada orang dewasa, hal ini menunjukkan bahwa pasien tersebut mampu melalui seleksi alam, atau telah mengalami tindakan operasi dini pada usia muda.<br />(IPD FKUI,1996 ;1134)<br />1. Pengertian<br />Duktus Arteriosus adalah saluran yang berasal dari arkus aorta ke VI pada janin yang menghubungkan arteri pulmonalis dengan aorta desendens. Pada bayi normal duktus tersebut menutup secara fungsional 10 – 15 jam setelah lahir dan secara anatomis menjadi ligamentum arteriosum pada usia 2 – 3 minggu. Bila tidak menutup disebut Duktus Arteriosus Persisten (Persistent Ductus Arteriosus : PDA). (Buku ajar kardiologi FKUI, 2001 ; 227) <br />Patent Duktus Arteriosus adalah kegagalan menutupnya ductus arteriosus (arteri yang menghubungkan aorta dan arteri pulmonal) pada minggu pertama kehidupan, yang menyebabkan mengalirnya darah dari aorta tang bertekanan tinggi ke arteri pulmonal yang bertekanan rendah. (Suriadi, Rita Yuliani, 2001; 235)<br />Patent Duktus Arteriosus (PDA) adalah tetap terbukanya duktus arteriosus setelah lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah secara langsung dari aorta (tekanan lebih tinggi) ke dalam arteri pulmoner (tekanan lebih rendah). (Betz & Sowden, 2002 ; 375)<br /><br />2. Etiologi<br />Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan :<br />1. Faktor Prenatal :<br />• Ibu menderita penyakit infeksi : Rubella.<br />• Ibu alkoholisme.<br />• Umur ibu lebih dari 40 tahun.<br />• Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan insulin.<br />• Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu.<br />2. Faktor Genetik :<br /> Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.<br /> Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.<br /> Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.<br /> Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.<br />(Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita, 2001 ; 109)<br />3. Manifestasi Klinis<br />Manifestasi klinis PDA pada bayi prematur sering disamarkan oleh masalah-masalah lain yang berhubungan dengan prematur (misalnya sindrom gawat nafas). Tanda-tanda kelebihan beban ventrikel tidak terlihat selama 4 – 6 jam sesudah lahir. Bayi dengan PDA kecil mungkin asimptomatik, bayi dengan PDA lebih besar dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif (CHF)<br /> Kadang-kadang terdapat tanda-tanda gagal jantung<br /> Machinery mur-mur persisten (sistolik, kemudian menetap, paling nyata terdengar di tepi sternum kiri atas)<br /> Tekanan nadi besar (water hammer pulses) / Nadi menonjol dan meloncat-loncat, Tekanan nadi yang lebar (lebih dari 25 mm Hg)<br /> Takhikardia (denyut apeks lebih dari 170), ujung jari hiperemik<br /> Resiko endokarditis dan obstruksi pembuluh darah pulmonal.<br /> Infeksi saluran nafas berulang, mudah lelah<br /> Apnea<br /> Tachypnea<br /> Nasal flaring<br /> Retraksi dada<br /> Hipoksemia<br /> Peningkatan kebutuhan ventilator (sehubungan dengan masalah paru)<br />(Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236, Betz & Sowden, 2002 ; 376)<br />4. Pathways<br />Terlampir<br /><br />5. Komplikasi<br />• Endokarditis<br />• Obstruksi pembuluh darah pulmonal<br />• CHF<br />• Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur)<br />• Enterokolitis nekrosis<br />• Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas atau displasia bronkkopulmoner)<br />• Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit<br />• Hiperkalemia (penurunan keluaran urin.<br />• Aritmia<br />• Gagal tumbuh<br />(Betz & Sowden, 2002 ; 376-377, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)<br />6. Penatalaksanaan Medis<br />• Penatalaksanaan Konservatif : Restriksi cairan dan bemberian obat-obatan : Furosemid (lasix) diberikan bersama restriksi cairan untuk meningkatkan diuresis dan mengurangi efek kelebihan beban kardiovaskular, Pemberian indomethacin (inhibitor prostaglandin) untuk mempermudah penutupan duktus, pemberian antibiotik profilaktik untuk mencegah endokarditis bakterial.<br />• Pembedahan : Pemotongan atau pengikatan duktus.<br />• Non pembedahan : Penutupan dengan alat penutup dilakukan pada waktu kateterisasi jantung.<br />(Betz & Sowden, 2002 ; 377-378, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)<br />7. Pemeriksaan Diagnostik<br />1. Foto Thorak : Atrium dan ventrikel kiri membesar secara signifikan (kardiomegali), gambaran vaskuler paru meningkat<br />2. Ekhokardiografi : Rasio atrium kiri tehadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada bayi cukup bulan atau lebih dari 1,0 pada bayi praterm (disebabkan oleh peningkatan volume atrium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan)<br />3. Pemeriksaan dengan Doppler berwarna : digunakan untuk mengevaluasi aliran darah dan arahnya.<br />4. Elektrokardiografi (EKG) : bervariasi sesuai tingkat keparahan, pada PDA kecil tidak ada abnormalitas, hipertrofi ventrikel kiri pada PDA yang lebih besar.<br />5. Kateterisasi jantung : hanya dilakukan untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO atau Doppler yang meragukan atau bila ada kecurigaan defek tambahan lainnya.<br />(Betz & Sowden, 2002 ;377)<br />8. Pengkajian<br />• Riwayat keperawatan : respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas terbatas)<br />• Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan (machinery mur-mur), edera tungkai, hepatomegali.<br />• Kaji adanya hipoksia kronis : Clubbing finger<br />• Kaji adanya hiperemia pada ujung jari<br />• Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan<br />• Pengkajian psikososial meliputi : usia anak, tugas perkembangan anak, koping yang digunakan, kebiasaan anak, respon keluarga terhadap penyakit anak, koping keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress.<br />9. Diagnosa Keperawatan<br />1. Penurunan Curah jantung b.d malformasi jantung.<br />2. Gangguan pertukaran gas b.d kongesti pulmonal.<br />3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke sel.<br />4. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan.<br />5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori.<br />6. Resiko infeksi b.d menurunnya status kesehatan.<br />7. Perubahan peran orang tua b.d hospitalisasi anak, kekhawatiran terhadap penyakit anak.<br />10. Intervensi<br />1. Mempertahankan curah jantung yang adekuat :<br /> Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan kehangatan kulit<br /> Tegakkan derajat sianosis (sirkumoral, membran mukosa, clubbing)<br /> Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, mudah lelah, periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali)<br /> Kolaborasi pemberian digoxin sesuai order, dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toksisitas.<br /> Berikan pengobatan untuk menurunkan afterload<br /> Berikan diuretik sesuai indikasi.<br />1. Mengurangi adanya peningkatan resistensi pembuluh paru:<br />• Monitor kualitas dan irama pernafasan<br />• Atur posisi anak dengan posisi fowler<br />• Hindari anak dari orang yang terinfeksi<br />• Berikan istirahat yang cukup<br />• Berikan nutrisi yang optimal<br />• Berikan oksigen jika ada indikasi<br /><br />1. Mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat :<br />• Ijinkan anak untuk sering beristirahat, dan hindarkan gangguan pada saat tidur<br />• Anjurkan untuk melakukan permainan dan aktivitas ringan<br />• Bantu anak untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi dan kemampuan anak.<br />• Hindarkan suhu lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin<br />• Hindarkan hal-hal yang menyebabkan ketakutan / kecemasan pada anak<br /><br />1. Memberikan support untuk tumbuh kembang<br />• Kaji tingkat tumbuh kembang anak<br />• Berikan stimulasi tumbuh kembang, kativitas bermain, game, nonton TV, puzzle, nmenggambar, dan lain-lain sesuai kondisi dan usia anak.<br />• Libatkan keluarga agar tetap memberikan stimulasi selama dirawat<br /><br />1. Mempertahankan pertumbuhan berat badan dan tinggi badan yang sesuai<br />• Sediakan diit yang seimbang, tinggi zat-zat nutrisi untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat<br />• Monitor tinggi badan dan berat badan, dokumentasikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui kecenderungan pertumbuhan anak<br />• Timbang berat badan setiap hari dengan timbangan yang sama dan waktu yang sama<br />• Catat intake dan output secara benar<br />• Berikan makanan dengan porsi kecil tapi sering untuk menghindari kelelahan pada saat makan<br />• Anak-anak yang mendapatkan diuretik biasanya sangat haus, oleh karena itu cairan tidak dibatasi.<br /><br />1. Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi<br />• Hindari kontak dengan individu yang terinfeksi<br />• Berikan istirahat yang adekuat<br />• Berikan kebutuhan nutrisi yang optimal<br /><br />1. Memberikan support pada orang tua<br />• Ajarkan keluarga / orang tua untuk mengekspresikan perasaannya karena memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskudikan rencana pengobatan, dan memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan<br />• Ekplorasi perasaan orang tua mengenai perasaan ketakutan, rasa bersalah, berduka, dan perasaan tidak mampu<br />• Mengurangi ketakutan dan kecemasan orang tua dengan memberikan informasi yang jelas<br />• Libatkan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit<br />• Memberikan dorongan kepada keluarga untuk melibatkan anggota keluarga lain dalama perawatan anak.<br /><br />11. Hasil Yang Diharapkan<br />1. Anak akan menunjukkan tanda-tanda membaiknya curah jantung<br />2. Anak akan menunjukkan tanda-tanda tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru<br />3. Anaka akan mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat<br />4. Anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan tinggi badan<br />5. Anaka akan mempertahankan intake makanan dan minuman untuk mempertahankan berat badan dan menopang pertumbuhan<br />6. Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi<br />7. Orang tua akan mengekspresikan perasaannya akibat memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan, dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan.<br /><br />12. Perencanaan Pemulangan<br />• Kontrol sesuai waktu yang ditentukan<br />• Jelaskan kebutuhan aktiviotas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan usia dan kondisi penyakit<br />• Mengajarkan ketrampilan yang diperlukan di rumah, yaitu :<br />o Teknik pemberian obat<br />o Teknik pemberian makanan<br />o Tindakan untuk mengatasi jika terjadi hal-hal yang mencemaskan tanda-tanda komplikasi, siapa yang akan dihubungi jika membutuhkan pertolongan.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-84176594692076406052009-06-13T17:44:00.000-07:002009-06-13T17:45:01.081-07:00Perkembangan anak menurut Denver II (DDST II)Pengertian<br />Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 1997).<br />Perkembangan Menurut Denver II<br />Denver II adalah revisi utama dari standardisasi ulang dari Denver Development Screening Test (DDST) dan Revisied Denver Developmental Screening Test (DDST-R). Adalah salah satu dari metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak. Tes ini bukan tes diagnostik atau tes IQ. Waktu yang dibutuhkan 15-20 menit.<br />a. Aspek Perkembangan yang dinilai<br />Terdiri dari 125 tugas perkembangan.<br />Tugas yang diperiksa setiap kali skrining hanya berkisar 25-30 tugas<br />Ada 4 sektor perkembangan yang dinilai:<br />1) Personal Social (perilaku sosial)<br />Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.<br />2) Fine Motor Adaptive (gerakan motorik halus)<br />Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat.<br />3) Language (bahasa)<br />Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan<br />4) Gross motor (gerakan motorik kasar)<br />Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.<br />b. Alat yang digunakan<br /> Alat peraga: benang wol merah, kismis/ manik-manik, Peralatan makan, peralatan gosok gigi, kartu/ permainan ular tangga, pakaian, buku gambar/ kertas, pensil, kubus warna merah-kuning-hijau-biru, kertas warna (tergantung usia kronologis anak saat diperiksa).<br /> Lembar formulir DDST II<br /> Buku petunjuk sebagai referensi yang menjelaskan cara-cara melakukan tes dan cara penilaiannya.<br />c. Prosedur DDST terdiri dari 2 tahap, yaitu:<br />1) Tahap pertama: secara periodik dilakukan pada semua anak yang berusia:<br />3-6 bulan<br />9-12 bulan<br />18-24 3-24 bln<br />3 tahun<br />4 tahun<br />5 tahun<br />2) Tahap kedua: dilakukan pada mereka yang dicurigai adanya hambatan perkembangan pada tahap pertama. Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi diagnostik yang lengkap.<br />d. Penilaian<br />Jika Lulus (Passed = P), gagal (Fail = F), ataukah anak tidak mendapat kesempatan melakukan tugas (No Opportunity = NO). <br />CARA PEMERIKSAAN DDST II<br /> Tetapkan umur kronologis anak, tanyakan tanggal lahir anak yang akan diperiksa. Gunakan patokan 30 hari untuk satu bulan dan 12 bulan untuk satu tahun. <br /> Jika dalam perhitungan umur kurang dari 15 hari dibulatkan ke bawah, jika sama dengan atau lebih dari 15 hari dibulatkan ke atas.<br /> Tarik garis berdasarkan umur kronologis yang memotong garis horisontal tugas perkembangan pada formulir DDST.<br /> Setelah itu dihitung pada masing-masing sektor, berapa yang P dan berapa yang F.<br /> Berdasarkan pedoman, hasil tes diklasifikasikan dalam: Normal, Abnormal, Meragukan dan tidak dapat dites.<br />1) Abnormal<br />a) Bila didapatkan 2 atau lebih keterlambatan, pada 2 sektor atau lebih<br />b) Bila dalam 1 sektor atau lebih didapatkan 2 atau lebih keterlambatan Plus 1 sektor atau lebih dengan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tersebut tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia . <br />2) Meragukan<br />a) Bila pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih<br />b) Bila pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.<br />3) Tidak dapat dites<br />Apabila terjadi penolakan yang menyebabkan hasil tes menjadi abnormal atau meragukan.<br />4) Normal<br />Semua yang tidak tercantum dalam kriteria di atas.<br />Pada anak-anak yang lahir prematur, usia disesuaikan hanya sampai anak usia 2 tahun:<br />Contoh perhitungan anak dengan prematur:<br />An. Lula lahir prematur pada kehamilan 32 minggu, lahir pada tanggal 5 Agustus 2006. Diperiksa perkembangannya dengan DDST II pada tanggal 1 April 2008. Hitung usia kronologis An. Lula!<br />Diketahui:<br />Tanggal lahir An. Lula : 5-8-2006<br />Tanggal periksa : 1-4-2008<br />Prematur : 32 minggu<br />Ditanyakan:<br />Berapa usia kronologis An. Lula?<br />Jawab:<br />2008 – 4 – 1 An. Lula prematur 32 minggu<br />2006 – 8 – 5 Aterm = 37 minggu<br />_________ - Maka 37 – 32 = 5 minggu <br />1 – 7 -26<br /> Jadi usia An. Lula jika aterm (tidak prematur) adalah 1 tahun 7 bulan 26 hari atau<br />1 tahun 8 bulan atau 20 bulan<br />Usia tersebut dikurangi usia keprematurannya yaitu 5 minggu X 7 hari = 35 hari, sehingga usia kronologis An. Lula untuk pemeriksaan DDST II adalah:<br /> 1 tahun 7 bulan 26 hari – 35 hari = 1 tahun 6 bulan 21 hari<br />Atau<br />1 tahun 7 bulan atau 19 bulan<br />Interpretasi dari nilai Denver II<br /> Advanced <br />Melewati pokok secara lengkap ke kanan dari garis usia kronologis (dilewati pada kurang dari 25% anak pada usia lebih besar dari anak tersebut)<br /> OK<br />Melewati, gagal, atau menolak pokok yang dipotong berdasarkan garis usia antara persentil ke-25 dan ke-75<br /> Caution<br />Gagal atau menolak pokok yang dipotong berdasarkan garis usia kronologis di atas atau diantara persentil ke-75 dan ke-90<br /> Delay<br />Gagal pada suatu pokok secara menyeluruh ke arah kiri garis usia kronologis; penolakan ke kiri garis usia juga dapat dianggap sebagai kelambatan, karena alasan untuk menolak mungkin adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas tertentu<br />Interpretasi tes<br /> Normal<br />Tidak ada kelambatan dan maksimum dari satu kewaspadaan<br /> Suspect<br />Satu atau lebih kelambatan dan/ atau dua atau lebih banyak kewaspadaan<br /> Untestable<br />Penolakan pada satu atau lebih pokok dengan lengkap ke kiri garis usia atau pada lebih dari satu pokok titik potong berdasarkan garis usia pada area 75% sampai 90%<br />Rekomendasi untuk rujukan tes Suspect dan Untestable:<br />Skrining ulang pada 1 sampai 2 minggu untuk mengesampingkan faktor temporerAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-60730775843244436922009-06-13T17:43:00.000-07:002009-06-13T17:48:14.767-07:00Reaksi HospitalisasiReaksi tersebut bersifat individual dan sangat tergantung pada usia perkembangan anak,pengalaman sebelumnya terhadap sakit,sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan koping yang dimilikinya,pada umumnya,reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan,kehilangan,<br />perlukaan tubuh,dan rasa nyeri.<br /># Reaksi anak pada hospitalisasi :<br />1. Masa bayi(0-1 th)<br />Dampak perpisahan<br />Pembentukan rasa P.D dan kasih sayang<br />Usia anak > 6 bln terjadi stanger anxiety /cemas<br />- Menangis keras<br />- Pergerakan tubuh yang banyak<br />- Ekspresi wajah yang tak menyenangkan<br />2.Masa todler (2-3 th)<br />Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan .Disini respon perilaku anak dengan tahapnya.<br />> Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain<br />> Putus asa menangis berkurang,anak tak aktif,kurang menunjukkan minat bermain, sedih, apatis<br />> Pengingkaran/ denial<br />- Mulai menerima perpisahan<br />- Membina hubungan secara dangkal<br />- Anak mulai menyukai lingkungannya<br />3. Masa prasekolah ( 3 sampai 6 tahun )<br />- Menolak makan<br />- Sering bertanya<br />- Menangis perlahan<br />- Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan<br />Perawatan di rumah sakit :<br />- Kehilangan kontrol<br />- Pembatasan aktivitas<br />Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman.<br />Sehingga ada perasaan malu, takut sehingga<br />menimbulkan reaksi agresif, marah, berontak,tidak mau<br />bekerja sama dengan perawat.<br />4.Masa sekolah 6 sampai 12 tahun<br />Perawatan di rumah sakit memaksakan<br />meninggalkan lingkungan yang dicintai , klg, klp sosial sehingga menimbulkan<br />kecemasan<br />Kehilangan kontrol berdampak pada perubahan peran dlm klg, kehilangan klp sosial,perasaan takut mati,kelemahan fisik<br />Reaksi nyeri bisa digambarkan dgn verbal dan non verbal<br />5.Masa remaja (12 sampai 18 tahun )<br />Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh<br />kelompok sebayanya<br />Saat MRS cemas karena perpisahan tersebut<br />Pembatasan aktifitas kehilangan kontrol<br />Reaksi yang muncul :<br />> Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan<br />> Tidak kooperatif dengan petugas<br />Perasaan sakit akibat perlukaan menimbulkan<br />respon :<br />- bertanya-tanya<br />- menarik diri<br />- menolak kehadiran orang lain<br /># Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi<br />& Perasaan yang muncul dalam hospitalisasi:<br />Takut dan cemas,perasaan sedih dan frustasi:<br />Kehilangan anak yang dicintainya:<br />- Prosedur yang menyakitkan<br />- Informasi buruk tentang diagnosa medis<br />- Perawatan yang tidak direncanakan<br />- Pengalaman perawatan sebelumnya<br />&Perasaan sedih:<br />Kondisi terminal perilaku isolasi /tidak mau didekati orang lain<br />&Perasaan frustasi:Kondisi yang tidak mengalami perubahan Perilaku tidak kooperatif,putus asa,menolak tindakan,menginginkan P.P<br />&Reaksi saudara kandung terhadap perawatan anak di RS: Marah,cemburu,benci,rasa bersalah<br />INTEVENSI PERAWATAN DALAM MENGATASI DAMPAK HOSPITALISASI<br />Fokus intervensi keperawatan adalah<br />- meminimalkan stressor<br />- memaksimalkan manfaat hospitalisasi memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga<br />- mempersiapkan anak sebelum masuk rumah sakit<br /># Upaya meminimalkan stresor atau penyebab stress<br />Dapat dilakukan dengan cara :<br />- Mencegah atau mengurangi dampak perpisahan<br />- Mencegah perasaan kehilangan kontrol<br />- Mengurangi / meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri<br />#Upaya mencegah / meminimalkan dampak perpisahan<br />1. Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak<br />2. Modifikasi ruang perawatan<br />3. Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah<br />- Surat menyurat, bertemu teman sekolah<br /># Mencegah perasaan kehilangan kontrol:<br />- Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif.<br />- Bila anak diisolasi lakukan modifikasi lingkungan<br />- Buat jadwal untuk prosedur terapi,latihan,bermain<br />- Memberi kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan<br /># Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri<br />> Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri<br />> Lakukan permainan sebelum melakukan persiapan fisik anak<br />> Menghadirkan orang tua bila memungkinkan<br />> Tunjukkan sikap empati<br />> Pada tindakan elektif bila memungkinkan menceritakan tindakan yang dilakukan melalui cerita, gambar. Perlu dilakukan pengkajian tentang kemampuan psikologis anak menerima informasi ini dengan terbuka<br /># Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak<br />> Membantu perkembangan anak dengan memberi kesempatan orang tua untuk belajar .<br />> Memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak.<br />> Meningkatkan kemampuan kontrol diri.<br />> Memberi kesempatan untuk sosialisasi.<br />> Memberi support kepada anggota keluarga.<br /># Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan di rumah sakit<br />> Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak.<br />> Mengorientasikan situasi rumah sakit.<br />Pada hari pertama lakukan tindakan :<br />- Kenalkan perawat dan dokter yang merawatnya<br />- Kenalkan pada pasien yang lain.<br />- Berikan identitas pada anak.<br />- Jelaskan aturan rumah sakit.<br />- laksanakan pengkajian .<br />- Lakukan pemeriksaan fisik.<br /># Pengertian bermain<br />> Cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkan konflik dalam dirinya yang tidak disadari<br />> Kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan sendiri untuk memperoleh kesenangan.<br /># Bermain merupakan kegiatan<br />- Menyenangkan / dinikmati<br />- Fisik.<br />- Intelektual.<br />- Emosi.<br />- Sosial.<br />- Untuk belajar.<br />- Perkembangan mental.<br />- Bermain dan bekerja<br /># Tujuan bemain di rumah sakit<br />> Untuk dapat melanjutkan tumbuh kembang yang normal selama di rawat<br />> Untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan dan fantasinya melalui permainan<br /># Prinsip bermain di rumah sakit<br />- Tidak membutuhkan banyak energi<br />- Waktunya singkat.<br />- Mudah dilakukan<br />- Aman<br />- Kelompok umur.<br />- Tidak bertentangan dengan terapi.<br />- Melibatkan keluarga.<br /># Fungsi bermain<br />- Aktifitas sensori motorik<br />- Perkembangan kognitif<br />- Sosialisasi<br />- Kreatifitas<br />- Perkembangan moral therapeutik<br />- Komunikasi.<br /># Klasifikasi bermain<br />I. Isi permainan<br />1. Sosial affective play<br />- Belajar memberi respon terhadap lingkungan<br />* Orang tua berbicara/memanjakan —- anak senang,tersenyum,mengeluarkan suara,dll<br />2.Sense of pleasure play<br />————Anak memperoleh kesenangan dari suatu obyek disekitarnya<br />—-Bermain air/pasir<br />3. Skill play<br />——–>Anak memperoleh keterampilan tertentu<br />- Mengendarai sepeda,memindahkan balon,dll<br />4. Dramatic play/tole play<br />Anak berfantasi menjalankan peran tertentu<br />–>Berperan sebagai: Perawat,dokter,ayah,ibu,dll<br /># Karakteristik Sosial<br />1.Solitary play<br />Dilakukan oleh balita ( todler)<br />Bermain dalam kelompok 1 thn merupakan asyik dengan permainannya sendiri yang berlainan<br />- Dilakukan oleh balita atau pre school<br />- Bermain dalam kelompok, permainan sejenis,tak ada interaksi,tak tergantung<br />- Bermain dalam kelompok,aktivitas sama,tetapi belum terorganisasi dengan<br />baik<br />- Belum ada pembagian tugas, bermain sesuai dengan keinginannya<br />- Bermain dalam kelompok,aktivitas sama,tetapi belum terorganisasi dengan baik<br />- Belum ada pembagian tugas, bermain sesuai dengan keinginannya<br />- School age/ adolescant<br />——>Permainan terorganisasi terencana,ada aturan-aturan tertentu<br /># Faktor-faktor yang mempengaruhi bermain<br />1. Tahap perkembangan anak<br />2. Status kesehatan<br />3. Jenis kelamin<br />4. Alat permainAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-89540676642001677672009-06-13T17:41:00.000-07:002009-06-13T17:48:25.633-07:00HOSPITALISASI PADA ANAKHospitalisasi bagi keluarga dan anak dapat dianggap sebagai :<br />1.Pengalaman yang mengacam<br />2.Stressor<br /><br />Keduanya dapat menimbulkan krisis bagi anak dan keluarga<br /><br />Bagi anak hal ini mungkin terjadi karena :<br />1.Anak tidak memahami mengapa dirawat / terluka<br />2.Stress dengan adanya perubahan akan status kesehatan, lingkungan dan kebiasaan sehari-hari<br />3.Keterbatasan mekanisme koping<br /><br />Reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi dipengaruhi :<br />1.Tingkat perkembangan usia<br />2.Pengalaman sebelumnya<br />3.Support system dalam keluarga<br />4.Keterampilan koping<br />5.Berat ringannya penyakit<br /><br />Stress yang umumnya terjadi berhubungan dengan hospitalisasi :<br />1.Takut<br />1)Unfamiliarity<br />2)Lingkungan rumah sakit yang menakutkan<br />3)Rutinitas rumah sakit<br />4)Prosedur yang menyakitkan<br />5)Takut akan kematian<br />2.Isolasi<br />Isolasi merupakan hal yang menyusahkan bagi semua anak terutama berpengaruh pada anak dibawah usia 12 tahun<br />Pengunjung, perawat dan dokter yang memakai pakaian khusus ( masker, pakaian isolasi, sarung tangan, penutup kepala ) dan keluarga yang tidak dapat bebas berkunjung.<br />3.Privasi yang terhambat<br />Terjadi pada anak remaja ; rasa malu, tidak bebas berpakaian<br /><br />Faktor-Faktor yang mempengaruhi Hospitalisasi pada anak<br />1.Berpisah dengan orang tua dan sibling<br />2.Fantasi-fantasi dan unrealistic anxieties tentang kegelapan, monster, pembunuhan dan diawali oleh situasi yang asing.binatang buas <br />3.Gangguan kontak social jika pengunjung tidak diizinkan<br />4.Nyeri dan komplikasi akibat pembedahan atau penyakit<br />5.Prosedur yang menyakitkan<br />6.Takut akan cacat atau mati. <br /><br />Stressor pada Infant<br />Separation anxiety ( cemas karena perpisahan ) <br />-Pengertian terhadap realita terbatas hubungan dengan ibu sangat dekat<br />-Kemampuan bahasa terbatas<br /><br />Respon Infant akibat perpisahan dibagi tiga tahap <br />1.Tahap Protes ( Fase Of Protes )<br />-Menangis kuat<br />-Menjerit<br />-Menendang<br />-Berduka<br />-Marah<br />2.Tahap Putus Asa ( Phase Of Despair )<br />-Tangis anak mula berkurang<br />-Murung, diam, sedih, apatis<br />-Tidak tertarik dengan aktivitas di sekitarnya<br />-Menghisap jari<br />-Menghindari kontak mata<br />-Berusaha menghindar dari orang yang mendekati<br />-Kadang anak tidak mau makan<br />3.Tahap Menolak ( Phase Detachment / Denial ) <br />-Secara samar anak seakan menerima perpisahan ( pura-pura )<br />-Anak mulai tertarik dengan sesuatu di sekitarnya<br />-Bermain dengan orang lain<br />-Mulai membina hubungan yang dangkal dengan orang lain.<br />-Anak mulai terlihat gembira<br /><br />Kehilangan Fungsi dan Kontrol<br />Hal ini terjadi karena ada persepsi yang salah tentang prosedur dan pengobatan serta aktivitas di rumah sakit, misalnya karena diikat/restrain tangan, kaki yang membuat anak kehilangan mobilitas dan menimbulkan stress pada anak<br /><br />Gangguan Body Image dan Nyeri<br />-Infant masih ragu tentang persepsi body image<br />-Tetapi dengan berkembangnya kemampuan motorik infant dapat memahami arti dari organ tubuhnya, missal : sedih/cemas jika ada trauma atau luka.<br />-Warna seragam perawat / dokter ( putih ) diidentikan dengan prosedur tindakan yang menyakitkan sehingga meningkatkan kecemasan bagi infant.<br /><br />Berdasarkan theory psychodynamic, sensasi yang berarti bagi infant adalah berada di sekitar mulut dan genitalnya. Hal ini diperjelas apabila infant cemas karena perpisahan, kehilangan control, gangguan body image dan nyeri infant biasanya menghisap jari, botol.<br /><br />STRESSOR PADA ANAK USIA AWAL ( TODDLER & PRA SEKOLAH <br />Reaksi emosional ditunjukan dengan menangis, marah dan berduka sebagai bentuk yang sehat dalam mengatasi stress karena hospitalisasi.<br /><br />Pengertian anak tentang sakit<br /><br />-Anak mempersepsikan sakit sebagai suatu hukuman untuk perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan tentang dunia di sekitar mereka.<br />-Anak mempuyai kesulitan dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bias bermain dengan temannya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga membuat mereka harus pergi ke rumah sakit dan harus mengalami hospitalisasi.<br />-Reaksi anak tentang hukuman yang diterimanya dapat bersifat passive, cooperative, membantu atau anak mencoba menghindar dari orang tua, anak menjadi marah.<br /><br />Separation /perpisahan<br />-anak takut dan cemas berpisah dengan orang tua<br />-anak sering mimpi buruk<br /><br />Kehilangan fungsi dan control<br />Dengan adanya kehilangan fungsi sehubungan dengan terganggunya fungsi motorik biasanya mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai dapat terhambat. Hal ini membuat anak menjadi regresi; ngompol lagi, suka menghisap jari dan menolak untuk makan.<br /><br />Restrain / Pengekangan dapat menimbulkan anak menjadi cemas<br /><br />Gangguan Body Image dan nyeri<br />-Merasa tidak nyaman akan perubahan yang terjadi<br />-Ketakutan terhadap prosedur yang menyakitkan<br /><br />STRESSOR PADA USIA PERTENGAHAN<br />Restrain atau immobilisasi dapat menimbulkan kecemasan<br />Pengertian tentang sakit <br />-anak usia 5 – 7 tahun mendefinisikan bahwa mereka sakit sehingga membuat mereka harus istirahat di tempat tidur<br />-Pengalaman anak yang terdahulu selalu mempengaruhi pengertian anak tentang penyakit yang di alaminya.<br /><br />Separation /Perpisahan<br />-Dengan semakin meningkatnya usia anak, anak mulai memahami mengapa perpisahan terjadi.<br />-Anak mulai mentolerir perpisahan dengan orang tua yang berlangsunng lama.<br />-Perpisahan dengan teman sekolah dan guru merupakan hal yang berarti bagi anak sehingga dapat mengakibatkan anak menjadi cemas.<br /><br />Kehilangan Fungsi Dan Kontrol<br />-Bag anak usia pertengahan ancaman akan harga diri mereka sehingga sering membuat anak frustasi, marah dan depresi.<br />-Dengan adanya kehilangan fungsi dan control anak merasa bahwa inisiatif mereka terhambat.<br /><br />Gangguan body image dan nyeri<br />-anak mulai menyadari tentang nyeri<br />-Anak tidak mau melihat bagian tubuhnya yang sakit atau adanya luka insisi.<br /><br /><br />STRESSOR PADA ANAK USIA AKHIR<br />-Anak mulai mulai memahami konsep sakit yang bias disebbkan oleh factor eksternal atau bakteri, virus dan lain-lain.<br />-Mereka percaya bahwa penyakit itu bisa dicegah <br /><br />Separation / Perpisahan<br />-Perpisahan dengan orang tua buakan merupakan suatu masalah<br />-Perpisahan dengan teman sebaya / peer group dapat mengakibatkan stress<br />-Anak takut kehilangan status hubungan dengan teman<br /><br />Kehilangan fungsi control<br />Anak takut kehilangan control diri karena penyakit dan rasa nyeri yang dialaminya.<br /><br />Gangguan body Image<br />-Anak takut mengalami kecacatan dan kematian<br />-Anak takut sesuatu yang terjadi atau berpengaruh terhadap alat genitalianya<br /><br />STRESSOR PADA ADOLESCENT/REMAJA<br /><br />Pengertian tentang sakit<br />-Anak mulai memahami konsep yang abstrak dan penyebab sakit yang bersifat kompleks<br />-Anak mulai memahami bahwa hal-hal yang bias mempengaruhi sakit.<br /><br />Separation / Perpisahan<br /><br />-Anak remaja sangat dipengaruhi oleh peer groupnya, jika mereka sakit akan menimbulkan stress akan perpisahan dengan teman sebayanya.<br />-Anak juga kadang menghinda dan mencoba membatasi kontak dengan peer groupnya jika mereka mengalami kecacatan.<br /><br />Kehilangan fungsi control<br />-bagi remaja sakit dapat mempengaruhi fungsi kemandirian mereka.<br />-Penyakit kronis dapat menimbulkan kehilangan dan mengncam konsep diri remaja.<br />-Reaksi anak biasanya marah frustasi atau menarik diri<br /><br />Gangguan body image<br /><br />-sakit pada remaja mengakibatkan mereka merasa berbeda dengan peer groupnya dan sangat mempengaruhi kemampuan anak dalam menangani stress karena adanya perubahan body image. Remaja khawatir diejek oleh teman / peer groupnya.<br />-Mengalami stress apabila dilakukan pemeriksaan fisik yang berhubungan dengan organ seksual.<br /><br />STRESSOR DAN REAKSI KELUARGA SEHUBUNGAN DENGAN HOSPITALISASI ANAK<br /><br /> Bagian integral dari keluargaAnak <br /><br />Jika anak harus menjalani hospitalisasi akan memberikan pengaruh terhadap angggota keluarga dan fungsi keluarga ( Wong & Whaley, 1999)<br /><br />Bagaimana reaksi orang tua ?<br /><br />Reaksi orang tua dipengaruhi oleh :<br />1.Tingkat keseriusan penyakit anak<br />2.Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan hospitalisasi<br />3.Prosedur pengobatan<br />4.Kekuatan ego individu<br />5.Kemampuan koping<br />6.Kebudayaan dan kepercayaan<br />7 Komunikasi dalam keluarga<br /><br />Pada umumnya reaksi orang tua<br />1.Denial / disbelief<br />Tidak percaya akan penyakit anaknya<br />2.Marah / merasa bersalah<br />Merasa tidak mampu merawat anaknya<br />3.Ketakutan, cemas dan frustasi<br />-Tingkat keseriusan penyakit<br />-Prosdur tindakan medis<br />-Ketidaktahuan<br />4.Depresi<br />-terjadi setelah masa krisis anak berlalu<br />-Merasa lelah fisik dan mental<br />-Khawatir memikirkan anaknya yang lain di rumah<br />-Berhubungan dengan efek samping pengobatan<br />-Berhubungan dengan biaya pengobatan dan perawatan<br /><br />Bagaimana reaksi sibling ?<br /><br />Pada umumnya reaksi sibling<br />-merasa kesepian<br />-Ketakutan<br />-Khawatir<br />-Marah<br />-Cemburu<br />-Rasa benci<br />-Rasa bersalah<br /><br />Pengaruh pada fungsi keluarga<br />Pola Komunikasi<br />-Komunikasi antar anggota keluarga terganggu<br />-Respon emosional tidak dapat terkontrol dengan baik<br /><br />PENURUNAN PERAN ANGGOTA KELUARGA<br />POLA KOMUNIKASI<br />-Kehilangan peran orang tua<br />-Perhatian orang tua tertuju pada anak yang sakit dan di rawat<br />-Kadang orang tua menyalahkan sibling sebagai perilaku antisocial.<br /><br />HOW TO HELP THE CHILDREN COPE WITH HOSPITALIZATION ?<br />-Preparation for hospitalization is very important with children whenever time permits<br />-Visit to the hospital<br />-If the hospital have videos that parents and children can watch together. The best videos are those that are specific to the hospital to be used and those that are tailored to the specific illness and procedures the child with experience.<br />-The preparation techniques for specific procedures <br />-Letting the child know why she / he need to be in hospital and when she / he becoming home<br />-Let the child know what she / he will see, hear, smelt, feel and be expected to do. Reassure a child that he / she is not being punished for some thing they did wrong.<br />-Understand the child’s feelings, listen to his concerns, fears and fantasies. Remind him that it is ok to be scared or cry.<br />-Supporting the child<br />-Give adequate information<br /> can help decrease some of that fear.-Involve parents in caring children, rooming in <br /><br />Bagaimana mengatasi masalah yang mungkin timbul sehubungan dengan hospitalisasi anak<br />-Libatkan orang tua dalam mengatasi stress anak dan pelaksanaan asuhan keperawatan<br />-Bina hubungan saling percaya antara perawat dengan anak dan keluarga.<br />-Kurangi batasan-batasan yang diberikan pada anak<br />-Beri dukungan pada anak dan keluarga<br />-Beri informasi yang adekuat.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-52135933029849715192009-06-13T17:40:00.000-07:002009-06-13T17:48:33.613-07:00ASKEP DIARE PADA ANAKPENGERTIAN<br />• Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100 - 200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat), dapat pula disertai frekuensi defekasi yang meningkat (Mansjoer, Arif., et all. 1999). <br />• Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari ( WHO, 1980),<br />• Gastroentritis ( GE ) adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah (Sowden,et all.1996).<br />• Gastroenteritis diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi yang lebih banyak dari biasanya (FKUI,1965).<br />• Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinal yang disebabkan oleh bakteri yang bermacam-macam,virus dan parasit yang patogen (Whaley & Wong’s,1995).<br />• Gastroenteritis adalah kondisi dengan karakteristik adanya muntah dan diare yang disebabkan oleh infeksi,alergi atau keracunan zat makanan ( Marlenan Mayers,1995 ).<br />Jadi dari keempat pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa gastroenteritis adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya yang disebabkan oleh bakteri,virus dan parasit yang patogen.<br />PATOFISIOLOGI<br />Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus, Adenovirus enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter, Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut.<br />Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal-oral dari satu klien ke klien yang lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi.<br />Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare ). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan mutilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hipokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.<br /> <br />GEJALA KLINIS<br />a. Diare.<br />b. Muntah.<br />c. Demam.<br />d. Nyeri abdomen<br />e. Membran mukosa mulut dan bibir kering<br />f. Fontanel cekung<br />g. Kehilangan berat badan<br />h. Tidak nafsu makan<br />i. Badan terasa lemah<br />KOMPLIKASI<br />a. Dehidrasi<br />b. Renjatan hipovolemik<br />c. Kejang<br />d. Bakterimia<br />e. Mal nutrisi<br />f. Hipoglikemia<br />g. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus.<br />TINGKAT DEHIDRASI GASTROENTERITIS<br />a. Dehidrasi Ringan<br />Kehilangan cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit kurang elastis, suara serak, klien belum jatuh pada keadaan syok.<br />b. Dehidrasi Sedang<br />Kehilangan cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit jelek, suara serak, presyok nadi cepat dan dalam.<br />c. Dehidrasi Berat<br />Kehilangan cairan 8 - 10 % dari berat badan dengan gambaran klinik seperti tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot-otot kaku sampai sianosis.<br />PENATALAKSANAAN MEDIS<br />a. Pemberian cairan.<br />b. Diatetik : pemberian makanan dan minuman khusus pada klien dengan tujuan penyembuhan dan menjaga kesehatan adapun hal yang perlu diperhatikan :<br />• Memberikan asi.<br />• Memberikan bahan makanan yang mengandung kalori, protein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih.<br />c. Obat-obatan.<br />Pemberian cairan, pada klien Diare dengan memperhatikan derajat dehidrasinya dan keadaan umum<br />a. Cairan per oral.<br />Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang, cairan diberikan peroral berupa cairan yang berisikan NaCl dan Na, HCO, K dan Glukosa, untuk Diare akut diatas umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan, atau sedang kadar natrium 50-60 Meq/l dapat dibuat sendiri (mengandung larutan garam dan gula ) atau air tajin yang diberi gula dengan garam. Hal tersebut diatas adalah untuk pengobatan dirumah sebelum dibawa kerumah sakit untuk mencegah dehidrasi lebih lanjut.<br />b. Cairan parenteral.<br />Mengenai seberapa banyak cairan yang harus diberikan tergantung dari berat badan atau ringannya dehidrasi, yang diperhitungkan kehilangan cairan sesuai dengan umur dan berat badannya.<br />1. Dehidrasi ringan.<br />1jam pertama 25 – 50 ml / Kg BB / hari, kemudian 125 ml / Kg BB / oral<br />2. Dehidrasi sedang.<br />1jam pertama 50 – 100 ml / Kg BB / oral, kemudian 125 ml / kg BB / hari.<br />3. Dehidrasi berat.<br />Untuk anak umur 1 bulan – 2 tahun dengan berat badan 3 – 10 kg<br />• 1 jam pertama : 40 ml / kg BB / jam = 10 tetes / kg BB / menit (infus set 1 ml = 15 tetes atau 13 tetes / kg BB / menit.<br />• 7 jam berikutnya 12 ml / kg BB / jam = 3 tetes / kg BB / menit ( infus set 1 ml = 20 tetes ).<br />• 16 jam berikutnya 125 ml / kg BB oralit per oral bila anak mau minum,teruskan dengan 2A intra vena 2 tetes / kg BB / menit atau 3 tetes / kg BB / menit.<br />Untuk anak lebih dari 2 – 5 tahun dengan berat badan 10 – 15 kg.<br />- 1 jam pertama 30 ml / kg BB / jam atau 8 tetes / kg BB / menit ( infus set 1 ml = 15 tetes ) atau 10 tetes / kg BB / menit ( 1 ml = 20 tetes ).<br />- 7 jam kemudian 127 ml / kg BB oralit per oral,bila anak tidak mau minum dapat diteruskan dengan 2A intra vena 2 tetes / kg BB / menit atau 3 tetes / kg BB / menit.<br />Untuk anak lebih dari 5 – 10 tahun dengan berat badan 15 – 25 kg.<br />-1 jam pertama 20 ml / kg BB / jam atau 5 tetes / kg BB / menit ( infus set 1 ml = 20 tetes ).<br />-16 jam berikutnya 105 ml / kg BB oralit per oral.<br />c. Diatetik ( pemberian makanan ).<br />Terapi diatetik adalah pemberian makan dan minum khusus kepada klien dengan tujuan meringankan, menyembuhkan serta menjaga kesehatan klien.<br />Hal – hal yang perlu diperhatikan :<br />• • Memberikan Asi.<br />• • Memberikan bahan makanan yang mengandung cukup kalori,protein,mineral dan vitamin, makanan harus bersih.<br />d. Obat-obatan.<br />• Obat anti sekresi.<br />• Obat anti spasmolitik.<br />• Obat antibiotik.<br />PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />a. Pemeriksaan laboratorium.<br />• Pemeriksaan tinja.<br />• Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah astrup, bila memungkinkan dengan menentukan PH keseimbangan analisa gas darah atau astrup, bila memungkinkan.<br />• Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.<br />b. Pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit secara kuantitatif, terutama dilakukan pada klien diare kronik.<br />TUMBUH KEMBANG ANAK<br />Berdasarkan pengertian yang didapat,penulis menguraikan tentang pengertian dari pertumbuhan adalah berkaitan dengan masa pertumbuhan dalam besar, jumlah, ukuran atau dengan dimensi tentang sel organ individu, sedangkan perkembangan adalah menitik beratkan pada aspek perubahan bentuk atau fungsi pematangan organ individu termasuk perubahan aspek dan emosional.<br />Anak adalah merupakan makhluk yang unik dan utuh, bukan merupakan miniatur orang dewasa, atau kekayaan orang tua yang nilainya dapat dihitung secara ekonomi.<br />Tujuan keperawatan anak adalah meningkatkan maturasi yang sehat bagi anak, baik secara fisik, intelektual dan emosional secara sosial dan konteks keluarga dan masyarakat.<br />Tumbuh kembang pada bayi usia 6 bulan.<br />a. Motorik halus.<br />1. Mulai belajar meraih benda-benda yang ada didalam jangkauan ataupun diluar.<br />2. Menangkap objek atau benda-benda dan menjatuhkannya<br />3. Memasukkan benda kedalam mulutnya.<br />4. Memegang kaki dan mendorong ke arah mulutnya.<br />5. Mencengkram dengan seluruh telapak tangan.<br />b. Motorik kasar.<br />1. Mengangkat kepala dan dada sambil bertopang tangan.<br />2. Dapat tengkurap dan berbalik sendiri.<br />3. Dapat merangkak mendekati benda atau seseorang.<br />c. Kognitif.<br />a. Berusaha memperluas lapangan.<br />b. Tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak bermain.<br />c. Mulai mencari benda-benda yang hilang.<br />d. Bahasa.<br />Mengeluarkan suara ma.. pa.. ba.. walaupun kita berasumsi ia sudah dapat memanggil kita, tetapi sebenarnya ia sama sekali belum mengerti.<br />DAMPAK HOSPITALISASI TERHADAP ANAK<br />a. Separation ansiety<br />b. Tergantung pada orang tua<br />c. Stress bila berpisah dengan orang yang berarti<br />d. Tahap putus asa : berhenti menangis, kurang aktif, tidak mau makan, main, menarik diri, sedih, kesepian dan apatis<br />e. Tahap menolak : Samar-samar seperti menerima perpisahan, menerima hubungan dengan orang lain dan menyukai lingkungan<br />PENGKAJIAN<br />Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa data dan penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi, observasi, pemeriksaan fisik. Pengkaji data menurut Cyndi Smith Greenberg, 1992 adalah :<br />1. Identitas klien.<br />2. Riwayat keperawatan.<br />• Awalan serangan : Awalnya anak cengeng,gelisah,suhu tubuh meningkat,anoreksia kemudian timbul diare.<br />• Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air dan elektrolit terjadi gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada bayi ubun-ubun besar cekung, tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir kering, frekwensi BAB lebih dari 4 kali dengan konsistensi encer.<br />3. Riwayat kesehatan masa lalu.<br />Riwayat penyakit yang diderita, riwayat pemberian imunisasi.<br />4. Riwayat psikososial keluarga.<br />Hospitalisasi akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi keluarga, kecemasan meningkat jika orang tua tidak mengetahui prosedur dan pengobatan anak, setelah menyadari penyakit anaknya, mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.<br />5. Kebutuhan dasar.<br />• Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari, BAK sedikit atau jarang.<br />• Pola nutrisi : diawali dengan mual, muntah, anopreksia, menyebabkan penurunan berat badan pasien.<br />• Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.<br />• Pola hygiene : kebiasaan mandi setiap harinya.<br />• Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya nyeri akibat distensi abdomen.<br />6. Pemerikasaan fisik.<br />a. Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah, kesadaran composmentis sampai koma, suhu tubuh tinggi, nadi cepat dan lemah, pernapasan agak cepat.<br />b. Pemeriksaan sistematik :<br />• Inspeksi : mata cekung, ubun-ubun besar, selaput lendir, mulut dan bibir kering, berat badan menurun, anus kemerahan.<br />• Perkusi : adanya distensi abdomen.<br />• Palpasi : Turgor kulit kurang elastis<br />• Auskultasi : terdengarnya bising usus.<br />c. Pemeriksaan tingkat tumbuh kembang.<br />d. Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi sehingga berat badan menurun.<br />e. Pemeriksaan penunjang.<br />f.Pemeriksaan tinja, darah lengkap dan duodenum intubation yaitu untuk mengetahui penyebab secara kuantitatip dan kualitatif.<br />DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />1. Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan output cairan yang berlebihan.<br />2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah.<br />3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi, frekwensi BAB yang berlebihan.<br />4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.<br />5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan.<br />6. Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, prosedur yang menakutkan.<br />INTERVENSI<br />Diagnosa 1. <br />Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan output cairan yang berlebihan.<br />Tujuan :<br />Devisit cairan dan elektrolit teratasi<br />Kriteria hasil:<br />Tanda-tanda dehidrasi tidak ada, mukosa mulut dan bibir lembab, balan cairan seimbang<br />Intervensi :<br />Observasi tanda-tanda vital. Observasi tanda-tanda dehidrasi. Ukur input dan output cairan (balan cairan). Berikan dan anjurkan keluarga untuk memberikan minum yang banyak kurang lebih 2000 – 2500 cc per hari. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan, pemeriksaan lab elektrolit. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian cairan rendah sodium.<br />Diagnosa 2. <br />Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubuingan dengan mual dan muntah.<br />Tujuan :<br />Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi teratasi<br />Kriteria hasil :<br />Intake nutrisi klien meningkat, diet habis 1 porsi yang disediakan, mual, muntah tidak ada.<br />Intervensi :<br />Kaji pola nutrisi klien dan perubahan yang terjadi. Timbang berat badan klien. Kaji faktor penyebab gangguan pemenuhan nutrisi. Lakukan pemeriksaan fisik abdomen (palpasi, perkusi, dan auskultasi). Berikan diet dalam kondisi hangat dan porsi kecil tapi sering. Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet klien.<br />Diagnosa 3. <br />Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi, frekwensi BAB yang berlebihan.<br />Tujuan :<br />Gangguan integritas kulit teratasi<br />Kriteria hasil :<br />Integritas kulit kembali normal, iritasi tidak ada, tanda-tanda infeksi tidak ada<br />Intervensi :<br />Ganti popok anak jika basah. Bersihkan bokong secara perlahan menggunakan sabun non alkohol. Beri zalp seperti zinc oxsida bila terjadi iritasi pada kulit. Observasi bokong dan perineum dari infeksi. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi antifungi sesuai indikasi.<br />Diagnosa 4. <br />Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.<br />Tujuan :<br />Nyeri dapat teratasi<br />Kriteria hasil :<br />Nyeri dapat berkurang / hilang, ekspresi wajah tenang<br />Intervensi :<br />Observasi tanda-tanda vital. Kaji tingkat rasa nyeri. Atur posisi yang nyaman bagi klien. Beri kompres hangat pada daerah abdomen. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi analgetik sesuai indikasi.<br />Diagnosa 5. <br />Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan.<br />Tujuan<br />Pengetahuan keluarga meningkat<br />Kriteria hasil :<br />Keluarga klien mengerti dengan proses penyakit klien, ekspresi wajah tenang, keluarga tidak banyak bertanya lagi tentang proses penyakit klien.<br />Intervensi :<br />Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit klien. Jelaskan tentang proses penyakit klien dengan melalui pendidikan kesehatan. Berikan kesempatan pada keluarga bila ada yang belum dimengertinya. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.<br />Diagnosa 6. <br />Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, prosedur yang menakutkan.<br />Tujuan :<br />Klien akan memperlihatkan penurunan tingkat kecemasan<br />Intervensi :<br />Kaji tingkat kecemasan klien. Kaji faktor pencetus cemas. Buat jadwal kontak dengan klien. Kaji hal yang disukai klien. Berikan mainan sesuai kesukaan klien. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan. Anjurkan pada keluarga untuk selalu mendampingi klien.<br />EVALUASI<br />1. Volume cairan dan elektrolit kembali normal sesuai kebutuhan.<br />2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh.<br />3. Integritas kulit kembali normal.<br />4. Rasa nyaman terpenuhi.<br />5. Pengetahuan kelurga meningkat.<br />6. Cemas pada klien teratasi.<br />Daftar Pustaka<br />Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarata : EGC<br />Dongoes (2000). Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarta : EGC<br />Makalah Kuliah . Tidak diterbitkan.<br />Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.<br />Pitono Soeparto, dkk. (1997). Gastroenterologi Anak. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlangga.<br />Price, Anderson Sylvia. (1997) Patofisiologi. Ed. I. Jakarata : EGC.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-49670197269107949322009-06-13T17:38:00.000-07:002009-06-13T17:48:31.029-07:00ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN BRONCHITISA. KONSEP DASAR<br />1. Pengertian <br />Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat (Whalley and Wong, 1996).<br />Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).<br />Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).<br />Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.<br />2. Etiologi<br />Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial Pneumoni), Mycobacterium Tuberculosis. <br />Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.<br />Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus Sp, Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.<br />Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah daya tahan tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.<br />3. Fatofisiologi<br />Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus. Inflamasi bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.<br />Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema (tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis mngakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas. Secara singkat patofisiologi dapat digambarkan pada skema proses. <br />4. Manifestasi klinis<br />Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas. Penyakit ini umumnya timbul mendadak, suhu meningkat 39-40O C disertai menggigil, napas sesak dan cepat, batuk-batuk yang non produktif “napas bunyi” pemeriksaan paru saat perkusi redup, saat auskultasi suara napas ronchi basah yang halus dan nyaring.<br />Batuk pilek yang mungkin berat sampai terjadi insufisiensi pernapasan dimulai dengan infeksi saluran bagian atas, penderita batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia dan kesulitan menelan.<br />1. Pemeriksaan penunjang<br />1. Pengambilan sekret secara broncoscopy dan fungsi paru untuk preparasi langsung, biakan dan test resistensi dapat menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini tidak rutin dilakukan karena sukar.<br />2. Secara laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000 – 40.000 / m dengan pergeseran LED meninggi.<br />3. Foto thorax bronkopeumoni terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.<br />1. Penatalaksanaan <br />Kemotherapi untuk mycoplasma pneumonia, dapat diberikan Eritromicin 4 X 500 mg sehari atau Tetrasiklin 3 – 4 mg sehari.<br />Obat-obatan ini meringankan dan mempercepat penyembuhan terutama pada kasus yang berat. Obat-obat penghambat sintesis SNA (Sintosin Antapinosin dan Indoksi Urudin) dan interperon inducer seperti polinosimle, poliudikocid pengobatan simtomatik seperti :<br />1. <br />1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah.<br />2. Simptomatik terhadap batuk.<br />3. Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif<br />4. Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan broncodilator.<br />5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat. Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebab yang mempunyai spektrum sempit.<br />7. Komplikasi<br />Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :<br />a. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.<br />b. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.<br />c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.<br />d. Infeksi sitemik <br />e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.<br />f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.<br />1. Tumbuh kembang anak usia 6 – 12 tahun <br />Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan ciri sex sekundernya.<br />Perkembangan menitikberatkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.<br />a. Motorik kasar<br />1. Loncat tali<br />2. Badminton<br />3. Memukul<br />4. Motorik kasar dibawah kendali kognitif dan secara bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.<br />b. Motorik halus<br />1. Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan<br />2. Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.<br />c. Kognitif<br />1. Dapat berfokus pada lebih dari satu asfek dan situasi<br />2. Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah<br />3. Dapat membalikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal<br />4. Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang<br />d. Bahasa<br />1. Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak<br />2. Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan<br />3. Menggunakan bahasa sebagai alat komuniukasi verbal<br />4. Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan <br />7. Dampak hospitalisasi<br />Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.<br />Penyebab anak stress meliputi ;<br />1. Psikososial<br />Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran <br />2. Fisiologis<br />Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri<br />3. Lingkungan asing<br />Kebiasaan sehari-hari berubah<br />4. Pemberian obat kimia<br />Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)<br />1. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya<br />2. Dapat mengekpresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri<br />3. Selalu ingin tahu alasan tindakan<br />4. Berusaha independen dan produktif<br />Reaksi orang tua<br />1. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak<br />2. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya peraturan Rumah sakit<br />B. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS<br />1. Pengkajian<br />a. Riwayat kesehatan<br />1) Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya : batuk, pilek, demam.<br />2) Anorexia, sukar menelan, mual dan muntah.<br />3) Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti malnutrisi.<br />4) Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernapasan<br />5) Batuk produktif, pernafasan cuping hidung, pernapasan cepat dan dangkal, gelisah, sianosis <br />b. Pemeriksaan fisik<br />1) Demam, takipnea, sianosis, pernapasan cuping hidung<br />2) Auskultasi paru ronchi basah<br />3) Laboratorium leukositosis, LED meningkat atau normal<br />4) Rontgent dada abnormal (bercak, konsolidasi yang tersebar pada kedua paru)<br />c. Factor fsikologis / perkembangan memahami tindakan<br />1) Usia tingkat perkembangan<br />2) Toleransi / kemampuan memahami tindakan<br />3) Koping<br />4) Pengalaman terpisah dari keluarga / orang tua<br />5) Pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya<br />d. Pengetahuan keluarga / orang tua<br />1) Tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit saluran pernapasan<br />2) Pengalaman keluarga tentang penyakit saluran pernafasan<br />3) Kesiapan / kemauan keluarga untuk belajar merawat anaknya<br />2. Diagnosa keperawatan <br />1) Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret.<br />2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan kapiler alveoli.<br />3) Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan.<br />4) Resti pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat.<br />5) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi<br />6) Kurang pengetahuan orang tua tentang perawatan klien berhubungan dengan kurangnya informasi.<br />7) Cemas anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi<br />3. Intervensi<br />Diagnosa 1<br />Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif.<br />KH : sekret dapat keluar.<br />Rencana tindakan :<br />1. Monitor status respirasi setiap 2 jam, kaji adanya peningkatan pernapasan dan bunyi napas abnormal.<br />2. Lakukan suction sesuai indikasi.<br />3. Beri terapi oksigen setiap 6 jam<br />4. Ciptakan lingkungan / nyaman sehingga pasien dapat tidur dengan tenang<br />5. Beri posisi yang nyaman bagi pasien<br />6. Monitor analisa gas darah untuk mengkaji status pernapasan<br />7. Lakukan perkusi dada<br />8. Sediakan sputum untuk kultur / test sensitifitas<br />Diagnosa 2<br />Tujuan : pertujaran gas kembali normal.<br />KH : Klien memperlihatkan perbaikan ventilasi, pertukaran gas secara optimal dan oksigenisasi jaringan secara adekuat<br />Rencana tindakan :<br />1. Observasi tingkat kesadaran, status pernafasan, tanda-tanda cianosis<br />2. Beri posisi fowler sesuai program / semi fowler<br />3. Beri oksigen sesuai program<br />4. Monitor AGD<br />5. Ciprtakan lingkungan yang nyaman<br />6. Cegah terjadinya kelelahan<br />Diagnosa 3.<br />Tujuan : Klien akan mempertahankan cairan tubuh yang normal<br />KH : Tanda dehidrasi tidak ada.<br />Rencana tindakan :<br />1. Catat intake dan output cairan (balanc cairan) <br />2. Anjurkan ibu untuk tetap memberikan cairan peroral<br />3. Monitor keseimbangan cairan , membran mukosa, turgor kulit, nadi cepat, kesadaran menurun, tanda-tanda vital.<br />4. Pertahankan keakuratan tetesan infus<br />5. Observasi tanda-tanda vital (nadi, suhu, respirasi)<br />Diagnosa 4.<br />Tujuan : Kebuituhan nutrisi terpenuhi.<br />KH : Klien dapat mempertahankan/meningkatkan pemasukan nutrisi..<br />Rencana tindakan : <br />1. Kaji status nutrisi klien<br />2. Lakukan pemeriksaan fisik abdomen klien (auskultasi, perkusi, palpasi, dan inspeksi)<br />3. Timbang BB klien setiap hari.<br />4. Kaji adanya mual dan muntah<br />5. Berikan diet sedikit tapi sering <br />6. Berikan makanan dalam keadaan hangat<br />7. kolaborasi dengan tim gizi<br />Diagnosa 5<br />Tujuan : Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.<br />KH : Hipertermi/peningkatan suhu dapat teratasi dengan proses infeksi hilang<br />Rencana tindakan :<br />1. Observasi tanda-tanda vital<br />2. Berikandan anjurkan keluarga untuk memberikan kompres dengan air pada daerah dahi dan ketiak<br />3. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan <br />4. Berikan minum per oral<br />5. Ganti pakaian yang basah oleh keringat<br />6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat penurun panas.<br />Diagnosa 6<br />Tujuan : Pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit anaknya meningkat setelah dilakukan tindakan keperawatan<br />KH : Orang tua klien mengerti tentang penyakit anaknya.<br />Rencana tindakan :<br />1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit anaknya<br />2. Kaji tingkat pendidikan orang tua klien<br />3. Bantu orang tua klien untuk mengembangkan rencana asuhan keperawatan dirumah sakit seperti : diet, istirahat dan aktivitas yang sesuai<br />4. Tekankan perlunya melindungi anak. <br />5. Jelaskan pada keluarga klien tentang Pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pengobatan, pencegahan dan komplikasi dengan memberikan penkes.<br />6. Beri kesempatan pada orang tua klien untuk bertanya tentang hal yang belum dimengertinya<br />Diagnosa 7<br />Tujuan : Cemas anak hilang<br />KH : Klien dapat tenang, cemas hilang, rasa nyaman terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan<br />Rencana tindakan :<br />1. Kaji tingkat kecemasan klien<br />2. Dorong ibu / keluarga klien mensufort anaknya dengan cara ibu selalu didekat klien.<br />3. Fasilitasi rasa nyaman dengan cara ibu berperan serta merawat anaknya<br />4. Lakukan kunjungan, kontak dengan klien <br />5. Anjurkan keluarga yang lain mengunjungi klien<br />6. Berikan mainan sesuai kesukaan klien dirumah<br />4. Evaluasi<br />Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan Brochopneumonia dalah :<br />a. Pertukaran gas normal. <br />b. Bersihan jalan napas kembali efektif<br />c. Intake dan output seimbang<br />d. Intake nutrisi adekuat<br />e. Suhu tubuh dalam batas normal<br />f. Pengetahuan keluarga meningkat<br />g. Cemas teratasiAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-15395671195463002392009-06-13T17:36:00.000-07:002009-06-13T17:38:09.744-07:00ASKEP ANAK PNEUMONIARENCANA KEPERAWATAN<br />1. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Infeksi Paru<br />Karakteristik : batuk (baik produktif maupun non produktif) haluaran nasal, sesak nafas, Tachipnea, suara nafas terbatas, retraksi, demam, diaporesis, ronchii, cyanosis, leukositosis<br />Tujuan :<br />Anak akan mengalami pola nafas efektif yang ditandai dengan :<br />Suara nafas paru bersih dan sama pada kedua sisi<br />Suhu tubuh dalam batas 36,5 – 37,2OC<br />Laju nafas dalam rentang normal<br />Tidak terdapat batuk, cyanosis, haluaran hidung, retraksi dan diaporesis<br />Tindakan keperawatan<br />Lakukan pengkajian tiap 4 jam terhadap RR, S, dan tanda-tanda keefektifan jalan napas<br />R : Evaluasi dan reassessment terhadap tindakan yang akan/telah diberikan<br />Lakukan Phisioterapi dada secara terjadwal<br />R : Mengeluarkan sekresi jalan nafas, mencegah obstruksi<br />Berikan Oksigen lembab, kaji keefektifan terapi<br />R : Meningkatkan suplai oksigen jaringan paru<br />Berikan antibiotik dan antipiretik sesuai order, kaji keefektifan dan efek samping (ruam, diare)<br />R : Pemberantasan kuman sebagai faktor causa gangguan<br />Lakukan pengecekan hitung SDM dan photo thoraks<br />R : Evaluasi terhadap keefektifan sirkulasi oksigen, evaluasi kondisi jaringan paru<br />Lakukan suction secara bertahap<br />R : Membantu pembersihan jalan nafas<br />Catat hasil pulse oximeter bila terpasang, tiap 2 – 4 jam<br />R : Evaluasi berkala keberhasilan terapi/tindakan tim kesehatan<br /> 2. Defisit Volume Cairan b.d :<br />- Distress pernafasan<br />- Penurunan intake cairan<br />- Peningkatan IWL akibat pernafasan cepat dan demam<br />Karakteristik :<br />Hilangnya nafsu makan/minum, letargi, demam., muntah, diare, membrana mukosa kering, turgor kulit buruk, penurunan output urine.<br />Tujuan : Anak mendapatkan sejumlah cairan yang adekuat ditandai dengan :<br />Intake adekuat, baik IV maupun oral<br />Tidak adanya letargi, muntah, diare<br />Suhu tubuh dalam batas normal<br />Urine output adekuat, BJ Urine 1.008 – 1,020<br />Intervensi Keperawatan :<br />Catat intake dan output, berat diapers untuk output<br />R : Evaluasi ketat kebutuhan intake dan output<br />Kaji dan catat suhu setiap 4 jam, tanda devisit cairan dan kondisi IV line<br />R : Meyakinkan terpenuhinya kebutuhan cairan<br />Catat BJ Urine tiap 4 jam atau bila perlu<br />R : Evaluasi obyektif sederhana devisit volume cairan<br />Lakukan Perawatan mulut tiap 4 jam<br />R : Meningkatkan bersihan sal cerna, meningkatkan nafsu makan/minum<br />Diagnosis lain :<br />1. Perubahan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan b.d anoreksia, muntah, peningkatan konsumsi kalori sekunder terhadap infeksi<br />2. Perubahan rasa nyaman b.d sakit kepala, nyeri dada<br />3. Intoleransi aktivitas b.d distres pernafasan, latergi, penurunan intake, demam<br />4. Kecemasan b.d hospitalisasi, distress pernafasan<br />Referensi :<br />Acton, Sharon Enis & Fugate, Terry (1993) Pediatric Care Plans, AddisonWesley Co. PhiladelphiaAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-76402609672167121672009-06-07T06:33:00.000-07:002009-06-07T06:34:19.913-07:00RANGKUMAN EKG DASAR1. Irama jantung<br /><br />- Lihat di lead II<br /><br />- Lihat gel. P : (+); (-); (tidak ada)<br /><br />- Lihat komplek QRS (sempit atau lebar)<br /><br /> 1. Irama Sinus<br /><br />- Gelombang P defleksi (+) positif/cembung keatas.<br /><br />- QRS sempit <= 3 kotak kecil<br /><br />- Frekwensi normal 60-100 x/m, disebut sinur ritme<br /><br />- Bila HR <> 100 x/m disebut sinus takikardi<br /><br /> 2. Irama Junction<br /><br />- Gel P defleksi (-) negatif/cekung kebawah<br /><br />- QRS sempit <= 3 kotak kecil<br /><br />- Frekwensi 40-60 x/m<br /><br /> 3. Irama Ventrikel<br /><br />- Gelombang P Tidak ada/lurus<br /><br />- QRS lebar > 3 kotak kecil<br /><br />- Frekwensi 20-40 x/m<br /><br /><br />2. Menghitung frekwensi (x/menit)<br /><br />- Bagi 1500 dengan jarak R-R (kotak kecil) atau<br /><br />- Bagi 300 dengan jarak R-R (kotak sedang)<br /><br />- Hitung gel R dalam 6 detik kalikan dengan 10.<br /><br />3. Menentukan adanya gangguan konduksi<br /><br />A. Blok AV<br /><br />Hitung panjang interval PR, dimana panjang PR lebih dari 0,2 detik atau 5 kotak kecil<br /><br />1) AV blok derajat I<br /><br />- Interval PR memanjang > 5 kotak kecil secara konstan.<br /><br />- Durasi/panjang Interval PR satu dengan interval PR berikutnya sama<br /><br />- Setiap P diikuti Kompleks QRS<br /><br />2) AV blok derajat II Mobitz type I (Wenckebach)<br /><br />- Durasi/panjang Interval PR satu ke Interval PR berikutnya makin panjang.<br /><br />- Ada gelombang P yang tidak diikuti Kompleks QRS.<br /><br />3) AV blok derajat II Mobitz type II<br /><br />- Durasi/panjang Interval PR normal.<br /><br />- Ada gelombang P yang tidak diikuti Kompleks QRS.<br /><br />4) AV blok derajat III/ Total AV Blok (TAVB)<br /><br />- Gelombang P lebih banyak daripada Kompleks QRS hampir dua kali lipat<br /><br />- Gelombang P tidak diikuti oleh Kompleks QRS.<br /><br />- Kompleks QRS terbentuk dari depolarisasi Ventrikel<br /><br /><br />B. Blok Cabang Berkas/ Bundle Branch Block (BBB)<br /><br />- Identifikasi adanya bentuk komplek QRS seperti huruf M dengan lebar lebih dari 0,12 detik.<br /><br />- Tentukan pada sadapan berapa Komplek QRS seperti hurup M tersebut<br /><br />- Bila Kompleks QRS yang menyerupai huruf M ada di V1-V3 diidentifikasi sebagai RBBB, Bila terdapat di lead V4-V6 disebut LBBB<br /><br /><br />4. Menentukan adanya ganguan perfusi<br /><br />- Identifikasi adanya T inversi, ST depresi dan elevasi, dan Q pathologi.<br /><br />- Q patologi bermakna kematian jaringan otot jantung/old infark<br /><br />- ST Elevasi dan depresi bermakna infark akut<br /><br />- T inverted artinya iskemi<br /><br /><br />5. Menentukan adanya hipertropi<br /><br />- Jumlahkan gel S di V1 dengan R di V5/V6, BILA > 35 KK menggambarkan LVH<br /><br />- Identifikasi perbandingan antara S dengan R di V1Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-84024037033872158202009-06-07T06:28:00.000-07:002009-06-07T06:29:54.970-07:00TEKNIK PENYADAPAN EKGPencatatan EKG secara internasional dilakukan dengan standar :<br /><br />1. Kecepatan laju kertas 25 mm/detik atau 50 mm/detik<br /><br />2. Ukuran galvanometer setinggi 0,5 mv, 1mv, dan 2mv. Pencetakan daya ukur galvanometer dinamakan kalibrasi. Kalibrasi dilakukan tiga kali berturut-turut sebelum dan sesudah perekaman EKG. Tiap perubahan daya ukur harus dicatat.<br /><br />Sadapan<br /><br />Apabila electrode dari sebuah alat EKG dipasang pada tempat-tempat tertentu pada tubuh, maka terjadilah satu sadapan (Lead), yaitu :<br /><br />1. Sadapan Bipolar (sadapan standar)<br /><br />Ditandai dengan angka romawi I,II, dan III.<br /><br />I. Elektrode yang positif dihubungkan dengan lengan kiri dan electrode negatif dengan lengan kanan.<br /><br />II. Elektrode yang positif dihubungkan dengan kaki kiri dan yang negatif dengan lengan kanan.<br /><br />III. Elektrode yang positif dihubungkan dengan kaki kiri dan yang negatif dengan lengan kiri.<br /><br />2. Sadapan Unipolar Ekstremitas<br /><br />Augmented Ekstremitas Lead à aVR, aVL, aVF<br /><br />3. Sadapan Unipolar Prekordial<br /><br />Sadapan Unipolar Prekordial atau dada ini diberikan tanda dengan huruf V (voltage) dan disertai angka dibelakangnya yang menunjukan lokasi diatas prekordium. Posisi electrode menurut American Heart Association adalah :<br /><br />V1 : Sela iga ke 4 pada garis sternal kanan.<br /><br />V2 : Sela iga ke 4 pada garis sternal kiri.<br /><br />V3 : Diantara V2 dan V4.<br /><br />V4 : Ruang iga ke 5 pada garis tengah klavikula kiri.<br /><br />V5 : Garis aksila depan sejajar dengan V4.<br /><br />V6 : Garis aksila tengah sejajar dengan V4.<br /><br />Persiapan alat<br /><br />1. Mesin EKG dilengkapi dengan 3 kabel :<br /><br />a. Kabel untuk listrik<br /><br />b. Kabel untuk bumi<br /><br />c. Kabel untuk penderita terdiri dari 10 Kabel ( 4 kabel ekstremitas dan 6 kabel dada)<br /><br />2. Plat elektrode yaitu :<br /><br />a. Empat buah Elektode ekstremitas.<br /><br />b. Enam buah elektroda isap.<br /><br />3. Kassa/kapas alkohol<br /><br />4. Jelly<br /><br />5. Kertas EKG<br /><br />6. Tissue<br /><br />Penempatan electrode<br /><br />1. Elektrode ekstremitas atas dipasang dipergelangan tangan kanan dan kiri searah telapak tangan<br /><br />2. Elektrode ekstremitas bawah dapasang dipergelangan kaki kanan dan kiri sebelah dalam<br /><br />3. Posisi pada pergelangan tangan bukanlah mutlak, bila diperlukan dapat dipasang sampai di bahu kanan dan kiri dan di pangkal paha kanan dan kiri. Kemudian kabel-kabel ekstremitas dihubungkan :<br /><br />- Merah à Lengan kanan<br /><br />- Kuning à Lengan kiri<br /><br />- Hijau à Kaki kiri<br /><br />- Hitam à Kaki kanan<br /><br />4. Elektode dada harus terpasang seperti yang telah disebut diatas.<br /><br />5. Hidupkan mesin EKG dan tunggu sebentar untuk pemanasan<br /><br />6. Periksa kembali standardisasi dari EKG.<br /><br />7. Pindahkan Lead Selector, dibuat pencatatan EKG berturut-turut sbb: Sadapan I, II, III, aVR, aVL, aVF, V1, V2, V3, V4, V5, dan V6.<br /><br />8. Selesai pencatatan pindahkan kembali Lead Selector.<br /><br />9. Matikan mesin EKG<br /><br />10. Rapikan penderita dan alat-alat.<br /><br />11. Catat dipinggir kiri atas kertas EKG:<br /><br />- Nama<br /><br />- Umur/Jenis kelamin<br /><br />- Tanggal<br /><br />- Jam<br /><br />12. Catat nama yang merekam di kiri bawah kertas<br /><br />13. Setiap sadapan diberi tanda yang sesuai.<br /><br />Perhatian<br /><br />1. Sebelum melakukan penyadapan periksa dahulu tegangan mesin EKG.<br /><br />2. Alat selalu pada posisi Stop bila tidak digunakan.<br /><br />3. Kalibrasi dapat memakai ½ mV bila amplitudo terlalu besar dan 2 mV bila terlalu kecil.<br /><br />4. Dalam melakukan penyadapan EKG, perawat harus menghadap penderita.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-56575109069861733692009-06-07T06:12:00.000-07:002009-06-07T06:13:48.634-07:00TERAPI LISTRIK (DEFIBRILASI)A. DEFIBRILASI<br />Defibrilasi adalah pengobatan yang menggunakan aliran listrik dalam waktu yang singkat secara asinkron.<br />Indikasi<br />1. VF<br />2. VT tanpa nadi<br />3. VT polymorphyc yang tidak stabil<br /><br />Defibrilasi harus dilakukan sedini mungkin dengan alasan :<br />1. Irama yang didapat pada permulaan henti jantung umumnya adalah ventrikel fibrilasi (VF)<br />2. Pengobatan yang paling efektif untuk ventrikel fibrilasi adalah defibrilasi.<br />3. Makin lambat defibrilasi dilakukan, makin kurang kemungkinan keberhasilannya.<br />4. Ventrikel fibrilasi cenderung untuk berubah menjadi asistol dalam waktu beberapa menit.<br /><br />Alat yang dipergunakan<br />1. Defibrilator<br />Defibrilator adalah alat yang dapat memberikan shock listrik dan dapat menyebabkan depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya tidak teratur, sehingga memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik jantung yang terkoordinir. Enerji dialirkan melalui suatu elektrode yang disebut paddle. Defibrilator diklasifikasikan menurut 2 tipe bentuk gelombangnya yaitu monophasic dan biphasic. Defibrilator monophasic adalah tipe defibrilator yang pertama kali diperkenalkan, defibrilator biphasic adalah defibrilator yang digunakan pada defibrilator manual yang banyak dipasarkan saat ini.<br />2. Jeli<br />Jeli digunakan untuk mengurangi tahanan dada dan membantu menghantarkan aliran listrik ke jantung, jeli dioleskan pada kedua paddle.<br /><br />Energi<br />Untuk VF dan VT tanpa nadi, energi awal 360 joule dengan menggunakan monophasic deflbrilator, dapat diulang tiap 2 menit dengan energi yang sama, jika menggunakan biphasic deflbrilator energi yang diperlukan berkisar antara 120 - 200 joule.<br /><br />Prosedur defibrilasi<br />1. Nyalakan deflbrilator<br />2. Tentukan enerji yang diperlukan dengan cara memutar atau menggeser tombol enerji<br />3. Paddle diberi jeli secukupnya.<br />4. Letakkan paddle dengan posisi paddle apex diletakkan pada apeks jantung dan paddle sternum diletakkan pada garis sternal kanan di bawah klavikula.<br />5. Isi (Charge) enerji, tunggu sampai enerji terisi penuh, untuk mengetahui enerji sudah penuh, banyak macamnya tergantung dari defibrilator yang dipakai, ada yang memberi tanda dengan menunjukkan angka joule yang diset, ada pula yang memberi tanda dengan bunyi bahkan ada juga yang memberi tanda dengan nyala lampu.<br />6. Jika enerji sudah penuh, beri aba-aba dengan suara keras dan jelas agar tidak ada lagi anggota tim yang masih ada kontak dengan pasien atau korban, termasuk juga yang mengoperatorkan defibrilator, sebagai contoh:<br />"Enerji siap "<br />"Saya siap "<br />"Tim lain siap"<br />7. Kaji ulang layar monitor defibrillator, pastikan irama masih VF/VT tanda nadi, pastikan enerji sesuai dengan yang diset, dan pastikan modus yang dipakai adalah asinkron, jika semua benar, berikan enerji tersebut dengan cara menekan kedua tombol discharge pada kedua paddle. Pastikan paddle menempel dengan baik pada dada pasien (beban tekanan pada paddle kira-kira 10 kg).<br />8. Kaji ulang di layar monitor defibrilator apakah irama berubah atau tetap sama scperti sebelum dilakukan defibrilasi, jika berubah cek nadi untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan RJP, jika tidak berubah lakukan RJP untuk selanjutnya lakukan survey kedua.<br /><br />Automated External Defibrilator (AED)<br />AED adalah sebuah defibrilator yang bekerja secara komputer yang dapat :<br />1. Menganalisa irama jantung seorang korban yang mengalami henti jantung.<br />2. Mengenal irama yang dapat dilakukan tindakan defibrilasi ( shock)<br />3. Memberikan petunjuk pada operator ( dengan memperdengarkan suara atau dengan indikator cahaya)<br /><br />AED digunakan jika korban mengalami henti jantung :<br />1. Tidak berespon<br />2. Tidak bernafas<br />3. Nadi tidak teraba atau tanda - tanda sirkulasi lain<br /><br />Elektroda adhesif ditempatkan pada dada korban dan disambungkan ke mesin AED, paddle elektroda mempunyai 2 fungsi yaitu :<br />1. Menangkap sinyal listrik jantung dan mengirimkan sinyal tersebut ke komputer.<br />2. Memberikan shock melalui elektroda jika terdapat indikasi.<br /><br />B. KARDIOVERSI<br />Kardioversi adalah pengobatan yang menggunakan aliran listrik dalam waktu singkat secara sinkron.<br /><br />Indikasi<br />1. Ventrikel Takikardi<br />2. Supra Ventrikel Takikardi<br />3. Atrial flutter<br />4. Atrial Fibrilasi<br /><br />Alat yang dipergunakan<br />1. Defibrilator yang mempunyai modus sinkron<br />2. Jeli<br />3. Troli emergensi, terutama alat bantu napas<br />4. Obat-obat analgetik dan sedatif<br />5. Elektrode EKG<br /><br />Energi<br />Enerji awal untuk SVT dan Atrial Flutter adalah 50 joule, apabila tidak berhasil enerji dapat dinaikan menjadi 100 joule, 200 joule, 300 joule dan 360 joule.<br />Untuk VT monomorphic dan Atrial Fibrilasi, enerji awal adalah 100 jule dan dapat dinaikan sampai 360 joule.<br />Sedangkan untuk VT polymorphic besarnya energi dan modus yang dipakai sama dengan yang digunakan pada tindakan defibrilasi<br /><br />Prosedur<br />Prosedur tindakan kardioversi sama dengan tindakan deflbrilasi, hanya pada saat menekan tombol discharge kedua tombol tersebut harus ditekan agak lama, karena modul yang dipakai adalah modul sinkron dimana pada modul ini energi akan dikeluarkan (diberikan ) beberapa milidetik setelah defibrilator tersebut menangkap gelombang QRS. jika deflbrilator tidak dapat menangkap gelombang QRS enerji tidak akan keluar. Pasien dengan takikardi walaupun mungkin keadaannya tidak stabil akan tetapi kadang pasiennya masih sadar, oleh sebab itu jika diperlukan tindakan kardioversi, maka pasien perlu diberikan obat sedasi dengan atau tanpa analgetik.<br /><br />RSPJHK : Standar ACLS (2005)Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-48468088725148048702009-06-07T03:07:00.000-07:002009-06-07T03:10:56.861-07:00ALAT PIJAT JANTUNG OTOMATIS<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja478S9zeS3GSahYR4MmTCyCJoj7b5sH5FowPWhzR-7wtFbj_tOIjDcPntaPPOPMe7_KZl9fQnWPnfZg7hM2LNnhYE7ilhaiVG930bhVxrABRK44RV9tVL4HJylpGyYJqFYIdNPQIBsVI/s1600-h/HENDISSOR.gif.png"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 220px; height: 183px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja478S9zeS3GSahYR4MmTCyCJoj7b5sH5FowPWhzR-7wtFbj_tOIjDcPntaPPOPMe7_KZl9fQnWPnfZg7hM2LNnhYE7ilhaiVG930bhVxrABRK44RV9tVL4HJylpGyYJqFYIdNPQIBsVI/s320/HENDISSOR.gif.png" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5344526005368374034" /></a><br />Perkembangan teknologi berjalan sangat cepat, terutama dibidang alat elektronik dan telekomunikasi. Alat kesehatan berteknologi tinggi sudah sangat banyak kita jumpai. Dibidang kesehatan gawat darurat alat seperti Ventilator, Bed side monitor, defibrilator kemudian mempunyai peranan yang sangat vital. Tetapi bila dirunut kembali, ada satu alat yang belum kita jumpai dilapangan yaitu alat untuk pijat jantung luar.<br />Alat ini entah kenapa belum ditemui di lapangan, untuk itu saya mencoba merancang mesin pijat jantung luar. Mesin ini harus memenuhi syarat keamanan dan manfaat, spesifikasi mesin adalah sebagai berikut:<br /><br />Spesifikasi :<br />1. Fitur keamanan : Sensor detak jantung, sensor tekanan, sensor kecepatan, sensor kedalaman pijat.<br />2. Sistem triger.<br />Bagian-bagian mesin :<br />1. Alas pasien yang terbuat dari bahan yang keras.<br />2. Tiang penyangga 4 buah.<br />3. Mesin.<br />4. Telapak pemijat dari bahan yang kuat dan lembut.<br />5. Kompressor bertekanan udara.<br />Alat ini harus bekerja bila muncul trigger dari sensor detak jantung dan bekerja dengan memijat dinding dada penderita dengan kedalaman + 1-2 inchi dengan kecepatan 100 x/menit atau 0,6 detik per satu kali pijatan, frekwensi 30 x satu siklus diikuti jeda istirahat 2 detik. Bila memungkinkan alat ini dapat diintegrasikan dengan alat bantu napas (Ventilator).<br />Kendala yang dihadapi untuk mewujudkan alat ini adalah keahlian teknik dan biaya. Keahlian penulis bukan di bidang elekronik, permesinan dan sistem sensor sehingga tidak memungkinkan untuk bisa mewujudkannya.<br />Bila ada pihak-pihak yang bersedia membantu mewujudkan mesin pijat jantung luar ini silahkan hubungi admin.Agus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6035400512124047618.post-89523347099233087502009-06-07T03:04:00.000-07:002009-06-07T03:07:09.841-07:00GAGAL NAFASPENGERTIAN<br />Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis.<br />Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi.<br /><br />PENYEBAB GAGAL NAFAS<br />1. Penyebab sentral<br /> a.Trauma kepala : contusio cerebri<br /> b.Radang otak : encephalitis<br /> c.Gangguan vaskuler : perdarahan otak , infark otak<br /> d.Obat-obatan : narkotika, anestesi<br />2.Penyebab perifer<br /> a.Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans<br /> b.Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale<br /> c.Kelainan di paru : edema paru, atelektasis, ARDS<br /> d.Kelainan tulang iga/thoraks: fraktur costae, pneumo thorax, haematothoraks<br /> e.Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri<br /><br />PATOFISIOLOGI<br />Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot intercostalis berkontraksi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif .<br />Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thoraks paling positif.<br /><br />PEMERIKSAAN FISIK<br />( Menurut pengumpulan data dasar oleh Doengoes)<br /><br />Sirkulasi<br />- Tanda : Takikardia, irama ireguler<br />- S3S4/Irama gallop<br />- Daerah PMI bergeser ke daerah mediastinal<br />- Hamman’s sign (bynui udara beriringan dengan denyut jantung menandakan udara di mediastinum)<br />- TD : hipertensi/hipotensi<br />- Nyeri/Kenyamanan<br />- Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk<br />- Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis<br />Pernapasan<br />- Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi paru , keganasan, “lapar udara”, batuk<br />- Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot asesori, penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi : hiperesonan di atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di area berisi cairan (hemotorak); perkusi : pergerakan dada tidak seimbang, reduksi ekskursi thorak. Kulit : cyanosis, pucat, krepitasi sub kutan; mental: cemas, gelisah, bingung, stupor<br />Keamanan<br />- Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat radiasi/kemoterapi<br />Penyuluhan/pembelajaran<br />- Gejala : riwayat faktor resiko keluarga dengan tuberkulosis, kanker<br /><br />PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br /><br />- Hb : dibawah 12 gr %<br />- Analisa gas darah :<br />pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45<br />paO2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg<br />pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg<br />BE di bawah -2 atau di atas +2<br />- Saturasi O2 kurang dari 90 %<br />- Ro : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan , dapat terlihat perpindahan letak mediastinum<br /><br />DIAGNOSA KEPERAWATAN<br /><br />Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan pernafasan ventilator mekanik adalah :<br />1.Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret<br />2.Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses penyakit<br />3.Ketidakefektifan pola nafas berhubungandengan kelelahan, pengesetan ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang ETT<br />4.Cemas berhubungan dengan penyakti kritis, takut terhadap kematian<br />5.Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang ETT<br />6.Resiko tinggi komplikasi infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan selang ETT<br />7.Resiko tinggi sedera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas, stress<br />8.Nyeri berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik, letak selang ETT<br /><br />RENCANA KEPERAWATAN<br /><br />Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret<br />Tujuan : Klien akan memperlihatkan kemampuan meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan nafas<br />Kriteria hasil :<br />- Bunyi nafas bersih<br />- Ronchi (-)<br />- Tracheal tube bebas sumbatan<br />Intervensi :<br />1.Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam atau bila diperlukan<br />2.Lakukan penghisapan bila terdengar ronchi dengan cara :<br /> a. Jelaskan pada klien tentang tujuan dari tindakan penghisapan<br /> b. Berikan oksigenasi dengan O2 100 % sebelum dilakukan penghisapan, minimal 4 – 5 x pernafasan<br /> c. Perhatikan teknik aseptik, gunakan sarung tangan steril, kateter penghisap steril<br /> d. Masukkan kateter ke dalam selang ETT dalam keadaan tidak menghisap, lama penghisapan tidak lebih 10 detik<br /> e. Atur tekana penghisap tidak lebih 100-120 mmHg<br /> f. Lakukan oksigenasi lagi dengan O2 100% sebelum melakukan penghisapan berikutnya<br /> g. Lakukan penghisapan berulang-ulang sampai suara nafas bersih<br />3.Pertahankan suhu humidifier tetap hangat ( 35 – 37,8 C)<br /><br />Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan,proses penyakit, pengesetan ventilator yang tidak tepat<br />Tujuan : Klien akan memperlihatkan kemampuan pertukaran gas yang kembali normal<br />Kriteria hasil :<br />- Hasil analisa gas darah normal :<br />PH (7,35 – 7,45)<br />PO2 (80 – 100 mmHg)<br />PCO2 ( 35 – 45 mmHg)<br />BE ( -2 - +2)<br />- Tidak cyanosis<br />Intervensi :<br />1.Cek analisa gas darah setiap 10 –30 mnt setelah perubahan setting ventilator<br />2.Monitor hasil analisa gas darah atau oksimetri selama periode penyapihan<br />3.Pertahankan jalan nafas bebas dari sekresi<br />4.Monitpr tanda dan gejala hipoksia<br /><br />Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator yang tidak tepat, peningkatan sekresi, obstruksi ETT<br />Tujuan : Klien akan mempertahankan pola nafas yang efektif<br />Kriteria hasil :<br />a.Nafas sesuai dengan irama ventilator<br />b.Volume nafas adekuat<br />c.Alarm tidak berbunyi<br />Intervensi :<br />1.Lakukan pemeriksaan ventilator tiap 1-2 jam<br />2.Evaluasi semua alarm dan tentukan penyebabnya<br />3.Pertahankan alat resusitasi manual (bag & mask) pada posisi tempat tidur sepanjang waktu<br />4.Monitor slang/cubbing ventilator dari terlepas, terlipat, bocor atau tersumbat<br />5.Evaluasi tekanan atau kebocoran balon cuff<br />6.Masukkan penahan gigi (pada pemasangan ETT lewat oral)<br />7.Amankan slang ETT dengan fiksasi yang baik<br />8.Monitor suara nafas dan pergerakan ada secara teraturAgus Hermawanhttp://www.blogger.com/profile/16844981581953130937noreply@blogger.com0